Kamis, 30 Juli 2009

Mangkunegara VII, Raja Jawa yang Modern

Heri Priyatmoko

Beberapa waktu lalu dalam rubrik ini, saya bersama Bandung Mawardi telah menyodorkan analisis historis mengenai sosok Paku Buwono X sebagai kaisar Jawa, yang oleh cucunya, BRA. Mooryati Soedibyo diusulkan menjadi pahlawan nasional. Membicarakan penguasa Solo tempo dulu, terasa kurang tanpa lengkap menyebut nama Mangkunegara VII. Lantas, siapakah Mangkunegara VII ini yang mampu menggabungkan kebudayaan Jawa dan Barat ini?
Wasino, sejarawan Universitas Negeri Semarang yang paling ambisius menguak sejarah sosial ekonomi Mangkunegaran. Inilah yang menarik ketika membaca karya Wasino, Kapitalisme Bumi Putera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran (2008). Sebuah karya apik ihwal kerja keras Mangkunegara VII mengangkat kesejahteraan praja melalui usaha ekonomi perkebunan (onderneming), terutama komoditas gula. Tapi sekali lagi, Wasino tidak mengupas sosok Mangkunegara VII secara detail.
Meskipun Bandung Mawardi sudah bersusah payah menguak jati diri Mangkunegara VII melalui esainya “Modernitas dalam Tradisi Mangkunegara VII” (Kompas, 28/03), namun tetap saja Bandung tak menemukan fakta historis penting bahwa Mangkunegara VII memiliki kepribadian luhur dan berotak brilian karena hasil konvergensi dari tiga unsur, yaitu tradisi Jawa, pendidikan Barat, dan laku pengembaraan di njobo keraton.
Dalam tulisan ini, saya akan membedah biografi Mangkunegara VII yang disebut-sebut sebagai raja Jawa yang modern pada jamannya. Pada riwayatnya, Raden Mas Soerjo Soeparto –kelak menjadi Mangkunegara VII– adalah putra Mangkunegara V, lahir 12 November 1885. Beliau anak ketujuh atau anak lelaki ketiga dari 28 bersaudara (Suwaji Bastomi, 1996). Oleh ayahnya, ia sudah digadang belajar di Belanda. Tapi malang, saat Soerjo Soeparto berusia sebelas tahun, ayahnya tutup usia. Pamannya naik takhta sebagai Mangkunegara VI, dan melarangnya masuk sekolah menengah (HBS). Dia pun kecewa, dan memutuskan keluar keraton. Atas kepergiannya ini, berarti ia telah melanggar tradisi dan sengaja memutus hubungan dengan lingkungannya. Sebuah keputusan yang tak masuk akal jika menengok kehidupan bangsawan kala itu, yang menginginkan hidup serbaenak.
H.G. Cannegieter dalam majalah Morks Magazijn edisi Maret 1937, mengabarkan, Soerjo Soeparto berkelana mengelilingi pulau Jawa ditemani satu abdi dalem. Dia memperoleh banyak pengalaman baru yang mengejutkan, kontras dengan kehidupan njero keraton. Ia berkenalan dengan kesengsaraan, keburukan, kelaparan, kemiskinan, penyakit dan kematian.
Terus Belajar
Penduduk desa menyambutnya penuh hormat dan penginapan serta makan. Soerjo Soeparto melanjutkan laku berjalan kaki tanpa kenal lelah. Tak lupa belajar bahasa Jawa, bahasa Belanda, membaca, dan menulis untuk menghilangkan hausnya akan pengetahuan.
Residen G.F van Wijk terpukau lantaran mengetahui kedalaman ilmu Soerjo Soeparto yang justru didapatkan secara autodidak. Di usianya yang muda, Soerjo Soeparto telah memiliki pemikiran bahwa memperdalam dan menjunjung tinggi kebudayaan merupakan tujuan dari semua usaha ke arah perbaikan bangsa dan dunia. Chauvinisme ditolaknya, dan menganjurkan untuk mendewasakan diri. Niatnya untuk bersekolah tetap tak pernah padam. Dengan uang hasil menabung, lalu pergilah ke Belanda dan kuliah di jurusan sastra kuno. Namun, studinya tidak rampung akibat pecah Perang Dunia I (Partini, 1985).
Dalam usia 40 tahun, beliau menjadi raja dan bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara VII. Bermodal setumpuk uang kas praja dan keahlian memimpin, beliau sukses memajukan kesenian, pendidikan, kesehatan, budaya, dan menyejahterakan ekonomi rakyat. Lantaran semasa mudanya pernah berbaur dengan rakyat miskin, Mangkunegara VII merasa berhutang kepada rakyat, yang musti ditebus dengan suasana adil dan makmur. Hutang itu senantiasa bergaung di dada raja. Inilah yang membuatnya selalu menomorsatukan rakyat kecil. Contoh, pedagang oprokan atau barang bekas yang tidak mempunyai tempat, akhirnya dibuatkan Pasar Triwindu. Selanjutnya untuk kebutuhan rekreasi, masyarakat dimanja dengan Taman Balekambang, Taman Tirtonadi dan Minapadi yang sohor keindahannya itu.
H.J.N Nauta menulis di Nieuwsblad van het Noorden (1928), “Raja Mangkunegara sekarang ini (Mangkunegara VII) berpandangan maju. Dia mempelajari apa yang baik dari kebudayaan Barat, namun tetap memiliki sifat orang Jawa. Belum pernah kami jumpai seseorang yang agung penampilannya, sopan, bertatakrama dan halus pula perasaannya”. Dalam dunia keraton, orang bersikap menjauh demi menunjukkan kedudukannya yang tinggi di lingkungan masyarakat. Itu tidak terjadi pada Mangkunegara VII, sebab ia tak pernah menjauh dan tidak sombong. Orangnya berbobot, tapi bukan orang yang pura-pura berbobot.
Feminin
Beliau tidak terlalu memegang teguh kebudayaan, sehingga penghalusan yang ditujunya bersifat feminin. Sebagai raja yang modern, dia berusaha keras menjunjung derajat bangsanya dan memajukan kebudayaan Jawa. Menjadi raja pelindung dan ahli dalam musik Jawa, olahragawan, raja yang memajukan drama dan arsitektur. Sampai Peter Bolte, wartawan Berliner Local Anzeiner, terkagum dan teringat kepada raja-raja Itali zaman Renaissance bila memandang sosok mangkunegara VII.
Apa yang bisa dicomot dari keteladanan Mangkunegara VII untuk konteks sekarang? Yang paling penting adalah kesadaran kosmis yang diwarisi Mangkunegara VII dari tradisi Jawa yang panjang telah memberikan harapan dan keyakinan bahwa kesalahan-kesalahan kemasyarakatan, kekurangan di sektor ekonomi, dan kegagalan di bidang kebudayaan secara universal merupakan keharusan untuk mempersiapkan bangsa yang lebih baik.


Dimuat di Suara Merdeka 26 Juli 2009

1 komentar:

ANDY SRI WAHYUDI mengatakan...

Wuuaahh...image Raja Jawa jadi cerah lagi oleh sikap dan mental mangkunegara VII atau Soerjo Soeprapto ini...mirip Budha ya Beliau...seneng saya membaca artikel ini jadi makin penasaran perihal pemikiran Raja keturunan Raden Mas Said yang kondang dengan julukan Pangeran Samber Nyawa ini...