(Resensi Buku Puisi Kolam Anggitan Sapardi Djoko Damono)
Bandung Mawardi
Hari ini Sapardi Djoko Damono masih menyapa kita dengan puisi. Usia tua tak bisa jadi alasan untuk istirahat dari puisi. Tua adalah usia biologis tapi imajinasi belum tentu bebarengan dengan kerentaan. Imajinasi terus disemaikan dengan ketelatenan mengurusi kata dan makna. Sapardi menyuguhkan setumpuk puisi yang dikemas dalam buku Kolam sebagai bukti penyair menunaikan hajat kehidupan.
Puisi-puisi Sapardi masih memiliki ruh dalam kebersahajaan bahasa untuk peluapan makna. Kebersahajaan jadi dalil tanpa harus menutup pintu-pintu tafsir untuk pencarian dan penemuan makna. Konstruksi puisi Sapardi sejak dulu memang mengesankan olahan kata dalam batas otoritas bocah dan nabi. Kata-kata dituliskan dalam tegangan permainan dan perhitungan matang. Pola ini jadi penyebab puisi-puisi lahir dalam kebersahajaan tapi menyapa dengan mengena untuk refleksi.
Kolam dengan muatan 51 puisi ini terbagi menjadi tiga bagian dengan label “Buku Satu”, “Buku Dua”, dan “Buku 3”. Pembagian ini mengesankan pergulatan estetika dalam eksplorasi bentuk dan tematik. Sapardi dengan lihai menunjukkan olahan soneta dalam “Buku Dua”. Pilihan bentuk soneta ini mengingatkan pembaca pada kegandrungan para Pujangga Baru pada tahun 1930-an. Soneta pada masa itu memiliki sifat emansipatif dari bentuk-bentuk puisi lama. Kesadaran emansipatif itu kerap tak dibarengi dengan eksplorasi dalam olahan kata dan makna. Konvensi-konvensi dalam soneta pun diolah penyair mirip dengan penerimaan atas bentuk-bentuk puisi lama: pantun atau syair.
Sapardi menghadirkan puisi dalam bentuk soneta sejumlah lima belas. Bentuk soneta ini jadi pertaruhan untuk mengeksplorasi bahasa dan tema. Kehadiran 15 sonet itu membuktikan laku estetik yang matang dan istiqomah. Simaklah bait awal dalam “Sonet 4” ini: “Hidup terasa benar-benar tak mau redup/ketika sudah kaudengar pesan:/suatu hari semua bunyi rapat tertutup”/Penyanyi itu tuli. Suaramu terdengar pelahan. Bentuk soneta tak jadi hambatan pada penyair untuk melepaskan keliaran imajinasi dalam tatanan kata bersahaja.
Efek puitis jadi perhitungan matang untuk kehadiran soneta yang liris dan musikal. Bunyi jadi ruh untuk soneta mengucapkan diri. Perkara bunyi ini yang kerap diajukan Sapardi sebagai proposal dalam laku estetik menulis puisi. Bunyi adalah lambaran estetika untuk penyair sanggup menuliskan puisi yang berbunyi alias bernyawa. Simaklah dua bait akhir dalam “Sonet 13” yang sadar bunyi untuk olahan tematik hujan: Butir-butir hujan menderas dari sudur-sudut daun itu/tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas./Pohon itu tak lagi menatapmu. Membasahi kerudungmu,/meluncur ke pundakmu. Dibiarkannya kita melintas.//Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan/tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan? Soneta ini berbunyi dan mungkin memberi ekstase imajinasi.
Kebersahajaan puisi-puisi Sapardi tidak sekadar mengurusi olahan estetika tanpa kesadaran tematik. Tema tentang diri (manusia) memang menjadi pokok dalam pertaruhan estetika. Kesadaran itu digenapi dengan olahan puisi untuk mengisahkan sosok-sosok dalam peristiwa atau lakon kecil atau besar. Pilihan tematik jadi bab penting dari kepekaan Sapardi atas tegangan fakta dan fiksi.
Sapardi dalam puisi “Kota Kami” dengan kritis mengajukan lakon kota dalam tarikan masa lalu dan proses perubahan yang cepat. Kritik dengan puisi bersahaja ini memiliki efek imajinasi yang kental untuk dihadapkan dengan realitas kota hari ini. Sapardi menulis: Kota kami telah menyaksikan gedung-gedung dan pabrik-/pabrik dibangun sampai tumpah ruah keluar dari pinggir-/pinggirnya.//Dulu, kata dongeng itu, pernah ada sebuah danau agak di/pinggirnya tapi ia tidak ingat lagi kapan suasana yang mungkin/bisa menenteramkan hati itu tak lagi ada. Kritik keras ini berbunyi dalam puisi yang tak jatuh sebagai kumpulan kata untuk demonstrasi.
Sapardi pun mengajukan kritik dalam puisi “Asap Pabrik.” Puisi ini liris mengucapkan kritik untuk kesadaran ekologis, teologis, dan filosofis. Sapardi dengan canggih memerkarakan asap dalam jalinan imajinasi yang bertumpuk. Asap tak sekadar jadi tanda untuk polusi tapi juga tanda untuk kesadaran imperatif terhadap alam, manusia,. dan Tuhan. Simaklah: asap pabrik di kota/membumbung, hanya Tuhan/yang tahu ke mana//hanya Tuhan yang tahu/kenapa ia membumbung/dari cerobong itu//hanya kita tak tahu/hubungan antara asap dan Tuhan -//yang sama sekali tidak pernah/menyembunyikan apa pun/dari kita.
Membaca puisi-puisi Sapardi dalam Kolam seperti membuat babak lanjutan dari buku puisi DukaMu Abadi, Mata Pisau, Perahu Kertas, Hujan Bulan Juni, Mata Jendela, Ayat-Ayat Api, dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? Babak lanjutan ini membuktikan Sapardi belum lelah mengurusi dan membunyikan kata dan makna. Buku Kolam memang jado kolam imajinasi atas pelbagai peristiwa dan lakon untuk refleksi. Puisi ternyata masih ingin menyapa meski usia renta.
Buku puisi Kolam tentu jadi pertaruhan penyair untuk laku kreatif dalam olahan estetika puisi. Sapardi telah menuliskan dan menyuguhkan puisi pada pembaca. Silakan pembaca memberi nilai dan membalas sapaan puisi. Sapardi mafhum bahwa kehadiran puisi bukan kehadiran jawaban atau konklusi tapi perumusan tanya untuk godaan mencari-menemukan jawab pada pembaca. Dalil ini disajikan dalam puisi “Ketika Kita Membuka Lembaran Kertas Ini.” Simaklah dalam kaitan dengan kehadiran tanya dalam puisi: Ketika kita membuka puisi ini apakah lembaran/lembaran kertas ini bertanya untuk apa? Puisi ini telah menyapa dan menanyakan. Pembaca mau apa?
Dimuat di Suara Merdeka (14 Juni 2009)
Jumat, 03 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar