Jumat, 03 Juli 2009

Pada Mulanya Angka

Bandung Mawardi

Dunia suntuk dengan kata. Lakon-lakon hidup mendapati dalil dan legitimasi dengan kata. Orang pun mafhum dengan ungkapan klasik: Pada mulanya adalah kata. Kesibukan mengurusi kata membuat manusia merasa memiliki dilema untuk memberi iman dan amin. Kata bisa menghidupkan dan mematikan. Kata jadi dalil untuk tatanan hidup harmonis tapi mungkin menjadi dalil untuk kerusakan dan perang.
Orang lalu bosan dengan kata dalam penciptaan makna melalui ranah politik, ekonomi, filsafat, etika, atau agama. Kebosanan itu tak sanggup membuat manusia lari dari kata. Mungkinkah manusia menengok kembali pada angka? Kata mungkin telah membuat manusia trauma atau sekarat. Ikhtiar mengurusi angka jadi taktik lain untuk memerkarakan hidup biar tak gemuk oleh kata.
Dunia pun terbentuk dari angka. Pemahaman ini muncul dalam jejak historis peradaban dan agama: Yunani, India, Arab, Cina, Islam, Kristen, dan Yahudi. Kultur angka menjadi lambaran dari alur dan arus kehidupan. Angka memiliki posisi penting sebagai representasi dan realisasi dari kemungkinan-kemungkinan kehadiran dan kehilangan. Angka pun jadi konstruksi teologis, filosofis, politis, estetis, dan etis. Kesanggupan mengurusi angka adalah bukti manusia sanggup menjadi manusia.

Biografi Angka
Annemarie Schimmel dalam The Mistery of Numbers (2006) dengan reflektif mengajukan khazanah pengetahuan dan tradisi angka dalam lakon peradaban manusia. Angka menjadi ruh dan spirit dalam jejaring kehidupan mulai dari yang sakral ke yang profan. Simbolisme angka menjelma sebagai pengetahuan esoterik untuk melakukan pengingatan atau pembayangan terhadap masa depan nasib manusia. Angka adalah pertaruhan nasib dengan kerimbunan rasionalitas dan misteri. Rasionalitas terhadap angka memunculkan ilmu matematika. Phytagoras menjadi pokok dan tokoh pemula. Misteri angka menjadi pengetahuan dengan sebutan numerologi dengan selubung-selubung simbolisme untuk ditafsirkan tanpa usai.
Tradisi pengetahuan simbolisme angka pada masa Abad Pertengahan memunculkan sekte-sekte teologis. Otoritas untuk menafsirkan angka jadi alasan ketegangan atas nama klaim-klaim kesahihan, kebenaran, dan keselamatan. Pengetahuan angka pun memunculkan tradisi astrologi dengan pembenaran-pembenaran antara rasionalitas dan magis. Peran penting angka pada masa itu membuat Isidore membuat ungkapan konklutif: Tolle numerum omnibus rebus et omnia pereunt (Ambillah segala sesuatu angka-angkanya dan semua bakal binasa). Ungkapan ini jadi tanda kompleksitas tafsir angka dalam lakon kehidupan manusia.
Angka dalam tafsir teologis memiliki pengaruh kuat dalam keimanan orang untuk melakukan sakralisasi angka dengan ritual atau absorsi secara lahir dan batin. Penafsiran teologis pun dalam peradaban dan doktrin agama berbeda bisa memunculkan kerentanan untuk konflik. Angka dengan tafsir suci bisa menjelma dalil untuk menciptakan tuduhan-tuduhan dengan tendensi agama dan perang. Angka adalah acuan dari keharmonisan dan kekacauan. Unsur konstruktif dan destruktif mengalami dialektika dalam tafsir dan realisasi manusia dalam konteks agama sampai politik.

Angka Nol
Pengetahuan angka adalah permainan tafsir dan otoritas. Charless Seife dalam Biografi Angka Nol (2008) mendedahkan kemungkinan-kemungkinan mengejutkan dari pengetahuan angka untuk membaca kritis sejarah peradaban manusia. Seife percaya bahwa angka nol adalah kisah kuno sejak masa awal kemunculan matematika sebelum manusia sanggup dan suntuk dengan laku membaca dan menulis. Sejarah angka nol jadi penentu kehidupan manusia meski pada zaman-zaman lanjutan ada tendensi untuk memusuhi, membenci, menolak, membantah, atau mengabaikan angka nol. Inilah ungkapan provokatif dari sejarah angka: “Nol berada tepat di jantung perselisihan antara Barat dan Timur. Nol adalah pusat pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan.”
Nol? Schimmel menjelaskan bahwa dalam sumber-sumber sejarah India pada abad 6 SM menyebut nol sebagai shunya: kekosongan yang mengisi jarak di antara angka-angka. Sejarah itu menemukan lanjutan oleh studi para sarjana Arab untuk penciptaan sistem angka dan memperkenalkan pada dunia Barat. Angka nol lalu diterima dalam pelbagai peradaban meski tak sepi dari konflik. Nol dalam tradisi Arab disebut sifr menjadi ziffer dalam bahasa Jerman lalu menjadi zero dalam bahasa Inggris. Angka nol dalam sejarah Jerman abad XV dikatakan sebagai umbre et encombre: gelap dan terhalang.
Angka nol sanggup membuat manusia kerepotan. Kesanggupan mengurusi angka nol jadi cara manusia untuk mengimani hidup dengan kemunculan ilmu matematika dan fisika. Ilmu itu dibarengi dengan keimanan teologis terhadap angka dengan misteri, mistisisme, magis, dan sakralisasi. Benturan ilmu dan agama pun susah dihindari dengan mengusung klaim-klaim kebenaran secara absolut dan relatif. Otoritas atas angka nol dalam proses pertumbuhan peradaban manusia jadi sebab signifikan konstruksi kebenaran rasionalitas atas fenomena alam dan teknologi-teknologi ciptaan manusia. Angka nol mungkin menghidupi dan selalu memiliki potensi untuk menghancurkan atau merusak. Contoh kecil dari kuasa angka nol adalah penghilangan angka-angka apa saja ketika dikalikan dengan nol. Semua menjadi nol.
Sejarah angka nol itu jadi bukti bahwa keimanan dan pemaknaan terhadap angka menjadi penentu nasib manusia. Angka itu penting dan tak mungkin diabaikan selama manusia sadar atas ilmu pengetahuan dan tradisi teologis. Peran penting angka juga tampak dari sejarah angka-angka dalam konteks agama dan ilmu. Angka-angka tertentu dalam agama (Islam, Kristen, Yahudi) menjadi simbol dari iman. Makna dari angka-angka adalah makna untuk mengimani Tuhan, sadar diri, dan sadar kosmis. Angka memiliki tuah dalam prosesi agama meski kadang berseberangan dengan rasionalitas.

Tuah Angka
Dan Brown dalam The Da Vinci Code memberikan ilustrasi menarik tentang tuah angka dalam sejarah teologi dan proses pertumbuhan peradaban di Barat. Novel ini jadi pengingat terhadap sejarah angka dan pembuka misteri-misteri dalam agama dan ilmu pengetahuan. Fragmen kematian Jacques Sauniere meninggalkan pesan angka-angka misterius pada Robert Langdon: 13-3-2-21-1-1-1-8-5. Deretan angka ini jadi misteri untuk dipecahkan dalam konflik-konflik dengan pertaruhan nyawa. Misteri angka adalah misteri manusia. Misteri itu membuat pembaca khusuk merampungkan The Da Vinci Code dengan ketegangan dan kejutan-kejutan. Hal itu membuat pembaca mafhum dengan maksud penerbit untuk terjemahan ke bahasa Indonesia melalui ungkapan: “Memukau nalar. Mengguncang iman!”
Misteri angka dalam novel itu berbeda jauh dengan misteri angka dalam lakon Indonesia hari ini. Tuah angka menjadi dalil ampuh untuk lakon kekuasaan dan ekonomi. Publik repot dan linglung oleh pemaknaan angka secara politis dan manipulasi-manipulasi angka untuk pamrih ekonomi kapitalisme. Angka telah jadi momok untuk menundukkan orang dalam jerat-jerat politik dan ekonomi global. Begitu.

Dimuat di Seputar Indonesia (28 Juni 2oo9)

Tidak ada komentar: