Bandung Mawardi
Siapa peduli ketika melintasi Jalan Ranggawasita 153 Solo untuk menengok sebuah rumah sejarah di antara sesak deretan bangunan toko, kantor, rumah, dan warung makan? Di jalan dengan mengambil nama pujangga terkenal itu ada rumah pujangga besar di Jawa pada awal abad XX. Ada rumah sejarah yang sederhana dikenal dengan Ndalem Padmasusastran. Rumah kuno itu sudah tampak ringkih tapi menyimpan kisah-kisah penting dalam kehidupan sejarah, sastra, bahasa, dan kultural di Jawa.
Rumah itu menjadi saksi eksistensi dan laku krearif pujangga Ki Padmasusastra (1841-1926) yang menjadi juru bicara perubahan wacana kesusastraan Jawa pasca-Ranggawasita. Ki Padmasusastra pada masa muda berguru pada Ranggawarsita dalam olah sastra. Modal dari proses belajar direalisasikan dengan ketekunan membuat teks-teks sastra dengan bentuk gancaran (prosa). Bentuk ini merupakan gugatan terhadap dominasi pemakaian tembang atau puisi dalam kesusastraan (keraton) di Jawa. Gugatan tampak eksplisit dengan pemakaian julukan Ki Padmasusastra sebagai tiyang mardika kang mersudi kasusastran Jawi (orang merdeka yang mengurusi sastra Jawa tapi tidak masuk dalam patron keraton).
Rumah sejarah yang dulu merupakan pemberian dari Mangkunegara IV sekarang tampak sepi dan kehilangan aura atau spirit. Orang Solo sendiri mungkin jarang tahu bahwa rumah ringkih dengan halaman tanah dan pagar tanaman itu adalah situs sejarah dan kultural. Ketidaktahuan itu mungkin dipengaruhi oleh pengetahuan tentang sastra dan sejarah yang menganut pada kanonisasi teks sastra Jawa dan popularitas wacana Ranggawarsita sebagai pujangga akhir keraton. Nama Ki Padmasusastra pun menjadi kurang moncer karena masih sedikit peneliti memuplikasikan kajian secara ilmiah atau populer.
Ikhtiar mencari dan menghidupkan kembali spirit Ki Padmasusastra pernah dilakukan pada tahun 2000-an dengan dukungan dari pelbagai seniman. Sardono W. Kusumo menginginkan situs itu menjadi ruang ekspresi untuk pelbagai bentuk seni dari sastra sampai seni pertunjukkan dan dari seni tradisional sampai seni kontemporer. Ndalem Padmasusatran juga diorientasikan sebagai pusat kajian untuk sastra Jawa meski susah mendapati apresiasi. Ikhtiar itu terjadi dalam hitungan waktu pendek lalu hilang jejak tanpa ada komitmen dan konsistensi lanjutan.
Rintisan untuk menghidupkan kembali spirit Ki Padmasusastra mesti lekas dapat perhatian dari pelbagai pihak sebelum ada pelupaan kolektif yang ironis. Pemkot Solo dan dinas-dinas terkait perlu melakukan kebijakan penyelamatan dan perawatan bangunan yang sudah berusia di atas seratus tahun. Ikhtiar lanjutan adalah melakukan apresiasi kritis terhadap teks-teks Ki Padmasusastra untuk membaca kembali fragmen-fragmen historis Jawa dalam konteks bahasa dan sastra. Begitu.
Dimuat di Kompas Jateng (14 Juli 2oo9)
Kamis, 30 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar