Bandung Mawardi
Wacana pengajaran bahasa Jawa dan muatan lokal terkait dengan tradisi-tradisi lokal dalam kurikulum pendidikan menjadi pembuktian ada keraguan dalam model pewarisan identitas kultural Jawa. Restu pemerintah mungkin jadi lambaran untuk mencari pembenaran bahwa ada situasi kritis dalam pengetahuan dan praktik kultural Jawa. Rumus institusional pun digulirkan dengan dalih sebagai tanggapan untuk menyelamatkan atau menunda kehilangan atau kekalahan dalam pengajaran nilai-nilai kultural Jawa.
Barangkali orang mafhum bahwa sosialisasi tentang identitas kultural Jawa membutuhkan proses alamiah dan terkadang menganut pembakuan sesuai dengan anutan terhadap kebijakan ideologis dalam dunia pendidikan. Proses alamiah terjadi dengan realisasi sebaran dan proses belajar dalam kondisi sesuai dengan kebutuhan dan kodrat manusia dalam ruang historis, ruang sosial, dan ruang kultural. Pengajaran bahasa Jawa pada anak tentu merupakan kelaziman sebagai cara menerima dan mengolah potensi diri agar bisa melakukan komunikasi. Pengetahuan tentang bahasa Jawa sebagai medium memasuki lakon dunia tentu tidak butuh sistem ketat karena fakta keluarga menjadi penentu proses pemerolehan bahasa secara alamiah. Pemerolehan bahasa terjadi karena keajegan atau penciptaan situasi untuk memengaruhi kesadaran anak tentang fungsi dan nilai bahasa.
Gangguan muncul karena pada masa sekarang pemerolehan bahasa mengacu pada pembiasaan terhadap media dalam model konsumsi dan intervensi. Anak mulai khusuk menikmati proses menerima pengetahuan dan praktik bahasa dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kuasa dua bahasa itu tampak dari dominasi dalam ranah media dan lingkungan tempat anak mencari dalil-dalil bertumbuh sesuai dengan usia dan kodrat sosiologis. Media televisi dan bacaan tentu jadi acuan mumpuni anak memasuki lakon-lakon dunia dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris ketimbang bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Ketegangan untuk menerima dan mengonsumsi tentu terjadi dengan hukum ada takdir kemenangan dan kekalahan.
Pilihan terhadap bahasa Indonesia sebagai komunikasi dalam keluarga dan institusi-institusi sosial menjadi anak cenderung merasakan kenyamanan. Pengucapan diri dengan bahasa Indonesia terkadang dibenarkan dengan alasan komunikatif dan tidakmerepotkan seperti ketika memakai bahasa Jawa. Pola pikir ini terjadi karena tidak ada kesadaran kritis untuk memahami prosedur orang menerima, memiliki, dan mengartikulasikan segala sesuatu dengan bahasa sesuai kebutuhan. Pilihan terhadap bahasa Indonesia tentu lumrah karena secara ideologis mendapati pembenaran dari negara. Fakta “kekalahan” bahasa Jawa merupakan risiko dari penerimaan hidup dalam aturan-aturan negara. Peminggiran bahasa Jawa dalam proses pembelajaran anak dalam keluarga atau sekolah tidak harus disesali atau dijadikan dalil untuk melakukan gerakan primordialisme yang kolot.
Bahasa Jawa mungkin tak mempan menjadi sarana internalisasi diri manusia Jawa dan modal dalam komunikasi-interaksi sosial. Kondisi ini memunculkan akibat dengan perkara identitas kultural Jawa. Orang terkadang percaya terhadap relasi antara bahasa dengan identitas kultural. Relasi terbentuk dengan kunci pemahaman bahwa ada identifikasi diri mengacu pada biografi historis-kultural dalam tegangan pelekatan identitas secara ideologis. Penyebutan diri sebagai manusia Jawa menjadi rentan ketika ada pengajuan syarat mesti fasih dalam bahasa Jawa. Dalil ini mulai cair karena manusia Jawa mulai mengucapkan diri dengan nikmat ketika memakai bahasa Indonesia. paradoks identitas kultural terjadi seperti keniscayaan karena bias pengakuan diri sebagai manusia Jawa dan manusia Indonesia.
Relasi antara bahasa dengan identitas-kultural Jawa mulai renggang meski menyimpan sesal atau pengharapan. Realitas ini dijadikan alasan untuk pelbagai pihak melakukan ikhtiar penyelamatan melalui pelbagai cara mulai dari khotbah sampai kebijakan dengan restu negara. Institusi pendidikan lalu dijadikan corong untuk melakukan penyelamatan atas nama kepentingan negara. Materi pelajaran bahasa Jawa dan muatan lokal diajarkan dengan pamrih mengenalkan kembali atau menguatkan pemahaman terhadap identitas kultural Jawa.
Pengalaman belajar bahasa Jawa di sekolah justru mengandung tanya dan pesimisme. Dominasi pelajaran dengan memakai bahasa Indonesia untuk memasuki jagad pengetahuan memberi efek penerimaan secara terbuka. Dominasi bahasa membuat anak mengalami pengakuan untuk merasa luwes dan nikmat memakai bahasa Indonesia ketimbang bahasa Jawa. Materi pelajaran bahasa Jawa lalu jadi asing atau aneh di antara sekian mata pelajaran. Perasaan asing semakin membuat bahasa Jawa sebagai pelajaran imbuhan tanpa ada hasrat untuk memiliki sebagai prosedur pembentukan identitas. Belajar bahasa Jawa dalam sistem dan institusi pendidikan malah merepotkan dan mengganggu pelajaran-pelajaran lain? barangkali itu menjadi taya kritis untuk kegagalan mengalami diri dalam bahasa.
Institusi pendidikan dalam paradoks bahasa memiliki beban untuk membuat pembedaan kepentingan dalam pengejaran hasrat pengetahuan dan kesadaran terhadap lokalitas. Kehadiran muatan lokal dalam materi pengajaran juga mengalami nasib serupa karena ada keterasingan diri. Anak dengan khusuk menikmati permainan atau dongeng mutakhir dalam acuan global untuk mendapati kenikmatan. Anak pun jadi asing ketika belajar tentang Jawa karena tidak ada keajegan mengalami atau menikmati dalam bentuk permainan atau dongengan. Ironi ini jangan lekas disesali karena memang menjadi risiko zaman.
Institusi keluarga sebagai ruang hidup juga mengalami gangguan dalam proses pewarsian identitas kultural Jawa. Orang mungkin gagal menjadi Jawa karena ketiadaan sosialisasi dalam keluarga dan kepercayaan keluarga terhadap model pengajaran pada sekolah. Orang mengenyam pendidikan dari TK sampai mendapati gelar sarjana tak memberi jaminan mafhum dengan biografi diri sebagai manusia Jawa atau memiliki pengetahuan dan praktik kultural Jawa. Orang mulai sibuk dan tergoda untuk membentuk diri menjadi kosmopolitan ketimbang manusia dengan identitas lokal. Institusi pendidikan dan keluarag telah membuka pintu dengan lebara untuk kehadiran tamu-tamu agung dalam bentuk pengetahuan dan praktik dengan acuan-acuan modernitas-universalitas. Tamu-tamu agung itu justru menjadi tuang atau tukang dikte untuk orang lupa dengan biografi dan identitas kultural Jawa. Sesalan jangan ditampakkan sebagai jawaban kekalahan. Ikhtiar untuk menjadi Jawa tentu harus dilakukan meski terus dibayang-bayangi dengan pesimisme. Begitu.
Dimuat di Solopos (2 Juli 2oo9)
Kamis, 30 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar