Jumat, 03 Juli 2009

Solo Merayakan Batik

Bandung Mawardi


Solo memiliki hajatan besar untuk merayakan batik sebagai ekspresi seni dan kultural. Batik merekam jejak sejarah dan dialektika etnisitas Jawa dalam proses menanggapi zaman dan merepresentasikan imajinasi kosmik. Perayaan batik adalah perayaan biografi peradaban dengan kesanggupan melakukan pengekalan dan inovasi untuk memberi jawab atas progresivitas zaman. Batik jadi juru bicara dari ranah identitas kultural sampai ranah ekonomi-pasar.
Batik adalah aset estetika-historis-kultural dengan kemungkinan-kemungkinan tumbuh sebagai ekspresi kreativitas tanpa henti. Perhatian terhadap batik pun mesti disadari sebagai kerja kultural untuk memunculkan imaji dan konstruksi identitas. Batik sebagai identitas kultural menjadi tema klasik di hadapan tema-tema besar dari kuasa ekonomi-politik global. Kepemilikan batik tentu jadi pertaruhan untuk mewartakan eksistensi dan proses pencarian orientasi peradaban.
Hajatan Solo Batik Carnival 2 (SBC 2) jadi bukti intensitas para pelaku dan penikmat batik untuk melakukan penguatan identitas kultural. Panitia secara eksplisit mengungkapkan bahwa ide besar dari hajatan itu adalah ekspresi local genius dengan mengambil ruang Solo sebagai acuan legitimasi kultural. Perayaan batik pun terpahamkan sebagai proses dialogis untuk melakukan penciptaan dan pemunculan kesadaran kultural. Model perayaan dalam SBC 2 merupakan strategi kultural untuk tidak tunduk dengan ideologi pasar dan mengeksplisitkan wacana lokalitas dalam alur global.
Batik pada sekian bulan lalu telah jadi kasus kontroversial dalam mekanisme kepemilikan di mata dunia internasional. Malaysia sejak dini telah mematenkan batik dan membuat publik Indonesia tertegun meski ada sesalan. Reaksi ditunjukkan dengan ikhtiar mendaftarkan batik ke UNESCO PBB agar mendapat legitimasi sebagai warisan budaya tak benda (intangible heritage). Pengakuan dari UNESCO penting untuk menegaskan bahwa batik itu milik Indonesia. Prosedur untuk mencapai keinginan itu mesti dilambari dengan syarat ada keterlibatan komunitas dan publik untuk mengembangkan warisan kultural batik.

Basis publik
Agenda SBC 2 kentara menjadi kontribusi penting untuk mengesahkan batik sebagai milik Indonesia. Pelbagai acara dengan pelibatan komunitas dan publik diadakan dengan intensif dan konstrukstif melalui workshop costume, dance, dan runway sejak Maret sampai Juni. SBC 2 memang disadari sebagai hajatan berbasiskan publik untuk misi kreatif dan edukatif. Keterlibatan publik tercatat dari intitusi pendidikan, organisasi profesional, organisasi kebudayaan, BUMN, organisasi swasta, pemerintah kota, grup kesenian, dan tokoh-tokoh publik. Basis publik memberi spirit kolektif dan model perayaan pluralistik dengan kata kunci batik. Orientasi dari kerja kolektif ini untuk mencitrakan Solo is the International Batik City dan Solo is the International Carnival City.
Bukti dari kepemilikan identitas kultural melalui batik adalah kesadaran para peserta untuk urunan dalam membiayai SBC 2. Panitia mengambil peran sebagai fasilitator dalam pelaksanaan workshop dan carnival. Kesadaran partisipatif menjadi fondasi penting untuk ikhtiar besar mengusung batik sebagai identitas kultural dengan potensi-potensi secara estetis sampai ekonomis. Batik pun mengalami proses dialektis dengan keterlibata pelbagai pihak sesuai dengan kapasitas dan penciptaan orientasi.
Puncak hajatan SBC 2 pada 26-28 Juni 2009 merupakan akumulasi dari kegairahan publik merayakan batik. Kota Solo sebagai ruang perayaan kolektif itu tentu memiliki makna penting sebagai ruang historis, kultural, sosial, politik, dan ekonomi. Kota Solo mencitrakan diri dengan tautan ketegangan tradisionalitas dan modernitas. Batik adalah pengajuan jawab untuk sadar terhadap tradisi dan pembukaan akses agar inovasi dan progresivitas kreativitas bisa menanggapi gerak zaman. Pemilihan rute SBC 2 di jalan Slamet Riyadi juga mengesankan ada pembukaan memori kolektif atas sejarah kota. Jalan Slamet Riyadi merupakan tanda kota dari proses perubahan sosial, ekonomi, politik, dan kultural Solo. Jalan itu merepresentasikan jejak-jejak kekuasaan dan kebudayaan Jawa dan penentu dari resepsi terhadap kapitalisme abad XX pada masa kolonialisme.

Janji dan orientasi
Tanggapan konstruktif dan kritis terhadap SBC 2 terus bergulir mulai dari Pemkot Solo sampai pada pelaku dan penikmat. Joko Widodo sejak dini terus mengingatkan bahwa SBC 2 menjadi pembuktian bahwa Solo itu Kota Budaya dan Kota Pertunjukan. Walikota progresif ini bahkan sanggup menjanjikan pada prestasi dalam SBC 2 untuk mendapati kepercayaan sebagai penampil dalam acara-acara internasional.
Joko Widodo (Kompas, 15/6/2009) mengatakan: “Jika sukses di acara tersebut, tahun depan saya membawa 200 peserta mengikuti acara parade di Singapura yang diikuti 36 negara agar orang semakin tahu tentang Solo dan citranya yang kental dengan budaya. Bahkan, jika mampu tampil lebih bagus di sana, kami dapat membawa berkeliling ke Eropa dan Amerika.” Janji ini mungkin menumbuhkan gairah tapi jangan jadi patokan tunggal untuk merayakan batik. Antusiasme dan apresiasi adalah realisasi dari keberhasilan SBC 2 dan memberi legitimasi untuk konstruksi identitas kultural dalam tautan tradisionalitas dan modernitas.
Hajatan SBC 2 menjanjikan peningkatan kualitas dan kuantitas ketimbang SBC 1 pada tahun lalu. Janji itu tentu menunjukkan keseriusan panitia dan keterlibatan publik untuk kreatif dan apresiatif. Program lanjutan dari SBC 2 juga perlu dilakukan secara intensif melalui institusi pendidikan, kesenian, dan kebudayaan untuk tidak terserap dalam bisa seremonial dan politik pencitraan. Program edukatif jadi pertaruhan dari kerja kultural sebagai pola pewarisasn dan persemaian inovasi-kreativitas. Keberadaan Kampung Batik Kauman dan Kampung Batik Laweyan di Solo tentu jadi tanda primer untuk merayakan batik tanpa henti. Rayakanlah batik dengan gairah untuk hidup dan persemaian identitas kultural! Begitu?

Dimuat di Suara Merdeka, 30 Juni 2009

Tidak ada komentar: