Jumat, 03 Juli 2009

Politik Perlawatan Paku Buwono X

Heri Priyatmoko

Sebuah foto hitam putih bergambar Sinuwun Paku Buwono X beserta permaisurinya yang pertama, putri Mangkunegara IV, sedang berada dalam perjalanan dengan kereta kencana. Di pinggir jalan tampak masyarakat berjubel yang melihat. Foto yang dibuat di pengujung tahun 1910 itu, yang didokumentasikan apik dalam buku Djokja en Solo (1998), seperti kereta waktu. Imajinasi historis bagi yang melihatnya akan mampu diberangkatkan berkelana memasuki rentang panjang kisah raja terbesar di tanah Jawa.
Sungguh menarik membaca esai menantang Bandung Mawardi ”Menjadi Raja dan Menjadi Pahlawan” di rubrik ini (SM, 31 Mei 2009). Dengan membaca esai tersebut, kita mendengarkan Bandung mengatakan pengusulan gelar pahlawan Paku Buwono X kurang tepat. Kekhawatirannya, itu bakal terkesan militerisme. Pesimisme Bandung muncul dari hasil bentangan fakta sejarah jati diri Paku Buwono X yang mengalami benturan dengan Peraturan Presiden RI Nomor 33 Tahun 1966.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan masuk dalam wilayah polemik pantas-tidaknya Paku Buwono X sebagai pahlawan nasional. Namun, saya hendak memperbincangkan bagaimana strategi Paku Buwono X membangun nasionalisme Jawa. Karena, peristiwa historis maha penting ini justru luput didiskusikan dalam seminar di Yogyakarta dan Solo silam.
Setelah menelusuri perjalanan panjang sejarah Surakarta tahun 1900-1915, Kuntowijoyo dalam ”Raja, Priyayi, dan Kawula” (2004) menyimpulkan bahwa Paku Buwono X adalah raja terbesar Jawa karena bisa menguasai simbol-simbol pribadi dan publik. Belanda memandang Paku Buwono X sebagai anak manja, peminum, suka pesta, rajin bersolek, dan lebih mementingkan IQ, tapi Belanda geleng-geleng kepala mengakui keberhasilan Paku Buwono X memainkan simbol bagi kepentingan kekuasaan.
Mulai Menyusut
Pada awal Paku Buwono X memerintah, pamor kerajaan memang mulai menyusut. Dari hasil sorotan historis Darsiti Soeratman (1989), diriwayatkan, puncak kemerosotan ketika kekuasaan pengadilan benar-benar jatuh ke tangan Hindia Belanda di tahun 1903. Ditambah pula hilangnya otoritas atas tanah perekonomian dan tanah yang disewa pengusaha asing. Selanjutnya, Paku Buwono X mulai mencurahkan perhatiannya pada penyelenggaraan upacara dan pesta di keraton secara besar-besaran. Ada yang bersifat intern, seperti upacara makan siang, makan malam raja dan keluarga, ulang tahun raja atau permaisuri, pemujaan terhadap kekuatan alam, dan sebagainya. Akan tetapi, aneka acara mewah ini pengaruhnya kurang luas lantaran diadakan di lingkungan keraton, dan gemanya tidak sampai ke mancanegara. Maka, tiada pilihan lain kecuali melakukan lawatan.
Dalam memori penyerahan jabatan (MvO) Residen Surakarta F.P Sollewyn Gelpe (1914-1918) yang tersimpan rapi di Reksopustoko, tertulis, perjalanan perdana yang dilakukan Paku Buwono X pada zaman Residen De Vogel tahun 1903. Paku Buwono X pergi ke Semarang diiringi ratusan orang pengikut. Jumlah ini lalu dibatasi sampai 200 orang, dan saat Van Wijk menjabat, dikurangi lagi menjadi 80 orang. Belanda mencium gelagat tidak beres aksi Paku Buwono X. Dalam studi George D Larson (1987), dikatakan, lawatan sangat efektif menggalang pendukung Sarekat Islam. Paku Buwono X menarik simpati rakyat dan para bupati sehingga Solo dan Keraton Kasunanan dianggap sebagai pembawa panji gagasan nasionalisme.
Adapun kota-kota yang disinggahi Paku Buwono X seperti Batavia, Buitenzorg (Bogor), Priyangan, Tasikmalaya, Pekalongan, Cirebon, Madiun, Surabaya, Bangkalan, Bali, Lombok, Kediri, Cepu, Lampung. Tindakan ini sungguh bikin geram Belanda sebab potensial sekali untuk subversi. Pejabat Belanda yang sadar akan bahaya ialah Residen L.Th. Sehneider (1905-1908). Lantas, ia melarang lawatan yang tidak resmi itu. Paku Buwono X membandel, lawatan terus dijalankan. Ketakutan Sehneider cukup beralasan mengingat banyak laporan bupati yang diterima gubernur soal aksi dibalik kunjungan Paku Buwono X di mancanegara. Misal, bupati Demak menginformasikan bahwa sewaktu Paku Buwono X pergi ke Demak pada Mei 1913 pernah memberi perintah agar organisasi Sarekat Islam yang terpusat di Solo jangan sampai disingkiri, malah harus didukung. Bupati Madiun pernah dipanggil Hangabehi karena tidak datang di kongres di Solo tahun 1913. Setelah diselidiki, ternyata Hangabehi diperintah Paku Buwono X.
Propaganda
Budi Utomo moncer di Solo berkat peran raja bertubuh tambun itu. Beliau dalam lawatan mempropaganda masyarakat agar mendukung Budi Utomo. Hasilnya, tahun 1920 Budi Utomo berubah radikal, dan bahkan selang setahun kemudian melakukan aksi otonomi. Meski Paku Buwono X di mata Belanda masih seperti anak kecil yang kerjanya menghambur-hamburkan uang, namun di mata kawulanya, ia tetap ”kaisar Jawa”. Sepanjang jalan yang dia lalui manakala melawat, dibanjiri rakyat dari berbagai pelosok untuk ngalap berkah dalem. Mereka rela berebut sisa makanan dan air bekas yang dipakai mandi Paku Buwono X, yang dijual oleh punggawa rendahan keraton dan pegawai hotel. Itu mencerminkan betapa besar wibawa raja yang berhasil dibangun Paku Buwono X melalui kunjungan.
Di kota tujuan, diadakan pasar malam dan pertunjukan upacara keraton. Di situ Paku Buwono X menyebar udik-udik (uang) biar rakyat gembira dan kian patuh pada perintahnya. Ada pelarangan kawin antara bupati dengan puteri keraton oleh Belanda, Paku Buwono X tidak kehabisan akal untuk mencuri hati bupati dengan memberikan hadiah kancing emas dan arloji yang berinisial Paku Buwono X kepada mereka. Dampaknya, semakin menguat kepercayaan bawahannya dan penduduk untuk berjuang melawan penjajah.
Paku Buwono X adalah orang Jawa yang pertama kali menempatkan politik lawatan sebagai senjata melawan Belanda. Mider mancanegara bukan sekadar ritual menyapa rakyat dan rekreasi, tetapi juga manifestasi dari eksistensi dirinya dalam meneguhkan kekuasaan Jawa yang harus dipertahankan. Sebab itu, tepatlah bila Paku Buwono X mendapat julukan sebagai ksatria Jawa sejati karena mampu membangun karisma dan merawat simbol sebagai kekuatan.

Suara Merdeka, 14 JUni 2009

Tidak ada komentar: