Heri Priyatmoko
Matahari mulai ditelan bumi. Langit berwarna jingga menandakan waktu maghrib hampir menyapa. Bau sedap aroma sate kere yang bersumber dari tungku Mbok Jinem menusuk lubang hidung mereka yang pada lewat. Tidak kurang Arif dan Iyok yang pulang glidig dari Pasar Kembang terpancing untuk mampir.
“Mbok, saya pesan dua porsi dan sekalian bikinkan es jeruk. Jangan lama-lama ya,” pinta Iyok sembari tangannya memegang perut yang terasa melilit karena sejak siang memang belum bertatap muka dengan nasi.
Lantaran saking sibuknya ngepeti sate dan menghindari serangan asap, Mbok Jinem cuma mengangguk.
“Yok, kamu sudah baca berita digugatnya Wali Kota Jokowi?” tanya Arif seraya meletakkan jaketnya di samping dingklik.
“Lha masalah opo to, kok sajake wigati banget?” Iyok balik tanya karena sudah sebulan tidak langganan koran.
“Itu lho kemarin Forum Penegak Keadilan dan Kebenaran menggugat Wali Kota Jokowi terkait dikeluarkannya Izin Mendirikan Bangunan Solo Paragon, Center Point Solo dan Kusuma Mulia Tower. Eros Djarot sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri,” terang Arif diikuti tangannya mengambil rambak di atas meja.
Eros Djarot mengungkapkan, budaya mal itu bukan budaya Jawa. Dari segi budaya, bangunan tiga pencakar langit itu rapuh. Pasalnya, menciptakan masyarakat individualis yang kehilangan ke-Jawa-annya yang lekat dengan suasana guyup (SM, 16 Juni 2009).
Mbok Jinem yang berpeluh datang membawa dua porsi sate kere plus lontong. Mereka berdua langsung menyantapnya.
“Cekak gampange, ing wektu iki Solo durung butuh banget mal lan apartemen,” Arif sewot.
“Malah sing tak melang-melangi kuwi ekonomi kota tidak bisa lagi dimiliki warga alias bukan lagi ekonomi kerakyatan, melainkan neoliberal. Kota Solo dipacu tunggang langgang mengikuti globalisasi ekonomi dengan tujuan kapitalisasi di kota yang mengarah pada ekonomi makro. Mal dan apartemen adalah buktinya, dan kaum pemodal sudah kuasai kota. Apa masyarakat kita sudah siap menerima itu?!” jelas Iyok sembari mengoleskan kecap pada makanannya.
Neoliberalisme melibatkan aplikasi ekonomi pasar. Istilah neoliberalisme menunjuk pada gejala yang mirip dengan tata ekonomi tiga dasawarsa tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di penghujung abad XIX dan awal abad XX, yang ditandai dominasi modal keuangan dalam proses ekonomi. Neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja pemodal dari kawalan, namun dalam bentuk yang lebih ekstrem.
”Makanya, kita mesti ingat akan ajaran Bung Karno dan Bung Hatta bahwa konsep ekonomi kerakyatan diciptakan untuk mengatasi tiga penyakit yang menghinggapi ekonomi neoliberal, yaitu kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan. Ekonomi kerakyatan konsep tulen Bangsa Indonesia, dudu konsepe wong Barat. Dadi biyen kae Bung Karno pancen kepengin pembangunan Indonesia Berdikari,” Arif ketus. Sedetik kemudian mereka merenung.
Iyok yang tampak kemlekeren mencoba menerawang jauh, memikirkan dampak hebat ekonomi neoliberal masuk Kota Solo.
Yang ada dalam benak Iyok adalah matinya industri lokal mati. Hambatan perdagangan dibikin untuk melindungi industri dan tenaga kerja lokal. Dengan dihilangkannya hambatan perdagangan, otomatis harga produk dari luar negeri bakal melorot dan permintaan untuk produk lokal susut. Buahnya, industri lokal kolaps.
Sementara, Arif pun dibayangi ketakutan seandainya nanti masyarakat kota menjadi pengemis di atas kotanya sendiri. Pasalnya, di mata kaum neoliberalisme, penganggur ialah orang-orang yang ambruk atau kalah dalam kompetisi. Imbasnya, kian lebar jurang antara si kaya dan si miskin yang rentan konflik.
Semoga mimpi buruk tersebut tidak menjadi kenyataan. Itulah harapan mereka berdua dan juga masyarakat luas.
Dimuat Suara Merdeka, 22 Juni 2009
Jumat, 03 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar