Jumat, 03 Juli 2009

Simbolisasi Perlawanan Rampogan Macan

Heri Priyatmoko

Sejarah tanah Jawa mulai menerima pengaruh hegemoni luar sejak zaman Mataram Islam. Campur tangan Belanda membawa kemerosotan di berbagai aspek kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, maupun hukum. Kelanjutan dari kemerosotan itu dialami kekuasaan raja-raja Mataram. Karena, jauh sebelum 1830, ketika perjanjian Paku Buwana VII dengan VOC yang mengakibatkan Kesunanan harus melepaskan kekuasaannya dan banyak kehilangan tanah mancanegara (wilayah kekuasaan di luar keraton).
Puncak kemerosotan saat era Paku Buwana X (PB X) diawali setelah jatuhnya kekuasaan pengadilan ke tangan kolonial. PB X juga kehilangan kekuasaan atas tanah perekonomian dan tanah yang disewa pengusaha asing. Berbagai kemerosotan pamor raja itu mengakibatkan PB X mulai mencurahkan perhatiannya pada penyelenggaraan upacara dan pesta di keraton secara besar-besaran, salah satunya Rampogan Macan.
Bagi raja dan masyarakat Jawa pada umumnya, upacara dengan segala aturan etika adalah alat untuk membuat jarak dengan orang yang lebih rendah derajatnya serta mempertinggi wibawa agar kekuasaannya makin kukuh. Hal itu tecermin dari penggunaan busana, tempat duduk, tingkah laku, dan tinggi-rendah bahasa yang digunakan. Hal itu merupakan indikasi kedudukan, derajat, dan kehormatan para peserta upacara. Keraton Kasunanan Surakarta selain memelihara gajah dan kerbau, juga memelihara macan hasil buruan raja yang ditaruh dalam kandang yang letaknya di sudut tenggara alun-alun.
Setiap harinya peliharaan tersebut diberi makan berupa daging anjing. Raja PB X memelihara macan untuk hiburan kawulanya pada waktu garebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun dan kemudian macan ini diadu dengan kerbau. Setelah itu baru dibunuh secara ber sama-sama. Upacara Rampogan hanya digelar sewaktu ada tamu agung, terutama gubernur jenderal atau orang yang dipanggil PB X dengan sebutan ‘eyang’. PB X memang tunduk kepada Belanda, sampai-sampai menyebut residen dengan bapa dan gubernur jenderal dengan panggilan eyang.
Dalam upacara Rampogan, macan akan ditaruh dalam se buah kandang di tengah alun-alun, sedangkan prajurit me ngepungnya dari pinggiran. Lalu, macan akan dilepas dengan membuka tutup kandang dan prajurit menakut-nakutinya dengan api supaya keluar. Macan yang keluar kandang segera berlarian ke pinggir ketika tombak-tombak prajurit dan sorak penonton sudah menghadang. Pada masanya, tontonan itu menjadi keramaian yang terbesar dan terpenting. Kabarnya, kemeriahannya hingga mengalahkan upacara garebeg, penobatan raja, tedhak loji, dan jendralan
Di Kasunanan, sebetulnya ada pertunjukkan hewan yang diadu selain Rampogan, yaitu Dombo Sawala. Pertunjukkan itu biasa digelar di Pesanggrahan Langenharja. Sebuah tempat yang difungsikan untuk rekrea si dan meditasi aristokrat Kasunanan. Binatang yang sering diadu ialah harimau melawan domba (berok) dan anjing melawan babi. Untuk dihadapkan pada harimau, kambing diberi taji dan kalung buntal, yaitu rangkaian daun-daun yang warna-warni. Dalam benak PB X, ma sya- ra kat bisa melihat harimau ka rena kemurahan raja.
Penonton dari berbagai lintas etnis memadati alun-alun. Di situ, raja tampil istimewa dengan busana yang mewah dan duduk sejajar bersama gubernur jenderal. Seolah menunjukkan kepada rakyatnya keduduk an mereka seimbang. Harimau adalah binatang paling buas. Secara simbol, Rambogan bukan hanya mengandung ajaran bagi penonton tentang perlunya menguasai yang buas demi kelangsungan peradaban manusia
Ritual itu kemudian mempunyai arti tambahan, yaitu dengan mengumpamakan macan sebagai orang Belanda yang bersifat buas, menunjukkan bahwa ritual tersebut merupakan sesuatu yang mempunyai relevansi terhadap kondisi aktual masyarakat. PB X sebagai raja terbesar di tanah Jawa secara simbolis ingin menunjukkan perlawanan terhadap penjajah.

Media Indonesia, 13 Juni 2009

Tidak ada komentar: