Kamis, 30 Juli 2009

Politik , Puisi, Demokrasi

Bandung Mawardi

Silahturahim politik (kampanye) jadi tontonan dan santapan berita yang mengenyangkan untuk hari ini. Salam, sapaan, jabatan tangan, senyum, foto bersama, pujian, janji, pakaian, dan bendera menjadi perayaan untuk jadi manusia-manusia politik. Politik menjelma prosa yang meluber tanpa ada bahasa untuk bisa mengucapkan diri dengan fasih secara estetis. Politik prosaik pun jadi klise-klise menyedihkan ketika jadi konsumsi publik. Politik riuh dengan mimpi dan manipulasi untuk membuat Indonesia jadi fiksi menggelitik dan tragik.
Silahturahim politik jadi perjumpaan pamrih atas nama rakyat dengan “melupakan” rakyat. Permainan kata jadi taruhan untuk kontrak politik tanpa ada naluri untuk menulis dan mengucap makna Indonesia dengan pamrih-pamrih kultural. Silahturahim sebagai ekspresi kultural ingin digantikan dengan perayaan politik tanpa imajinasi. Puisi pun hilang dari silahturahmi sebagai bentuk pelupaan terhadap kodrat sejarah politik dan lakon peradaban.
Politik hari ini tak memiliki puisi untuk ditebarkan sebagai benih-benih demokrasi agar patut dihidupi dan diwariskan. Politik memasuki pintu rumah orang-orang dengan instruktif dan imperatif. Bahasa-bahasa kasar dan keras memaksa orang-orang untuk lekas mengucapkan iman dan amin atas sabda-sabda para aktor politik. Politik tanpa impresi karena bahasa politik dioperasionalisasikan sebagai kutukan atau janji ilutif.
Politik hari ini adalah pabrik kata dengan dusta dan dosa. Produksi kata melampaui batas resepsi. Jalan jadi hutan rimbun kata. Rumah jadi bendungan kata. Televisi jadi bazar kata. Koran jadi pasar kata. Radio jadi kebun kata. Produsen kata dikerahkan dengan massif dengan wajah dan tubuh klise. Orang-orang menerima kata-kata politik sebagai tanda seru dan tanda tanya untuk kematian atau bunuh diri. Kata-kata dengan sadis dimanipulasi dalam pertaruhan politik untuk membunuh dengan semantik tak unik.
Puisi tak mampir di rumah politik sebagai tamu yang membawa misteri. Orang-orang lupa dengan puisi karena sibuk mengurusi politik yang terlalu manja tapi melenakan. Puisi masih mendekam di kamar kecil dengan pembaca yang takzim. Puisi sekadar catatan pinggir dari rumah politik yang tak mau menyapa dan menggoda. Pembaca itu pun tafakur memikirkan metafor dalam puisi dan propaganda dalam politik. Dunia sepi dan dunia ramai.
Politik tanpa puisi? Lakon ini tampak dari perayaan demokrasi yang kehabisan sabun mandi dan sapu untuk membersihkan diri dan rumah politik. Politik selalu mendapati terjemahan prosaik dari umat yang mengimani politik sebagai berahi yang mesti dilunaskan dengan tergesa. Berahi politik jadi dalil untuk esktase demokrasi yang miskin makna. Politik menjelang tragedi. Demokrasi menjelang ilusi.
Negeri ini lupa dengan biografi puisi. Khazanah sastra masih terbuka untuk pencarian dan penemuan jejak-jejak puisi sebagai perayaan politik. Sejarah membuat orang mahfum bahwa bahasa adalah nyawa untuk hidup. Politik puitik adalah representasi dari utopia kekuasaan yang sadar bumi dan sadar langit. Politik puitik hadir dengan fakta dan fiksi. Imajinasi politik jadi pertaruhan nasib untuk mengesahkan makna hidup.
Politik puitik pada hari ini seperti jadi wacana antik. Aktor-aktor politik merasa puisi tak sanggup jadi dalil ampuh untuk menciptakan dan menebarkan doktrin. Politik hari ini menganggap slogan sebagai mantra untuk membuat orang-orang sebagai data kuantitatif. Data ini menjadi legitimasi untuk melunaskan hajat politik yang mengandung kentut dan monster.
Siapa tak lelah dengan bahasa politik yang riuh dan cerewet? Politik dan demokrasi dilanggengkan dengan dalil-dalil untuk meruntuhkan makna dan memperkosa imaji. Ekstase diciptakan dengan manipulasi dan dramatisasi tanpa estetika. Puisi justru membuka diri untuk orang-orang yang enggan masuk pasar politik atau orang-orang yang melarikan diri untuk pertobatan dari kuasa bahasa politik yang penuh dendam dan mengancam. Bahasa politik jadi aliran dusta yang deras. Politik jadi kasar dan keras. Demokrasi pun lekas melupakan puisi sebab sepi dan ironi.
Kelelahan lakon politik tak menemukan jeda dalam kenikmatan metafora dan imajinasi politik. Kelelahan justru diimbuhi dengan kelahiran kutukan atau kultus. Puisi susah mendapati pembaca yang khusuk. Puisi belum jadi pintu untuk kontemplasi dan aksi. Politik tidak memberi surat izin untuk orang-orang menengok puisi. Politik bekerja dengan agitasi untuk tak mempercayai imajinasi. Politik menjelma mesin mimpi dan ilusi. Mesin ini susah mati karena masih ada bensin dan oli yang melimpah.
Politik puitik mungkin jawaban yang susah hadir dalam berahi politik hari ini. Politik puitik sekadar jadi catatan kaki. Jawaban-jawaban atas politik adalah deretan panjang dengan distorsi dan komplikasi. Aktor politik selalu menuntut orang-orang untuk percaya bahwa jawaban-jawaban politik itu manjur. Konstitusi jadi bukti aktor politik menciptakan kisah pengabdian dengan kantuk dan uang. Konstitusi sebagai jawaban itu durhaka atas fragmen-fragmen hipnotis dan mistis dalam pesta demokrasi.
Politik puitik sebagai catatan kaki patut jadi belokan untuk membaca politik hari ini. Politik puitik itu politik yang mengusung takdir hidup dan mati dengan imajinasi. Politik dioperasionalisasikan dengan kata dan makna sebagai dalil dan risiko. Tindakan politik adalah representasi dan realisasi. Politik itu puisi? Politik puitik mengandung estetika untuk mengantarkan orang pada pintu-pintu interpretasi. Perayaan politik yang pluralistik tentu jadi pertaruhan eksistensi atas nama demokrasi dan humanisme.
Siapa mencatat dan mewartakan puisi hadir dari ritual politik hari ini? Fakta politik adalah perjudian imaji (citra). Politik dikonstruksi dengan imaji untuk menutupi aib dan naif. Imaji politik disebarkan dengan slogan untuk iklan-iklan yang propagandis. Slogan itu lahir dari kata-kata yang jauh dari estetika atau narasi puitik. Slogan menghasratkan efek imaji untuk mengelabui atau mengafirmasi pamrih aktor politik.
Siapa mau membaca puisi untuk mengenangkan politik? Siapa mau takzim untuk puisi yang tak ingin basi seperti politik ilutif dan distortif? Siapa ingin mengusung politik luluh dalam puisi? Siapa membuka pintu imajinasi politik dalam puisi? Puisi ini adalah belokan dari politik yang tragik. Begitu.

Dimuat di Kedaulatan Rakyat (5 Juli 2oo9)

Tidak ada komentar: