oleh: Heri Priyatmoko
Bagi Kabupaten Sukoharjo, kawasan Solo Baru bagaikan anak gadis yang sedang mekar. Solo Baru menjadi kota satelit, efek pemekeran kegiatan ekonomi Kota Solo. Dalam monografinya, Solo Baru terbagi dalam tiga kalurahan, yakni Kalurahan Gedangan, Madegondo, dan Langenharjo. Satu dekade terakhir, daerah ini mengalami perkembangan properti paling pesat ketimbang daerah sekitarnya. Solo Baru merupakan tempat incaran investor dalam rangka mengembangkan sayapnya di dunia bisnis. Tak pelak, harga tanah di sana per meternya melesat tinggi. Kini, Solo Baru sudah dilengkapi ruko, pusat perbelanjaan, dan perumahan. Bahkan, adanya wisata kuliner, water world Pandawa dan sekolah internasional afiliasi Singapura bikin kawasan Sukoharjo paling ujung utara ini kian moncer.
Namun, dibalik gemerlapnya Solo Baru, terdapat daerah remang yang menjadi sorotan publik, yaitu prostitusi Solo Baru atau lebih sohor disebut Jempingan. Dan, belum lama ini lokalisasi tersebut diberitakan oleh media lokal karena ada dua waria menganiaya seseorang yang kebetulan lewat. Sebelum itu, tak jarang terjadi uber-uberan wanita tuna susila (WTS) dengan polisi yang sedang operasi. Dalam tulisan ini saya hendak mengungkap prostitusi Solo Baru dalam perspektif sejarah, lantaran fenomena ini tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan prostitusi di Kota Solo.
Setelah menelusuri perjalanan panjang sejarah prostitusi di Jawa, Gayung Kusuma dalam “Perilaku Seks di Jawa Awal Abad ke-20” menyimpulkan bahwa pada mulanya seks bersifat privacy kemudian menembus tataran ruang vulgar. Hal itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, kedatangan orang Eropa dan perkebunan besar membawa pengaruh bagi pribumi dalam hal gaya hidup, perilaku seks dan tindakan yang melanggar norma. Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat pribumi kala itu masih rendah. Tenaga kerja wanita tak mampu mandiri secara ekonomi, maka sebagian dari mereka menjadi wanita penghibur. Ketiga, hadirnya seni pertunjukkan seperti penari tayub dan ledhek turut kasih peluang adanya perilaku seks bebas. Di antara mereka ada yang menjadi pelayan seks penonton dengan menerima imbalan uang. Keempat, pejabat rendahan dan tentara yang berasal Eropa ada yang bujang atau tidak membawa istri dengan bebas melakukan kegiatan seks di rumah bordil.
Dari hasil telaah historis Erythrina Deasy K (2008) ditemukan titik-titik di Solo sebagai ajang prostitusi tahun 1930-an. Misalnya, Banjarsari, Kestalan (dekat stasiun Balapan), Turisari, dan Cinderejo (kompleks Terminal Tirtonadi). Lokalisasi tersebut resmi. Pasalnya, Belanda memasang tanda plakat stempel hitam sebagai tanda diijinkan oleh pemerintah kolonial. Sementara bermunculan pula rumah bordil tanpa stempel alias liar seperti di Sangkrah, Semanggi dan Alun-alun Kidul. Selanjutnya, pelacur jalanan bisa dijumpai di sekitar Pasar Legi. Tempo doeloe, daerah ini dipakai untuk nongkrong warga untuk mencari wedang petruk (angkringan) atau sekadar menikmati tusukan angin malam. Faktor inilah yang mendorong “kupu-kupu malam” keluyuran berburu “mangsa”. Faktor lainnya, para pedagang yang datang dari luar daerah sebelum hari pasaran pasar, lalu menginap di pasar dan mereka butuh kepuasan dalam seks.
Dengan gambaran sejarah di atas, maka mau tak mau kita termanggut setuju terhadap tesis Michel Foucault dalam “Ingin Tahu Sejarah Seksualitas” (2008) bahwa seksualitas ialah hubungan kuasa yang dihasilkan melalui interaksi yang kompleks dari diskursus plural dan praktik kelembagaan dari aparatus seksualitas sampai abad XX. Tidaklah mengherankan apabila koran Darmo Kondo tanggal 19 Maret 1937 mengisahkan saban kampung di Solo terdapat perempuan jalang. Bermula dari interaksi, mereka berhasil menaklukan para pemuda yang mengadu nasib di kota.
Di mata priyayi, wanita jalang digambarkan tidak sopan, “bangoennja biasa siang, ramboetnja terlepas serta bernjanji-njanji”. Dipandang bukan soal remeh, lantas Partai Indonesia Raya berkumpul membahas penyakit masyarakat ini. Ada sejumlah usul agar para perempuan itu diberi benteng atau kezerne agar tak mengganggu orang baik-baik di kampungnya. Tapi, ada pula yang berpendapat itu sukar diberantas lantaran tergantung sikap lelaki yang kerab menggunakan jasa mereka. Tepat pernyataan Saratri Wilonoyudho (2003), prostitusi merupakan masalah yang tak berhenti pada masalah ekonomi, namun juga kelonggaran “kultur” masyarakat sekitar, pengaruh gaya hidup, serta persepsi para pelacur dan keluarganya terhadap profesi ini.
Dari tarikan sejarah ini, amatlah jelas jikalau prostitusi di Solo Baru tidak serta merta berdiri sendiri, tetapi bagian dari pemekaran prostitusi-prostitusi yang ada di Solo, WTS ada karena desakan ekonomi, dan longgarnya kultur masyarakat setempat. Opini ini semakin sulit terbantah manakala mengingat kembali laporan di tahun-tahun lalu bahwa perempuan yang terkena razia di lokalisasi Solo Baru kebanyakan “muka lama”. Lagi pula, dalam konsep ruang, lokalisasi tersebut ternyata berada (baca: terjepit) di antara dua dunia yang berbeda: di kawasan elite yang tinggal perumahan yang notabene penghuninya sangat individualistis dan perkampungan masyarakat asli yang masih tradisional.
Sekali lagi mengutip Foucault, di antara kekuasaan dan seks, representasi hanya terjadi dalam bentuk negatif: penyingkiran, pengabaian, penolakan, dan penghambatan. Kekuasaan tidak “dapat” berbuat apa pun pada seks dan kenikmatan secara bebas kecuali berkata tidak. Berarti sungguh ironis ketika kekuasaan legal atas nama pemerintah daerah Sukoharjo bekerja keras untuk mengembangkan Solo Baru sebagai kota satelit agar berkembang pesat, namun tetap saja tiada bisa mensterilkan Solo Baru dari kegiatan maksiat.
Suara Merdeka, 13 Juni 2009
Jumat, 03 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
wah, saya baru tau mengenai hal ini. terimakasih infonya. saya warga kabupaten Sukoharjo.
salam
Posting Komentar