Bandung Mawardi
Karanganyar mulai intensif melakukan pencitraan dan penguatan diri sebagai kabupaten potensial, aktif, produktif, progresif alias moncer. Keberhasilan meraih penghargaan Adipura pada tahun 2009 merupakan contoh kerja keras dari pemkab, pelbagai instansi, dan partisipasi publik. Pemerolehan Adipura selama tiga tahun terakhir menjadi pembuktian bahwa Karanganyar memiliki antusiasme untuk menggerakkan diri dalam proses kemajuan atas nama perubahan. Antusiasme ditampakkan dengan pelbagai ekspresi mulai dari bentuk kasat mata sampai ekspresi pada mentalitas.
Peristiwa kirab Adipura mengesankan ada rasa kemenangan atas ikhtiar menjaga kebersihan daerah. Kemenangan dengan penghargaan tentu mengandung legitimasi secara politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Adipura sebagai penghargaan kebersihan mencakup implikasi sinergi kerja pelbagai unsur dalam mencitrakan dan merealisasikan program-program di kabupaten. Pencitraan cenderung jadi modal besar untuk memberi spirit dan kepercayaan atas nama optimisme. Optimisme itu diterjemahkan sebagai proyek untuk membuat Karanganyar menjadi moncer di hadapan daerah-daerah lain dalam ranah provinsi dan nasional.
Pemerolehan Adipura memicu Pemkab Karanganyar untuk terus memberi kerja keras dan pembuktian untuk kemajuan. Gagasan Bupati Rina Iriani mulai digulirkan untuk melengkapi penghargaan Adipura dengan program pemusatan para pedagang kaki lima. Gagasan ini sengaja jadi paket primer untuk mengapresiasi Adipura secara riil dengan lokomotif dari pemkab. Rina Iriani membayangkan bahwa dengan pemusatan pedagang kaki lima dalam lokasi-lokasi tertentu bisa jadi jaminan kebersihan lingkungan terjaga. Pembayangan ini normatif meski kadang masih mengabaikan efek-efek lain dari model pemusatan.
Rina Iriani dalam wawancara dengan sebuah harian nasional mengungkapkan bahwa ada niat untuk mengelompokkan para pedagang kaki lima dalam klasifikasi seusai materi dagangan. Rina Iriani mencontohkan kalau para pedagang kaki lima penjual makanan digabungkan dengan nama Pujasera (Pusat Jajanan Selera Rakyat). Pembayangan program untuk para pedagang kaki lima ini memang cukup realistis bisa direalisasikan tapi masih mengandung tanya tak optimis. Mungkinkah dengan pemusatan bakal membuat para pedagang menerima kompensasi berimbang dalam bentuk penghasilan? Mungkinkah konsumen mendapati kenikmatan dalam transaksi dan laku makan?
Program pemusatan memang godaan administratif untuk pengelola daerah. Pemusatan kerja ekonomi dengan penentuan klasifikasi seragam tentu memudahkan pengelolaan dan pengontrolan. Dalil ini tentu tak akomodatif dengan keniscayaan perbedaan dan penyebaran. Pemusatan pedagang makanan justru akan membuat titik-titik sebaran di pelbagai wilayah tidak memiliki kemungkinan tumbuh dengan dialektika ekonomi. Sebaran wilayah kerja pedagang makanan niscaya memberi pilihan-pilihan ekonomi, sosial, dan kultural dengan mobilitas pembeli untuk mendatangi dan mengalami ruang-ruang berbeda.
Pemusatan juga menimbulkan kecurigaan ada pemanjaan terhadap konsumen karena hadir dalam satu lokasi lalu bisa memilih jenis makanan apas saja dari daerah mana saja. Pemanjaan bisa melahirkan risiko kehilangan pengalaman-pengalaman alamiah dan semi artifisial dari totalitas kehadiran makanan, pedagang, dan ruang. Makanan adalah juru bicara dari gerak dialektis manusia untuk mengerjakan sesuatu dengan pencapaian kompleks. Makanan khas dari daerah tertentu mesti enak untuk dinikmati dengan kehadiran di daerah itu sebagai legitimasi kultur makan. Pemusatan mungkin bakal memunculkan impresi artifisial dengan penghilangan faktor dan potensi alamiah makanan dan proses makan.
Program dari Rina Iriani mengesankan ada bentuk adopsi dari kasus di Kota Solo mengenai Galabo (Gladag Langen Bogan) dan target dari Pemkot Solo untuk membentuk pusat-pusat jajanan di pelbagai titik di wilayah Solo. Program Pujasera mesti mengacu pada penilaian dan pembuktian kritis terhadap keberadaan pusat-pusat jajanan di daerah lain. Pembelajaran dilakukan untuk mendapati fondasi dalam menyusun argumentasi dan menentukan orientasi dengan kesadaran risiko. Program pendirian pusat jajanan memang tidak susah tapi bisa memunculkan kerepotan ketika tak memiliki prosedur elegan dan antisipasi penyelesaian masalah.
Rina Iriani mengajukan contoh lokasi untuk program Pujasera di Pasar Papahan (Tasikmadu) dan terminal agrobisnis Karangpandan. Pemilihan lokasi dengan jarak agak berjauhan mungkin dijadikan alasan untuk memberi akses bagi penduduk bisa memilih lokasi terdekat. Penentuan lokasi membutuhkan pertimbangan progresivitas roda ekonomi lokal dengan ukuran operasionalisasi modal dan sirkulasi uang antara pelaku-peleku ekonomi. Kesadaran terhadap konsumen secara kuantitaif dan kualitatif juga perlu dijadikan pertimbangan matang untuk memberi jaminan para pedagang sanggup mengembalikan modal dan mendapati keuntungan.
Gagasan dari Rina Iriani membutuhkan apresiasi untuk kemungkinan realisasi atau perubahan (modifikasi). Optimisme memang jadi modal besar untuk pelaksanaan program tapi mesti diimbangi dengan anutan terhadap fakta empiris mengenai kondisi ekonomi, politik, sosial, dan kultural. Perayaan atas perolehan Adipura dan pembuatan program lanjutan pemusatan para pedagang kaki lima mungkin jadi ikhtiar untuk membuat Karanganyar moncer di hadapan publik sendiri dan para pengunjung dari daerah lain. Kemonceran merupakan godaan dari kerja keras pemkab dalam menjalankan amanah dan pembuktian pencapaian target-target untuk legitimasi pemerintahan.
Niat dan laku untuk moncer mesti menghindari sensansi atau kontroversi karena mengandung risiko tak rasional. Proyek Karanganyar moncer tentu membutuhkan refleksi dan evaluasi kritis dengan pengalaman historis dan empiris. Karanganyar pada tahun-tahun kemarin sudah menampakkan gejala ingin moncer secara artifisial dengan pemecahan rekor MURI untuk pelbagai acara dengan label seni dan kultur atas nama tradisi. Labelitas itu terjadi untuk memberi klaim bahwa Karanganyar mungkin menjadi pusat perhatian. Efek dari proyek moncer itu hanya bertahan dalam waktu pendek. Pengalaman dan fakta itu bisa jadi acuan untuk merumuskan Karanganyar moncer dengan program-program aktif, positif, dan progresif. Moncer jangan jadi jebakan untuk kerapuhan mekanisme dan prosedur menggerakan spirit publik dalam kerja ekonomi. Orientasi primer adalah memunculakan kesadaran terhadap dalil dan pamrih dalam kerja kolektif atas nama kepentingan daerah tanpa harus terjadi penundukkan spirit publik oleh desain dari birokrasi. Begitu.
Dimuat di Suara Merdeka (19 Juni 2oo9)
Jumat, 03 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar