Bandung Mawardi
Mudik adalah tradisi besar dalam perspektif agama, sosial, ekonomi, dan kultural di Indonesia. Tradisi itu menjadi hajatan kolektif dengan sekian kerepotan, pengorbanan, taruhan, pamrih, dan risiko. Mudik dalam pengertian kembali atau pulang niscaya mengandung jejak-jejak historis dan biografis dengan kompleksitas kisah: tragedi, komedi, atau tragik-komedi. Mudik pun menjadi kerepotan kreatif pengarang untuk menulis kisah manusia dan membuat tafsiran-tafsiran dari pelbagai perspektif. Kisah-kisah mudik itu menjadi sebuah perayaan teks untuk dokumentasi dan membuka batas-batas imajinasi manusia.
Putu Wijaya dalam cerpen Mudik mengisahkan tegangan psikologis suami istri ketika mesti menentukan sikap terhadap tradisi mudik. Negasi dan kritik atas mudik menimbulkan risiko kultural. Risiko itu menentukan nasib manusia dalam konteks keluarga dan sosial atas nama solidaritas atau rekonsiliasi. Konformitas memang tidak lekas menjadi jawaban atas pilihan mudik atau tidak mudik. Putu Wijaya dengan empati mengusung kritik mudik dan kritik tandingan dalam tegangan psikologis dan kultural.
Simaklah argumentasi kritis untuk keengganan mudik: “Saya bukan tak cinta, bukan tak rindu, bukannya sudah murtad dan sama sekali bukan materialistis.” Argumentasi ini cenderung ingin menunjukkan pergulatan batin tokoh untuk menentukan sikap. Ketegangan emosional hadir dalam tuturan lanjutan: “Tapi coba bayangkan, mudik tidak hanya berarti ongkos pulang pergi, tapi juga oleh-oleh, basa-basi, dan waktu yang begitu berharga jadi sia-sia.” Konklusi dari rentetan argumentasi dalam cerpen Mudik adalah mudik identik dengan kesusahan.
Keputusan untuk tidak mudik melahirkan konsekuensi berat dalam keintiman dan sosialitas manusia dalam label keluarga atau masyarakat. Konsekuensi itu membuat hantaman balik atas kritik dan penolakan untuk mudik. Surat dari keluarga di kampung halaman mengisahkan getir dan satir atas rasa kehilangan dan penundaan pertemuan lahir dan batin sebagai keluarga. Surat itu meluluhkan dan mengingatkan alur memori kolektif keluarga. Mudik pun ditafsirkan kembali dengan kompromi etis. Mudik adalah pertemuan kembali untuk mengintimkan kembali fragmen-fragmen hidup mesti dengan kompensasi kerepotan uang dan waktu.
Yudhistira ANM Massardi dalam cerpen Lebaran Kami dengan genit mengisahkan mudik sebagai tradisi repot dan geger. Mudik tujuh keluarga di Jakarta untuk kembali ke kampung halaman adalah tradisi pengungsian besar. Mudik itu pun bakal menimbulkan geger tanpa ada rumus untuk kompromi atau solusi mumpuni. Mudik dalam perspektif manusia kota Jakarta memang tradisi dengan kompensasi dan konsekuensi. Pengarang dalam cerpen itu membuat kompensasi kalem: mudik sebagai kegegeran keluarga untuk pulang kampung mendapatkan balasan kebahagian tak terlupakan dalam kehangatan dan keintiman keluarga besar.
Kisah mengenaskan hadir dalam cerpen Mudik karangan Mustofa W. Hasyim. Cerpen itu mengisahkan kehidupan kaum miskin di Jakarta yang melakukan pertarungan sengit untuk bisa mudik sebagai suatu ritual hidup. Keluarga miskin memang kerap dihantui kegagalan untuk mudik. Kegagalan itu ditentukan oleh uang. Niat mudik ada dengan kekuatan nuklir tapi uang tak ada. Kegagalan mudik adalah kegagalan mencecap makna hidup.
Keluarga Joko dalam cerpen itu hidup dalam kondisi miskin dan hidup dalam rumah sempit di pinggiran sungai. Kemiskinan itu seolah hukuman berat sebagai kompensasi kenekatan hidup di Jakarta. Keluarga Joko gagal mudik karena tak ada uang. Uang simpanan habis karena sebelum bulan puasa Joko sakit tipus dan seorang anak kena demam berdarah. Uang habis dan utang menumpuk. Pertarungan niat untuk mudik dan ketiadaan uang itu menimbulkan ketegangan miris. Kereta api mudik yang melaju dekat rumah adalah simbol kegagalan dan kekalahan keluarga Joko.
Inilah kutipan perdebatan Joko dan istri sebagai orang-orang kalah: “Persetan dengan mudik!” teriaknya. “Tapi, Mas, Mudik adalah lambang keberhasilan kita di rantau.” “Jadi kalau kita tidak mudik berarti kita gagal hidup di rantau?” “Ya, Mas. Kita dianggap ampas, sudah habis....” Perdebatan itu merepresentasikan resistensi dan haru atas nasib hidup. Mudik sebagai realisasi hidup harus menjadi mimpi atau jalan buntu. Gagal mudik tentu menimbulkan sedih, marah, dan aib. Resistensi atas nasib itu memang mengenaskan. Resistensi anak-anak Joko justru cenderung halus meski tak ingin luluh dalam sikap pasrah. Anak-anak Joko melawan kegagalan itu dengan imajinasi. Imajinasi mudik hadir dengan gambar rumah desa, kandang sapi, kambing, pohon jambu, kakek, nenek, bude, pakde, dan sekian gambar tentang keluarga di desa. Imajinasi mudik yang mengharukan.
Umar Kayam pun memiliki kisah-kisah mudik dalam sekian cerpen. Umar Kayam merupakan mpu karena telaten dan intens menulis cerpen-cerpen mudik. Cerpen Ke Solo, Ke Njati mengisahkan kegagalan seorang pembantu rumah tangga di Jakarta dengan dua anak untuk mudik ke desa. Kegagalan itu karena kekalahan dalam pertarungan mendapatkan tiket resmi, gagal masuk ke bus, dan salah perhitungan untuk uang jajan dan transportasi. Kisah haru hadir dalam cerpen Menjelang Lebaran. Keluarga Kamil dan Nah (pembantu) gagal mudik karena Kamil kena PHK. Mudik pun menjadi perkara pelik. Rindu keluarga mesti tertahan karena Kamil mesti mengurusi keluarga untuk bisa mempertahankan hidup dan menolong nasib Nah.
Cerpen Lebaran Ini, Saya Harus Pulang mengisahkan kegetiran tokoh Nem (pembantu di keluarga priyayi di Jakarta). Nem memutuskan untuk mudik meski sempat mendapat halangan dari majikan. Alasan Nem untuk pulang adalah melunaskan rindu keluarga dan desa. Izin untuk mudik dari majikan justru membuat Nem Gelisah ketika mengingat mudik nanti mungkin menimbulkan sekian perkara dilematis. Nem membayangkan keluarga di desa jatuh dalam kubangan kemiskinan. Desa dalam kondisi rusuh dan miskin. Mudik justru menjadi kegamangan untuk Nem.
Cerpen Sardi mengisahkan tokoh Sardi yang bekerja sebagai buruh di Jakarta. Sardi dengan gaji kecil hidup pas-pasan di Jakarta. Kondisi ekonomi itu membuat Sardi selama tiga Lebaran susah untuk mudik ke Wonogiri. Surat dari keluarga menjelang Lebaran membuat Sardi harus menuruti rindu untuk bertemu keluarga. Uang menjadi momok. Sardi pun nekat mencairkan cek dari majikan untuk bisa mudik. Sardi berhasil sampai rumah untuk menumpahkan rindu dan memberikan sekian oleh-oleh sebagai tanda hidup dari Jakarta. Keluarga Sardi menerima itu dengan haru dan bahagia tanpa tahu kisah di balik mudik Sardi.
Mudik adalah kisah pelangi manusia dengan pelbagai dalil dan pamrih. Mudik sebagai upacara massal memang memberikan magis religiositas dan kultural. Kisah-kisah mudik selalu mengingatkan nostalgia dan utopia. Mudik pun membuka kesadaran atas realitas hidup dalam dilema kota, desa, uang, kerja, identitas, mimpi, depresi, politik, ekonomi, kapitalisme, globalisasi, demokrasi, dan lain-lain. Dilema itu mengandung kemungkinan dan taruhan untuk gagal atau berhasil, maju atau mundur, hidup atau mati, sedih atau senang, putih atau hitam, miskin atau kaya.
Sastra mudik mengisahkan dilema-dilema itu dengan sekian perspektif untuk mencatatkan lakon hidup manusia. Sastra mudik memang identik dengan peristiwa atau momentum Lebaran. Sastra mudik tidak sekadar perayaan imajinasi tapi perayaan inklusif untuk membaca dan menafsirkan realitas. Begitu.
Kedaulatan Rakyat (27 September 2oo9)
Kamis, 05 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar