Bandung Mawardi
Kereta api masih jadi pilihan orang melakukan mobilitas diri dari kota ke kota. Kereta api telah menjelma tanda besar dari tradisi mudik dan balik dalam merayakan Lebaran ke kampung halaman. Negeri ini memang unik dalam proses dan prosedur menerima kehadiran kereta api sejak masa kolonialisme pada abad XIX. Biografi kereta api seperti representasi biografi negeri dan kompleksitas biografi pribumi dalam masa peralihan tradisionalitas ke modernitas.
R.A. Kartini (1879-1904) memberi kesaksian metaforik ketika naik kereta api bersama keluarga. Naik kereta api seperti “terbang dengan sebuah badai di atas jalan besi.” Metafora ini jadi bentuk resepsi Kartini terhadap operasionalisasi kereta api di Jawa pada abad XIX. Kereta api pada masa itu memang bentuk riil dari praktik ideologi “kemadjoean” atau modernitas. Pemerintah kolonial mengantarkan negeri jajahan pada risiko-risiko perubahan dalam aspek ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, sosial dan kultural.
Kesaksian Kartini tentu berbeda dengan pengalaman biografis para pemudik ketika menumpang kereta api. Imajinasi terhadap proses perubahan mungkin susut karena fakta transportasi dan pamrih mudik. Para pemudik mesti berebutan sejak dini untuk bisa mendapatkan tiket lalu hadir berjejalan dalam gerbong dengan ketegangan psikologis dan sosiologis. Kereta api hari ini menjelma ruang ekonomis (bisnis) dengan pertaruhan harga diri dan nyawa. Keselamatan jadi pengharapan meski harus mengeluarkan dana besar untuk tiket dan keminiman fasilitas dari perusahaan kereta api. Imajinasi atas kerata api mungkin sudah luput karena hitungan waktu dan perebutan ruang.
Antrian pembelian tiket dan kerumunan orang di stasiun pemberangkatan menandakan ada pemahaman massif bahwa kereta api sanggup membawa mereka melakukan perpindahan ruang dengan ekonomis dan cepat. Asumsi ini mungkin masih jadi agumentasi untuk memberi arti penting pada kereta api. Pelabelan kereta apai sekadar sebagai alat transportasi dan bisnis tentu mereduksi dari sejarah panjang kereta api di negeri ini.
Kereta api tidak sekadar urusan naik dan turun di stasiun dan pilihan duduk di gerbong kelas tertentu sesuai kemampuan membeli tiket. Kereta api melampaui peran itu dalam konteks historis-kultural. Pengoperasian kereta api jalur Semarang – Vorstenlanden menjadi babak baru kejutan dan risiko modernitas. Kereta api memberi alasan orang untuk melakukan perjalanan dengan pelbagai pamrih. Situasi perubahan itu membuka pintu lebar dari kehadiran kapitalisme dan ikhtiar pembentukan identitas kaum pribumi di hadapan kolonial. Biografi kultural dijadikan modal untuk menentukan status sosial, ideologi, dan harga diri.
Efek politik dan ideologi pun ikut terealisasi melalui jalur-jalur kereta api. Sebaran ideologi komunis muncul di titik Semarang, Salatiga, Boyolali, Madiun, dan kota-kota lain. Nasionalisme pun disemaikan dengan operasionalisasi kereta api. Pers di Jawa juga tumbuh subur karena kereta api. Ketegangan kultur kota dan desa dirayakan dengan kereta api. Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006) memberi konklusi bahwa biografi kereta api adalah biografi negeri dengan mosaik ideologi dan identitas kultural. Mrazek mengungkapkan bahwa rel dan kereta api adalah urat nadi pergerakan. Kepedihan dan pengharapan atas gerakan dan pengumpulan makna revolusi dikonsentrasikan di jalur kereta api.
Jejak-jejak historis-kultural itu mulai redup oleh kesibukan pengelola dan konsumen kereta api dalam ranah transportasi. Tradisi mudik dan balik kerap terpahamkan sebagai kebutuhan untuk lekas ke kampung halaman atau kembali ke kota tempat bekerja. Imajinasi disusutkan dengan lanskap kampung halaman dan keriuhan kota tanpa titik-titik sambungan dengan masa lalu perkeretaapian. Kehadiran individu dengan tampilan pakaian, aksesoris, telpon genggam, dan cara bicara masuk dalam model kelugasan transaksi dan interaksi simbolik. Pemaknaan identitas kultural dan pemutusan biografi historis mengalami bias oleh praktik-praktik konsumerisme?
Latar zaman kereta api pada masa lalu dan hari ini juga kontras. Pujangga Ranggawarsita (1802-1874) mencatatkan bahwa zaman edan mulai berlaku sejak pembangunan dan pembukaan rel kereta api rute Semarang – Vorstenlanden. Agus Sachari (2007: 35) menjelaskan bahwa momentum itu menandai kemunculan kapitalisasi di Jawa dan transformasi kultural dalam bayang-bayang kuasa kolonial. Kaum pribumi saat itu mengalami goncangan sebagai keniscayaan perubahan tanpa ada interupsi karena kereta api melaju dengan kencang.
Latar zaman edan mungkin masih berlaku hari ini tapi dengan aksentuasi makna berbeda. Zaman edan versi Ranggawarsito adalah perubahan tatanan besar dalam kehidupan orang Jawa. Segregasi sosial mencuat oleh politik kolonial dan makna kehadiran di kereta api. Zaman edan sekarang adalah akumulasi dari hasrat kapitalisme melalui individu dan komunitas tanpa kepemilikan utuh terhadap identitas kultural. Refleksi ini mungkin bisa dicontohkan dengan dominasi arus mudik dari Jakarta ke kota-kota di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Kepulangan seperti kerinduan terhadap “identitas diri yang hilang atau tersembunyi.” Makna kehadiran di Jakarta sebagai pusat laju kapitalisme telah menimbulkan kerancuan ketika pada kehadiran di ruang-ruang kultural Jawa.
Kereta api adalah tanda modernitas dengan penemuan dan penghilangan. Perayaan mudik dan balik denga kerata api di pelbagai kota merupakan representasi dari praktik transportasi dengan bias ekonomi dan kultural. Pemaknaan diri melalui kereta api telah dirumuskan sejak akhir abad XIX dalam jejaring ideologi, ekonomi, teknologi, politik, dan kultural. Rumusan itu dengan cepat kabur di belakang laju kencang kereta api. Publik mungkin juga kehilangan memori kolektif untuk bisa mencari-menemukan-menyemaikan identitas kultural. Kereta api melaju kencang dan tak jera untuk tabrakan atau mengalamikecelakaan. Penumpang sering ketinggalam kereta. Biografi diri dan negeri pun tercecer di rel kereta api tanpa ada penyelamatan atau rasa kasihan. Mudiklah dan baliklah dengan selamat meski repot dan melelahkan! Begitu.
Kompas Jateng (30 September 2oo9)
Kamis, 05 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar