Kamis, 05 November 2009

Jam dan Modernitas

Bandung Mawardi

Negeri Indonesia memiliki sejarah samar untuk perkara jam dalam lakon peradaban. Jam sebagai tanda materialisasi waktu dan teknologi modernitas malah kerap terabaikan dalam pelacakan dan rekonstruksi peradaban. Perihal waktu memang kadang jadi tema pelik untuk membaca dan menilai kesadaran waktu orang pribumi dalam agenda-agenda hidup. Waktu dalam jagat tradisional mungkin mengalami surut dalam proses pembaratan. Intuisi waktu berganti pengukuran jam dengan kepastian waktu. Francis Lim (2008: 89) menjelaskan dengan jam terjadi pembalikkan relasi manusia dengan alam. Manusia kuno membaca alam untuk mengetahui waktu dan sekarang manusia mengukur alam berdasarkan konsep jam.

Tema waktu adalah minoritas dalam alur peradaban di Indonesia. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan) (1996) mengalami kerepotan untuk mengurusi implikasi waktu tradisional dan modern dalam lakon kehidupan di Nusantara. Lombard sekadar mengeluh dan mencoba memberi konklusi bahwa Nusantara terletak di persilangan segala sistem waktu Asia. Kaum pribumi memiliki mosaik perbedaan dalam cara penghitungan waktu mengacu pada pola waktu Jawa kuno, Islam, Cina, dan Hindu.

Lombard tak melanjutkan pembahasan pada pengalihan intuisi waktu dalam ranah tradisi dan sakralitas ke bentuk modern melalui kehadiran bangsa Portugis, Belanda, atau Inggris. Pembaratan tentu juga terjadi melalui teknologi waktu dalam bentuk jam atau arloji. Kekosongan penjelasan atau tafsir alur sejarah jam membuat pelacakan atas implikasi waktu dalam pemahaman ekonomi, sosial, religi, politik, dan kultural menjadi samar.

Negeri dalam kuasa kolonialisme tidak mungkin luput dari pendisiplinan waktu. Kuasa waktu menjadi bukti untuk menundukkan bangsa terjajah dengan pelbagai aturan dan konsekuensi. Operasionalisasi politik dan ekonomi sebagai fondasi kolonialisme membutuhkan konsep waktu secara terukur dan imperatif. Politik waktu jadi pertaruhan untuk membuat agenda-agenda kolonilisme bisa dilangsungkan dengan tertib dan menghasilkan laba. Waktu tradisional pun jadi sasaran untuk disingkirkan dan digantikan dengan penghitungan waktu versi Barat. Jam dihadirkan sebagai teknologi represif dan persuasif atas nama pemberadaban?

Peralihan konsep dan materialisasi waktu membuat orang pribumi mengalami ketegangan karena intuisi waktu mendapati ancaman. Sakralitas waktu mulai dijebol oleh agenda-agenda sekuler. Kapitalisme kentara jadi strategi meruntuhkan sakralitas waktu. Negeri ini pasrah atau terpaksa masuk dalam desain waktu untuk kerja atau realisasi proyek politik-ekonomi. Tegangan waktu tradisional dan modern pun menghadapkan bangsa terjajah pada ambivalensi dan kontradiksi. Sensibilitas kosmis dengan kepercayaan terhadap waktu harus ditandingkan dengan angka-angka jam dalam hitungan pasti. Jam merepresentasikan sistem pengetahuan dan modernitas. Revolusi waktu dijalankan tanpa resistensi signifikan dari kaum pribumi.

Studi kritis Linda Tuhiwai Smith dalam Dekolonisasi Metodologi (2005) patut jadi referensi pola kerja revolusi waktu di negeri jajahan. Smith menilai bahwa laporan, catatan harian, atau cerita para pengembara memberi andil besar dalam proses perubahan lakon waktu di negeri-negeri jajahan. Pemakaian frase waktu dalam deskripsi negeri jajahan (pada pagi hari, larut malam, jam 8, atau tengah hari) mempengaruhi kerja ideologi kolonialisme. Pola ini mengesankan kaum pribumi tak memiliki konsep waktu dan tidak disiplin dalam praktik kerja, sosial, atau agama. Kondisi ini menjadi alasan penjajah memberikan teknologi waktu dengan pamrih agar kaum pribumi memiliki ide komplit dalam pembagian waktu.

Deskrispi Smith kentara terjadi di Hindia Belanda. Proses peralihan dieksplisitkan dengan kehadiran iklan-iklan penjualan jam dan arloji dalam surat kabar pada XIX. Penafsiran terhadap iklan mungkin bisa merepresentasikan resepsi pribumi terhadap politik waktu kolonial. Iklan arloji sudah muncul secara intensif pada surat kabar De Locomotief (30 Juni 1984). Gambar jam bandul dalam iklan mengesankan barang impor dari Eropa. Iklan di Soerabaiasch Handelsblad (15 Mei 1911) memasukkan jam dalam kriteria perlengkapan rumah tangga. Iklan jam juga muncul di Pemberita Betawi (12 Desember 1915) dengan tampilan memikat. Jam itu bermerk Ratoe Naga dengan hak paten dari London. Ada pencantuman kalimat: “Harlodji kerdjaanja anker aloes dan koewat, jang sengadja dibikin boeat kita. Frase “sengadja dibikin boeat kita” menandakan ada penerimaan konsumen bahwa jam atau arloji itu semacam kebutuhan hidup atau penanda status sosial (gaya hidup) di zaman modern.

Iklan bisa mengabarkan situasi zaman pada akhir abad XIX dan awal abad XX ketika Hindia Belanda digerakkan dengan kapitalisme dan agenda-agenda Politik Etis. Modernitas telah mewabah dan mengantarkan kaum pribumi pada loncatan peradaban. Resepsi terhadap mekanisasi dan materialisasi waktu dalam bentuk jam atau arloji menandakan ada perubahan signifikan dalam praktik kerja, politik, hiburan, agama, dan pendidikan. Jam ikut andil dalam memuluskan proyek kolonialisme dengan pola penghadapan waktu: sakral dan sekuler.

Jam jadi juru bicara modernitas melalui jalan kolonialisme. Kepemilikan jam pada masa itu sesuai dengan hierarki sosial. Pemilik jam dominan adalah kaum kolonial, priyayi, bangsawan keraton, pedagang, pengusaha, atau pegawai kolonial. Rakyat menerima konsep waktu modern dari pola hierarkis. Kepemilikan secara populis mulai terjadi dengan transformasi kultural sesuai iklim politik-ekonomi. Publik pun dengan antusias memasang jam dinding di ruang tamu atau ruang keluarga. Perubahan zaman memberi hak pada orang untuk memakai jam tangan, jam gandul di baju, jam kalung, atau jam weker.

Martin Heidegger dalam kitab Being and Time (1962) menjelaskan: “Temporalitas merupakan alasan bagi jam. Sebagaimana syarat kemungkinan bahwa jam secara faktisitas niscaya. Demikiran pula halnya temporalitas menjadi syarat ketersingkapan jam.” Heidegger memahami waktu bersifat eksistensial karena waktu dilihat dalam kaitannya dengan apa yang dialami manusia dalam dunia. Manusia terbatas oleh waktu dan ini merupakan temporalitas manusia yang eksistensial. Jam menyingkapkan temporalitas manusia (Lim, 2008: 88).

Lakon hidup secara sistemik dikendalikan oleh ukuran waktu dalam teknologi jam. Orang bekerja, ibadah, sekolah, plesir, atau tidur seperti tunduk dengan penghitungan waktu dalam jam. Keresahan, kecemasan, ekstase, gairah, kebingungan, atau kegandrungan terhadap jam jadi lakon pelik. Jam membuat hidup dalam ambang batas eksistensial. Risiko jam muncul dari tataran uang sampai iman. Jam pun mulai hadir dalam bentuk-bentuk intim dan familiar melalui ponsel, komputer, atau televisi. Teror jam terus disemaikan dalam ketakutan dan cinta buta. Lorenzo C. Simpson dalam Technology, Time, and Conversation of Modernity (1995) mengingatkan bahwa penciptaan arloji atau jam mengawali suatu representasi waktu yang baru: waktu linear. Waktu berjalan terus dan tidak dapat dikembalikan.

Satire tentang jam dan eksistensi manusia dikisahkan dengan apik oleh Milan Kundera dalam novel The Farewell Party (1976): “Di negeri ini orang tidak menghargai pagi. Mereka bangun bergegas dikagetkan oleh bel yang berbunyi dari jam mereka. Lalu semua segera menghambur ke dalam kegiatan yang tak menyenangkan. Katakan padaku: Bagaimana mungkin hari yang baik dapat dimulai dengan dengan sikap tak pantas dan sekasar itu! apa yang terjadi terhadap orang yang setiap pagi memulai hidup dengan kaget akibat bel penunjuk waktu mereka yang bernama jam weker itu?” Satire ini patut jadi alasan untuk memeriksasi ulang secara kritis relasi diri dengan jam. Begitu.

Koran Tempo (4 Oktober 2oo9)

Tidak ada komentar: