Kamis, 05 November 2009

Solo dan Novel Bermazhab Batik

Bandung Mawardi

Negeri ini meluapkan euforia batik dengan pelbagai ekspresi dan pamrih. Pengesahan batik sebagai warisan budaya Indonesia oleh UNESCO PBB pada 2 Oktober 2009 memberi kelegaan dan kebanggaan kendati belum dilengkapi dengan kesadaran secara historis-kultural. Perayaan batik di pelbagai kota belum merepresentasikan pemahaman atas makna batik. Perayaan itu cenderung jadi aksi dan ekspresi sesaat sesuai dengan instruksi negara dan partisipasi institusi atau perorangan dengan pelbagai label. Orang-orang mengenakan batik pada hari fenomenal meski sebelum itu tak terbiasa atau malah enggan mengenakan batik. Kota Solo bahkan merayakan batik dengan acara kolosal: Solo Membatik Dunia.

Batik adalah ekspresi kultural dengan referensi dari pelbagai tradisi India, Jawa, Cina, Eropa, Arab, dan lain-lain. Sejarah batik di negeri ini masih samar karena belum ada rujukan sahih mengenai bukti-bukti kehadiran dan pengembangan batik di Jawa. Mitos dan cerita lisan tentang batik memang menunjukkan batik sudah datang ke negeri dari India sekitar abad VII atau VIII Masehi. Batik pun dikembangkan oleh orang Jawa sebagai realisasi dari ekspresi seni dan kultural. Pengembangan batik berlangsung subur berkat perhatian dari kalangan penguasa dan kesadaran estetis-etis-filosofis para pengrajin batik dalam latar kultural Jawa.

Solo sejak lama identik dengan kerajinan (industri) batik. Rustopo (2008) menjelaskan bahwa Solo pada awal abad XX moncer oleh industri batik tapi juga menyimpan konflik pelik antara pengusahan pribumi dan keturunan Tionghoa. Persaingan usaha terjadi dan menimbulkan ketegangan dalam ranah ekonomi, sosial, estetika, politik, dan kultural. Batik tumbuh dengan inovasi sebagai tanggapan terhadap perubahan zaman tapi masih memelihara khazanah pengetahuan batik klasik. Keraton Solo ikut memberi andil besar dalam pengembangan batik atas nama kekuasaan dan kultural. Kota Solo sampai hari ini tetap membuktikan diri sebagai pusat batik dengan keberadaan Kampung Batik Laweyan, Kampung Batik Kauman, Museum Batik Danarhadi, dan penanda-penanda lain.

Relasi intim antara Solo dan batik dikisahkan dengan apik oleh Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting (1986). Pengarang dari Solo ini secara reflektif dan kritis menghadirkan pelbagai konflik dan dilema dalam dialektika batik dengan tarikan tradisionalitas-modernitas. Novel Canting mengisahkan fragmen-fragmen getir tentang batik, keluarga, buruh, pasar, monopoli, cinta, dan lain-lain. Novel dengan mazhab batik ini merupakan kontribusi penting untuk membaca ulang proses perubahan sosial-kultural dengan melibatkan batik sebagai bab penting. Arswendo Atmowiloto menghadirkan kisah ini pada periode batik dengan canting di Solo mengalami surut oleh laju industri batik cetak dan sihir pasar.

Peran kaum perempuan dalam kerajinan dan industri batik di Solo sangat signifikan. Sosok-sosok perempuan pemberi arti dari batik dengan menghadirkannya sebagai garapan seni tinggi. Batik merepresentasikan kehalusan dan adab dengan persemaian nilai-nilai kultural Jawa. penghadiran tokoh-tokoh perempuan dalam novel canting semakin menandakan ada mekanisme pengembangan batik dalam sensitivitas gender. Batik telah menjelaskan bagaimana hubungan lelaki dan perempuan dalam tatanan sosial-kultural Jawa dan modernisasi ekonomi-politik.

Perempuan menjadi penggerak kisah tentang pembatikan, pemasaran, dan pemaknaan. Ndalem Ngabean Sestrokusuman menjadi ruang pergulatan lahir batin untuk mengurusi batik dengan segala persoalan yang melingkupi dari persoalan keluarga sampai ekonomi nasional-internasional. Pasar Klewer juga jadi ruang pergulatan kaum perempuan memasarkan batik untuk para konsumen dari dalam dan luar kota. Pasar juga jadi panggung peralihan peran perempuan untuk jadi bintang yang berbeda ketika ada di rumah. Batik menjadi kunci dari pergulatan identitas, ekonomi, politik, dan kultural.

Pemakaian judul Canting menandakan ada penelusuran kisah melalui halpaling menentukan. Canting adalah carat tembaga untuk membatik. Canting merupakan nyawa bagi pembatik. Pemahaman itu dengan sekejap diruntuhkan oleh kehadiran batik printing (cetak) yang tak memakai canting sebagai perangkat utama. Canting yang memberi ruh dalam proses pengerjaan batik dalam waktu yang lama dipaksa kehilangan pamor oleh industri batik. Perbedaan cara pengerjaan dan durasi telah menimbulkan konflik dan adu kuasa atas nama batik.

Canting pun harus menerima takdir sebagai simbol dari budaya kalah dan tersisih oleh gerusan zaman. Pemaknaan atas canting dan batik berubah karena faktor-faktor pasar. Kesadaran untuk melanjutkan spirit batik dengan canting mesti berhadapan dengan kekuatan pasar dan dinamika kota. Fragmen keruntuhan batik tulis di Kota Solo ini menyimpan jejak-jejak konflik mulai dari sensitivitas etnis dan sentralisasi kekuatan ekonomi kota. Novel Canting telah mengingatkan publik bahwa ada dialektika tak stabil yang memungkinkan batik mengalami pasang surut dalam kebijakan ekonomi dan pengelolaan kota. Batik dalam pasang surut itu juga menandai konstruksi orang untuk menjadi Jawa aau malah tidak menjadi Jawa.

Membaca novel Canting adalah membaca biografi dan kronologi batik di Kota Solo. Keriuhan wacana dalam novel ini bakal menyadarkan pembaca bahwa merayakan batik itu tidak sesederhana dengan mengenakan batik di tubuh, pohon, atau kereta api. Perayaan batik membutuhkan pembelajaran dan pola penafsiran plural dan mendalam alias tidak parsial. Perayaan Solo Batik Carnival dan Solo Membatik Dunia memang secara eksplisit menandakan afirmasi atas batik sebagai kekuatan ekonomi-kultural. Agenda itu mesti dilengkapi dengan penyadaran historis, etis, filosofis, dan estetis. Batik mungkin rentan jatuh sebagai komiditas ekonomi tapi penyadaran harus terus dilakukan untuk mengukuhkan batik sebagai warisan budaya.

Kehadiran novel Canting yang mengisahkan batik patut diapresiasi dalam kerangkan pemunculan pluralitas perspektif. Sastra sanggup jadi juru bicara dan modal penyadaran tanpa harus dikontraskan dengan karnaval kolosal atau pemecahan rekor MURI atas nama batik. Aksi untuk batik memang perlu tapi harus memiliki fondasi agar tidak lekas runtuh atau lupa diri oleh dialektika zaman. Kisah batik dalam versi lain juga dihadirkan oleh Indah Darmastuti dalam (monograf) novel Truntum. Novel dari pengarang perempuan yang lekas terbit ini mengisahkan batik dengan latar Kota Solo. Truntum seperti hendak mengabarkan batik dalam perspektif getir dan satir. Silakan menanti penerbitan novel Truntum lalu membaca dan membandingkan dengan Canting sebagai sesama novel bermazhab batik! Begitu.

Joglosemar (11 Oktober 2oo9)

Tidak ada komentar: