Mencandra Petruk:
Bandung Mawardi
Petruk pada momentum politik hari ini menjadi diskursus penting dan merepresentasikan jagad pikir politik (Jawa) terhadap permainan politik dengan kerimbunan simbol dan metafora. Petruk muncul sebagai tokoh satire untuk lakon kekuasaan dengan sekian peringatan dan pertanda. Petruk adalah jagad tanda untuk orang Jawa merefleksikan relasi kekuasaan dengan acuan-acuan kultural. Kekuasaan memang membuat orang Jawa sadar dengan harga diri dan misi menjalani hidup. Kekuasaan tidak untuk dihinakan tapi mesti dispiritualisasikan agar menjadi modal untuk mengabdikan diri pada titah-titah Tuhan.
Orang-orang telah jadi penghuni resmi di gedung parlemen. Presiden dan wakil presiden telah dilantik. Kabinet telah terbentuk dengan pembagian nama dan peran. Bagaimana lakon politik ini bisa diteropong melalui sosok Petruk? Pertanyaan ini pantas diajukan untuk tidak larut dalam euforia dan kegenitan politik. Orang Jawa sejak lama telah memiliki referensi untuk merayakan politik dengan kesadaran kultural agar tidak terserap habis dalam profanisasi politik.
Kepercayaan orang Jawa terhadap dunia wayang untuk menjelaskan dan menerjemahkan lakon kehidupan memang telah mengakar kuat. Wayang seperti jadi sumber untuk refleksi diri karena rimbun oleh simbolisme dan kontekstual untuk pelbagai zaman. Wayang menjelma sumber ajaran dan cara orang Jawa membaca karakter diri. Wayang bisa mencerminkan karakter manusia kendati manusia sendiri menjadi pemberi arti terhadap tokoh dan lakon wayang. Sri Mulyono (1979) meyakini bahwa wayang dalam setiap zaman bisa membantu menjelaskan fenomena-fenomena modern dan karakterologi (ilmu tentang karakter manusia).
Petruk Politis
Petruk dalam dunia wayang identik dengan tubuh kurus dan mulut dengan ukuran besar sebagai tanda suka makan dalam porsi banyak. Ukuran hidung panjang. Benedict Anderson (2000) percaya bahwa identitas puncak dari Petruk adalah gurauan dan kelakar kasar komik dalam menanggapi pelbagai lakon politik dan kehidupan. Petruk juga sanggup menjadikan diri sebagai abdi heroik dengan mentalitas mengagumkan kendati kadang tak mungkin menerapkan tatanan etika secara total.
Petruk dalam pewayangan kerap dijadikan sebagai tokoh fenomenal untuk menanggapi gonjang-ganjing politik. Petruk jadi identifikasi bagi orang Jawa dalam membaca dan memberi arti pada sosok-sosok politisi dan permainan besar politik. Kehadiran Petruk dalam panggung politik memberi kesadaran pada orang Jawa mengenai relasi penguasa dengan rakyat. Relasi ini kadang tak proporsional karena kesalahan mekanisme politik atau kegagalan rakyat dalam menuntut para penguasa untuk bisa memerintah dengan adil, bijak, santun, dan manusiawi.
Sindhunata dalam Petruk Nagih Janji (2009) menjadikan Petruk sebagai titik pusat perbincangan politik mutakhir. Petruk adalah simbol rakyat penagih janji terhadap penguasa ketika dalam proses demokrasi melontarkan seribu satu janji. Rakyat patut menagih ketika para politisi telah menampatkan diri dalam kursi-kursi kekuasaan. Petruk jadi perlambang dari keinginan rakyat mengingatkan kembali janji politik dan menuntuk untuk bisa direalisasikan. Pentutan janji harus dilakukan agar penguasa tidak terlena dengan jabatan dan serakah uang tapi lupa memikirkan nasib rakyat.
Rakyat adalah sekumpulan Petruk-Petruk penagih janji karena penguasa kerap lupa diri dan lupa rakyat. Petruk jadi juru bicara untuk mengisahkan kemiskinan, penindasan, derita, dan korban. Petruk memiliki hak politik. Hak ini disuarakan pada penguasa sebagai kompensasi dari mekanisme politik ketika para penguasa menginginkan dukungan rakyat. Hak politik kaum Petruk kerap terabaikan karena kekuasaan menjelma ekstase profan. Sakralisasi politik dengan midah tersingkir oleh pamrih-pamrih tanda adab dan tak manusiawi.
Petruk dalam lakon wayang memang abdi Pandawa tapi memiliki ciri sebagai sosok penyadaran dalam kritik terhadap rezim kekuasaan. Petruk pada hari ini jadi simbol orang Jawa untuk sadar politik dengan acuan-acuan kultural Jawa. Politik membutuhkan landasan sakralitas dan etika. Kekuasaan tidak hadir dalam kalkulasi politik saja melalui partai politik dan pesta demokrasi. Orang Jawa memahami kekuasaan merupakan tatanan sakral-hierarkis. Kekuasaan harus diterjemahkan untuk memanusiakan manusia dan mengantarkan manusia pada jalan keselamatan. Kekuasaan pada hari ini justru kerap digerakkan oleh motif-motif profan untuk menjerumuskan manusia dalam gelap dan kotor.
Petruk adalah sosok fenomenal dan kontekstual. Penafsiran terhadap Petruk mungkin selama ini kental dengan makna-makna politis. Penafsiran politis itu mesti ada untuk membuktikan bahwa wayang relevan dengan kehidupan orang Jawa. Politik pun menjadi lakon intim bagi orang Jawa ketika mengacukan diri dalam jagad pewayangan. Sakralisasi dan profanisasi dalam politik terjadi dalam wayang dan realitas untuk dipelajari sebagai hikmah. Petruk pun dengan gampang dilekati dengan tafsir politik kendati tidak menginggalkan tafsiran-tafsiran kultural sebagai lambaran lahir-batin orang Jawa.
Gandrung Petruk
Tafsiran orang Jawa terhadap sosok Petruk terasa kental dalam diri I Kuntara Wiryamartana (Tempo, 29 Mei 2008). Intelektual Jawa dari Jogja ini gandrung dengan sosok Petruk untuk bisa menerjemahkan pelbagai fenomena kehidupan pada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Kuntara secara terbuka mengakui diri selalu mengidentifikasi diri melalui Petruk. Petruk tak hanya dijadikan sebagai lahan studi tapi intim dengan kehidupan sehari-hari. Kuntara membawa Petruk di mana saja dan kapan saja. Petruk bahkan dibawa ke negeri Belanda ketika merampungkan diseratsi dan ke negeri Prancis ketika melakukan penelitian.
Kuntara yang suntuk dalam studi Arjunawiwaha (1990) justru fasih mencandra sosok Petruk: “Lihat kaki Petruk diangkat, lambang dia jalan terus. Lihat wajahnya mendongak ke atas, artinya ia selalu merengkuh cahaya. Dua jari Petruk menunjuk, artinya menuding baik dan buruk.” Tafsiran ini mengarah pada spiritualisasi. Petruk ada dalam imaji atas kesadaran spiritual orang Jawa terhadap lakon-lakon kehidupan. Tafsiran spiritual dan kultural ini kadang membuat orang Jawa mafhum tentang derajat peradaban Jawa meski kadang susah direalisasikan dalam laju perubahan zaman.
Kegandrungan Kuntara terhadap Petruk memunculkan konklusi bahwa Petruk adalah simbol warga jelata yang mendalami spiritualitas. Konklusi ini mungkin susah diafirmasi orang Jawa ketika tidak menempuhi prosesi mengakrabkan diri dengan Petruk (jagad pewayangan) dan hikmah Jawa sebagai acuan identitas kultural. Petruk sebagai simbol spiritualitas menjadi tanda seru bagi orang Jawa agar kritis terhadap tendensi-tendensi lakon politik dan kerepotan untuk menspiritualisasikan politik. Petruk selalu ada untuk mengingatkan dan menyadarkan. Begitu.
Suara Merdeka (1 November 2oo9)
Kamis, 05 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar