Kamis, 05 November 2009

Merayakan Hikmah Pantun

Bandung Mawardi

Judul : Pantun Melayu: Titik Temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara

Penulis : Abd. Rachman Abror

Penerbit : LKiS, Yogyakarta

Cetak : 2009

Tebal : xvi+400 Halaman


Keberlangsungan pantun sebagai ekspresi dan identitas kultural di Nusantara belum usai sampai hari ini. Laju perubahan zaman tak sanggup menghilangkan unsur lokal dalam tatanan estetika dan bahasa. Pantun menjadi bukti kepemilikan terhadap kedirian dalam konstruksi tradisional ketika ekspresi hidup mulai dimanjakan dengan diskursus pengetahuan dan estetika modern. Penetrasi modernitas telah menempatkan pantun dalam eksistensi pinggiran tapi masih memberi makna kehadiran untuk menafsirkan tanda-tanda zaman.

Buku ini menjadi bukti bahwa pantun masih dihidupi untuk merumuskan makna identitas dalam gemuruh perubahan. Pantun belum jadi artefak atau album kusam karena terus menjadi ekspresi kulural dalam interaksi dengan fragmen-fragmen zaman. Abd. Rachman Abror mencatatkan dan menafsirkan keberlangsungan pantun dan lakon kehidupan para penutur sebagai mosaik kultural. Publikasi disertasi ini dengan eksplisit hendak mengingatkan pantung belum punah atau belum mati ketika masih memiliki komunitas penutur dan diwariskan.

Wacana pantun dalam khazanah kesusastraan dan kultural telah didokumentasikan dan disebarkan dengan massif oleh Balai Pustaka sejak 1920. Penerbitan buku Pantun Melayu menjadi bukti bahwa masyarakat di Nusantara memiliki kekhasan dalam pembentukan identitas kultural melalui pantun. Buku klasik ini terus dicetak ulang sampai sekarang sebagai dokumen kultural atau tanda mata nostalgia.

Van Ophuysen mengungkapkan bahwa pantun mengandung tabiat, pikiran, dan perasaan bangsa Melayu. Pendapat ini dijadikan salah satu dasar penerbitan Pantun Melayu agar bisa dipelajari, dinikmati, dan diwariskan oleh masyarakat. Pantun pada akhir abad XIX telah memikat para ahli dari Belanda. Studi intensif dilakukan dalam ranah intelektual-kultural dan agenda kolonial. Perhatian besar diberikan karena pantun bisa jadi perantaraan untuk memahami karakter kultural melalui relasi tradisi dengan keislaman di Nusantara.



Intimitas

Pantun dalam buku tebal ini kentara meneruskan pelbagai studi pendahulu dengan penekanan pada relasi intimitas Islam dan lokalitas. Penulis menelusuri pembentukan intimitas dan keberlangsungan pantun di Pontianak (Kalimantan Barat) melalui prosedur penelitian ilmiah. Perspektif ini sengaja diajukan untuk mencari kesahihan dalam menafsirkan dan menempatkan pantun dalam kesepian penutur, ahli waris, dan apresiator. Pemilihan lokasi di Pontianak menunjukkan ada ruang pertemuan Islam dan lokalitas dengan intensitas tinggi dan afirmatif.

Penulis tekun melakukan perekaman dan pencatatan terhadap para penutur pantun. Keterangan dan catatan dijadikan acuan untuk merumuskan definisi pantun dan resepsi terhadap fungsi pantun. Kerja model ini membutuhkan bekal teoretik dan kesadaran aplikatif untuk tidak sekadar memosisikan pantun sebagai objek kajian. Pengakuan dan kekhusukan penutur pantun dalam perumusan identitas kultural menjadi kunci membaca dan menilai pantun secara historis dan kontekstual.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pantun menjadi ekspresi untuk mengungkapkan orientasi nilai kultural dan Islam. Pantun klasik sebagai bentuk klaim terhadap nilai-nilai adat tampak dalam pantun berikut ini: “hidup dikandung adat, mati dikandang tanah, biar mati anak, asalkan jangan mati adat.” Aksentuasi terhadap adat ini mendapati imbuhan dengan penerimaan terhadap Islam sebagai petunjuk hidup. Khazanah pantun lama: “adat orang berjalan malam, adat suluh jadi pedoman, adat orang beragama Islam, adat petunjuk menerangi iman.”

Pantun pun dijadikan medium untuk menempa karakter dan menunjukkan budi sebagai ungkapan khas mengenai harga diri manusia. Pantun tentang budi menjadi wacana besar dalam keberlangsungan titik temu kultur lokal dengan Islam. Abror mengartikan budi adalah struktur dalam yang membimbing dan menjadi pedoman dalam menentukan arah kehidupan mengacu pada hubungan sosial-kultural dan spiritual. Budi merepresentasikan kehalusan dan keluhuran nilai-nilai tradisi dalam menghadapi pelbagai perubahan zaman.

Perihal tematik budi diungkapkan dalam rangkaian pantun berikut ini: “di sana padi di sini padi, itulah nama sawah dan padang, di sana budi di sini budi, barulah sempurna bernama orang” atau “hari hujan naik ke sampan, dari kuala patah kemudi, mati ikan karena umpan, mati insan karena budi.” Contoh-contoh ini mengesankan bahwa budi adalah ciri dari konstruksi menjadi manusia dengan kesadaran nilai-nilai kultural dan agama.

Pantun memang patut jadi ekspresi fenomenal karena memberi ruang kebebasan dalam keterikatan untuk memerkarakan pelbagai hal. Para penutur pantun di Pontianak merepresentasikan gairah untuk memetik hikmah dari pantun. Mereka mayoritas sudah tua tapi memiliki intensitas pengalaman dan pengetahuan. Elaborasi nilai-nilai dalam Islam ditunjukkan dengan rangkaian pantun memikat dan penuh hikmah: “buah melewah buah salak, buah kesemak jatuh terlamat, minta doa kepada Allah, supaya kita semua selamat” atau “kain basah dibawa mandi, sudah mandi dibawa pulang, amal ibadah dibawa mati, budi baik dikenang orang.”



Konklusi

Studi reflektif tentang pantun ini diakhiri dengan konklusi dengan tarikan historis dan realitas pada masa sekarang. Abror menilai bahwa pantun merupakan hasil kesusastraan Melayu dengan perangkat bahasa dan peralmbang. Pantun memainkan peran penting dalam kehidupan mayarakat Melayu dengan intimitas kultur lokalitas dan Islam. Hubungan ini menjadi penanda identitas dan kesanggupan menghadapi tantangan zaman.

Hikmah dalam pantun memberi ekplisitas orientasi nilai-nilai adat dan agama dalam menjalani kehidupan. Para penutur pantun memang berkurang tapi gairah untuk menyemaikan pantung sebagai bukti keraifan lokal terus diikhtiarkan. Kesadaran terhadap pantun mengalami transformasi secara estetika, sosial, dan kultural. Gairah pantun belum surut dan terus menyadarkan tentang hikmah untuk melakoni hidup dalam kesadaran kultural lokal dan agama. Begitu.

Media Indonesia (3 Oktober 2oo9)

Tidak ada komentar: