Kamis, 05 November 2009

Ironi Aksara dan Bahasa Jawa

Bandung Mawardi

Aksara dan bahasa Jawa memiliki sejarah dan nasib temaram. Pelacakan historis belum menunjukkan proses kehadiran dan transformasi dengan terang karena kesahihan sumber lisan dan tulisan. Interpretasi kritis dibutuhkan untuk memeriksa aksara dan bahasa Jawa sebagai ruh kultural Jawa. Ekspresi komunikasi dan interaksi dengan aksara dan bahasa Jawa memiliki kesadaran dan acuan kosmis. Pemakaian aksara dan bahasa Jawa menandakan ada eskpresi kultural dengan konstruksi pikiran, perasaan, dan laku mengacu pada identitas diri dan pencapaian nilai-nilai kemanusiaan atau peradaban.

Pengetahuan tentang aksara Jawa masih dibayang-bayangi oleh mitos meski ada ikhtiar pelacakan argumentatif terhadap aksara Jawa dalam praktik kultural. Pemakaian aksara Jawa dalam tradisi tulisan membuktikan ketekunan orang Jawa untuk menyatakan diri dengan pertaruhah linguistik, estetis, filosofis, etis, dan teologis. Kelenturan sebagai kodrat Jawa membuat kehadiran aksara Jawa sebagai tanda inklusivitas terhadap silang budaya dari pelbagai negeri.

Aksara Jawa tumbuh dalam kuasa kerajaan tradisional, kolonialisme, dan republik. Nasib aksara Jawa mengalami pasang surut dalam tegangan politik, ekonomi, sosial, dan teknologi. Dunia penerbitan buku dan pers menjadi penentu nasib dari aksara Jawa dalam komunikasi publik. Pemakaian dalam tradisi sastra keraton juga memiliki peran penting dalam tendensi sakralisasi secara estetis. Nasib itu kentara pada saat sekarang ketika aksara Jawa terkesan sekadar sebagai simbol dan susah memainkan peran sebagai medium untuk praktik komunikasi secara massif.

Nasib bahasa Jawa juga mengalami pasang surut dalam fragmen-fragmen peradaban Jawa. Jejak historis jadi refleksi untuk menilai bahasa Jawa dalam jejaring politik kebudayaan. Jawa sebagai objek studi dengan bayang-bayang kolonial membuka jalan untuk intervensi dalam konstruksi bahasa Jawa. Penertiban sebagai startegi kekuasaan membuat bahasa Jawa masuk dalam pembakuan dan pembekuan dengan tata bahasa sesuai dengan kepentingan otoritas kekuasaan. Sebaran bahasa Jawa di publik mengalami bias dalam pilihan ideologis dan praktik komunikasi dengan kesadaran hierarkis dan patriarki.

Bahasa Jawa sebagai ekspresi identitas kultural Jawa jadi pertaruhan ketika dunia politik, pendidikan, dan penerbitan memainkan peran sentral. Bahasa Jawa cenderung dikonstruksi dengan spirit kultural dan lemah dalam spirit politik. Bahasa Jawa kerap mengalami penundukkan atau sengaja mengambil sikap moderat atau lentur dalam pertarungan kuasa dengan bahasa Belanda, Cina, Arab, Melayu, Latin, atau Inggris. Kekalahan bahasa mirip dengan kekalahan untuk menyatakan identitas dan kepemilikan otoritas kultural.

Bahasa Jawa dalam fragmen-fragmen sejarah menunjukkan model kehadiran dengan tingkat ketergantungan terhadap institusi politik secara mencolok. Kebijakan bahasa Jawa masuk dalam dunia pendidikan menandakan ada suatu kekhawatiran mengenai kepunahan atau marginalisasi bahasa Jawa dalam konteks Jawa dan Indonesia. Birokratisasi bahasa seperti jadi juru selamat paling akhir. Pesimisme juga terus membayangi bahasa Jawa karena modernitas berlari dengan kencang.

Bahasa Jawa dalam kuasa modernitas dihadapkan pada kondisi kompleks sebagai akumulasi dari progresivitas teknologi komunikasi dan informasi. Bahasa Jawa sekarang seperti ironi dalam strategi komunikasi global. Bahasa Indonesia telah hadir dengan ideologi atas nama nasionalisme dan bahasa Inggris diajarkan atas nama kepentingan global (pasar). Bahasa Jawa tampak tak memiliki tawaran secara politis dengan pertarungan kepentingan. Kondisi ironi disahkan dengan startegi melanggengkan dan menyemaikan bahasa Jawa melalui tradisi sastra. Kerja kultural ini tampak sebagai kepanjangan dari pendisiplinan bahasa Jawa dalam kepentingan kolonialisme dan penguasa Jawa pada masa lalu.

Bahasa Jawa masuk ke pelbagai institusi dengan pesan-pesan getir minta untuk diselamatkan dan diwariskan. Ironi ini jadi tanya besar ketika publik berada dalam tarikan kuat global dan melupakan biografi lokalitas. Kebijakan-kebijakan terhadap bahasa Jawa seperti praktik kasihan atas nama politik untuk menyelamatkan aset kultural. Bahasa seperti jadi obek dari kerja politik tanpa ada akses untuk menjadi kepemilikan publik dalam kepentingan kultural.

Kerja-kerja kultural juga dilakukan untuk memberikan ruh terhadap bahasa Jawa. Kebijakan bahasa Jawa sebagai mata pelajaran di institusi pendidikan sesuai kebijakan Departemen Pendidikan Nasional atau peraturan daerah dan pemakaian bahasa Jawa dalam media massa cetak dan elektronik jadi ikhtiar parsial. Interpretasi kritis perlu diajukan untuk membaca dan menilai bahasa Jawa secara kontekstual dengan kesadaran atas bayang-bayang romantisme dan hasrat hidup di antara kepungan model komunikasi mutakhir.

Bahasa Jawa masuk dalam transaksi politik dan kultural untuk menunjukkan identitas Jawa. Zaman komunikasi mutakhir seperti tidak memberi ruang untuk aksara dan bahasa Jawa sebagai bahasa komunikatif dan produktif. Pertanyaan-pertanyaan kritis harus terus diajukan dan ikhtiar mencari jawaban-jawaban juga harus mempertimbangkan takdir zaman mutakhir. Bahasa Jawa mungkin bakal terus ada dalam ranah komunikasi lisan dan tulisan tapi mungkin kehilangan pamor atau peran dalam pertarungan wacana dan praktik kebudayaan mutakhir. Inikah senjakala aksara dan bahasa Jawa? Begitukah?





Solopos (22 vOktober 2oo9)

Tidak ada komentar: