Bandung Mawardi
Peradaban dunia selalu lahir dan tumbuh dengan dilema antara mitos, sastra, dan sejarah. Tiga perkara ini memiliki ciri berbeda tapi kerap hadir bebarengan sehingga memunculkan kerancuan. Ketidakmafhuman atas tiga perkara itu memungkinkan publik tersesat atau mengalami sesat pikir alias termasuk “kaum rancu.” Bagaimana korespodensi dalam mitos, sejarah, dan sastra sanggup memberi terang untuk memeriksa ulang arus peradaban manusia?
Kuntowijoyo dalam Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas (2002) menjelaskan secara rinci dan lumayan memberi terang. Korespondensi adalah mekanisme untuk mengakui sesuai itu benar jika ada persesuaian antara pengalaman dan penuturan. Mitos tak perlu pengalaman dan dituturkan secara subyektif dengan pengakuan kebenaran oleh komunitas tertentu. Sastra berdasarkan pengalaman tapi tidak harus terikat pengalaman. Sastra pun dituturkan secara subyektif dan memungkinkan melampaui kebenaran realitas. Sejarah berdasarkan pengalaman dan dituturkan secara inter-subjektif. Inter-subjektif berarti tidak murni obyektif tapi juga tidak murni subyektif.
Penjelasan Kuntowijoyo itu pantas diapreasiasi dengan kritis sebab pemikiran itu muncul dari seorang ahli sejarah dan sastrawan. Perincian dengan mengemukakan perbedaan dan persamaan membuat pemahaman atas arus peradaban menjadi kritis. Mitos sampai hari ini masih jadi medium komunikasi efektif untuk pewarisan tentang kisah-kisah masa lalu. Mitos pun mengalami transformasi bentuk dan materi pada alam modern ini sehingga menguatkan anggapan bahwa manusia modern tetap tak bisa hidup tanpa mitos meski mengelabui dan menjelma perayaan dusta.
Peran sastra sekadar sebagai medium generalisasi tanpa ada antusiasme dari publik untuk mencari-menemukan spirit kebenaran dari pengalaman. Sastra di negeri ini mungkin terletak di gerbong belakang sebab jarang orang mau menekuni sastra. Mitos telah meresap dalam alam pikiran penduduk negeri ini sehingga abai terhadap sastra sebagai jalan ekspresif dan imajinatif untuk menelurusi masa silam dan merancang masa depan. Peran sejarah masih mendingan ketimbang sastra sebab masih memiliki “sihir pemikat” pada publik mengenai rangkaian peristiwa dan pelaku pada masa lalu. Model inter-subjektif memungkinkan publik membuat klarifikasi ketika ragu tentang revolusi Indonesia itu fakta atau mitos. Sejarah mengambil peran penting untuk memberikan penjelasan dengan restu negara karena masuk dalam kebijakan pendidikan.
Kuntowijoyo telah mengingatkan betapa selama ini negeri ini susah membedakan antara mitos, sastra, dan sejarah. Ketidakmengertian ini lalu menimbulkan gerak politik tak masuk akal dan laju agenda kultural tak terencanakan alias semrawut. Arus peradaban negeri ini mulai kehilangan arah karena mitos terus menguasai tanpa ada resistensi dan sikap kritis. Mitos dengan genit masuk ke ranah politik, ekonomi, sosial, agama, dan seni-kultural seperti melegitimasi bahwa penduduk negeri ini “pemuja mitos.” Sastra masih saja sepi peminat dan terkapar dalam kurikulum dan praktik pendidikan. Sejarah masih memiliki celah tapi tetap saja sibuk dalam keburaman dan distorsi karena ulah pelbagai rezim kekuasaan.
Mircea Eliade justru mengakui bahwa mitos merupakan dasar kehidupan dari komunitas religius-kultural untuk mengenangkan masa lalu dan memikirkan masa depan. Mitos mengambil peran untuk menguakkan tabir misteri. Pemahaman waktu, ritus, peristiwa, dan makna terbentuk dalam konstruksi dan pewarisan mitos. Muatan dan efek dari mitos dibedakan Eliade dalam pelbagai jenis: mitos kosmogoni, mitos asal-usul, mitos dewa-dewa, mitos akhir dunia, mitos pembangunan, mitos pembaharuan, dan lain-lain. Eliade memberi konklusi bahwa mitos selalu merupakan suatu cerita asal-usul dengan orientasi eksistensial untuk memberikan orientasi fisis dan sosial pada manusia (Susanto, 1987). Penjelasan ini menguatkan penilaian bahwa negeri ini rimbun oleh mitos meski dalam lakon politik dan ekonomi modern.
Bagaimana sejarah dan peran sastra di negeri ini? Sastra seperti anak tiri dan tidak mungkin disuapi untuk kelak besar sebagai referensi atau bibliografi penting untuk negeri ini. Sastra kerap luput dari lembaran sejarah. Hal ini menandakan bahwa dalam proses pembentukan negara-bangsa ini sastra tak menjadi fondasi atau spirit untuk meneropong peradaban masa lalu dan mengangankan masa depan. Khazanah sastra di negeri besar ini hampir terkuburkan karena tak ada ruang untuk memberi peran dalam kontruksi identitas dan kepemilikan kisah masa silam. Sastra kentara luput dari agenda politik dan penentuan politik kebudayaan. Negeri tanpa sastra mungkin adalah julukan tak mengenakkan tapi itu membuktikan negeri ini kaku dalam afirmasi pengalaman dan penuturan diri. Robert Scholes mengatakan bahwa sastra itu sebuah kata dan bukan sebuah benda. Di negeri ini sastra bukan kata dan bukan benda tapi cuma desahan atau kentut?
Bagaimana nasib sejarah di negeri ini? Kuntowijoyo optimis kalau sejarah menentukan nasib negeri ini karena intim dengan pola-pola perubahan politik dan kebudayaan. Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah (1995) perlu memberi penjelasan panjang mengenai sejarah sebab penduduk negeri ini tak gampang untuk menerima sejarah bersandingan dengan mitos. Sejarah itu bukan mitos tapi sejarah ilmu tentang manusia, waktu, sesuatu yang mempunyai makna sosial, dan sesuatu yang tertentu. Sejarah dalam penjelasan ini merupakan peringatan betapa negeri ini masih repot memahami sejarah karena selama ini sejarah selalu dimiliki dan diproduksi oleh penguasa. Publik pun merasa asing dan tak sadar bahwa sejarah juga milik mereka.
Perbandingan antara peran dan dominasi mitos di negeri ini ketimbang sastra dan sejarah adalah tanda dari kemiskinan tradisi literasi dan nalar kritis untuk mewarisi dan melanjutkan konstruksi peradaban. Mitos terus melenggang dengan lisan dan tulisan di kepala penduduk negeri ini tanpa interupsi dan resistensi secara kritis. Sastra tetap terkapar tanpa dewa penyelamat dan sejarah masih memiliki nyawa untuk tampil sebagai pemberi penjelasan. Mitos terus diproduksi oleh sekian pejabat, politisi, intelektual, ulama, seniman, atau siapa saja untuk mengesahkan negeri ini sebagi negeri mitos. Begitukah?
Seputar Indonesia (18 Oktober 2oo9)
Kamis, 05 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar