Heri Priyatmoko
Sepulang dari shalat tarawih dan tadarus Al Quran di langgar kampung, Rakiyo mampir sebentar di warung Simbok Sukinem membeli telur asin untuk lauk sahur.
Warung ini pada bulan Ramadhan tampak lebih ramai karena juga melayani orang yang hendak sahur. Dari samping warung, terdengar tawa lepas para pemuda kampung yang menikmati acara Thukul dengan joki-jokinya yang khas.
“Mbok, telur asinnya masih?” tanya Rakiyo seraya tangannya membetulkan letak kopyah yang sedikit melenceng.
“Masih dua, nang. Pakai nasi sekalian nggak?” Simbok Sukinem mencoba menawari.
“Nggak usahlah mbok, di rumah nasi masih cukup untuk sahur nanti,” jawab Rakiyo sembari bola matanya melirik ke arah Paidi yang duduk di dingklik panjang tampak sedang mengibas-ngibaskan koran.
“Berita apa yang kamu baca, Di? Kok keliatannya serius amat, sampai kamu mengernyitkan dahi segala,” Rakiyo penasaran melihat perubahan raut muka Paidi.
“Ini lho, berita pimpinan Dewan Sementara yang mendesak Pemkot Solo untuk mengalokasikan anggaran pengadaan laptop baru pada APBD 2010 mendatang. Juga pengadaan barang baru untuk mobil dinas ketua DPRD dan adanya sekretariat fraksi yang bersumber dari dana APBD kota. Wis ono-ono wae wakil rakyat yang terhormat itu,” jawab Paidi dengan nada kecewa, dan menggeser sedikit untuk memberi tempat bagi Rakiyo duduk di sampingnya.
Setelah menenggelamkan pantatnya di dingklik, Rakiyo pun ikut nggedumel, “Anggaran untuk membeli laptop dan mobil dinas ini jelas duit rakyat. Saya malah mempertanyakan, betulkah tanpa laptop para dewan tiada bisa bekerja untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya? Bahkan ada yang memberi alasan, laptop dapat meningkatkan kemampuan SDM dewan. Namun, siapa pula yang sanggup menjamin laptop itu bisa meningkatkan kemampuan SDM?
“Sebagai wong cilik, saya turut merasa prihatin dengan usulan itu, nang. Seharusnya, dewan melihat banyaknya kebutuhan lain penduduk kota yang lebih mendesak dan lebih diutamakan. Tengok saja warga Joyotakan yang belum terbebas dari banjir, soal relokasi warga bantaran yang belum selesai, bangunan sekolah SMP N 18 Surakarta yang rawan roboh, masalah kemiskinan, dan setumpuk persoalan infrastruktur kota,” suara Simbok Sukinem lirih sembari menyerahkan bungkusan plastik yang berisi telur asin kepada Rakiyo.
Dari samping rumah, terdengar ungkapan “kembali ke laptop” yang keluar dari mulut Thukul saat kembali mengawali acara “Bukan Empat Mata” setelah jeda pariwara.
“DPRD tentunya tidak mau dinilai memanfaatkan kekuasaan alias aji mumpung.. Yaa..mumpung berkuasa, mumpung dapat mengatur anggaran, dan mumpung logis untuk beralasan mengenai kebutuhan peningkatan kinerja yang berbungkus muara ideal untuk warga. Makanya, jangan sampai dirinya terjangkit “wabah” laptop Thukul,” sahut Paidi yang masih sibuk membolak-balik halaman Metro Solo.
Sambil menerima bungkusan dari Simbok Sukinem, Rakiyo menambahi “Bila ditinjau dari sisi anggaran, duit yang akan diusulkan untuk pengadaan laptop ini kabarnya memang tidak besar. Tapi, dilihat dari nilai guna dan sensitivitas atas kondisi rakyat dewasa ini, usulan itu tidaklah tepat tho ya. Akan tampak lucu, sebab dengan perolehan gaji yang dikantongi setiap anggota dewan, mereka mampu membeli sendiri laptop ini. Kita bandingkan dengan bagaimana jeritan wong kecil saat terjadi kenaikan harga gula di kala bulan Ramadhan ini. Para pedagang warung kecil seperti Simbok Sukinem ini kebingungan mematok harga minuman. Segelas es teh, misalnya. Di jual seribu, tombok. Dijual seribu limaratus, kok kemahalan”.
Simbok Sukinem langsung teringat bahwa DPRD itu dipilih oleh rakyat. Harapan perempuan sepuh itu ialah agar dewan konsisten memperjuangkan aspirasi orang yang memilihnya dan bukan justru melukainya.
(Suara Merdeka, 31-08-2009)
Kamis, 24 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar