Selasa, 17 November 2009

Menuliskan Biografi Pahlawan

Bandung Mawardi

Buku adalah kunci untuk publikasi sosok dan nilai pahlawan. Rezim Orde Lama menjalankan operasionalisasi untuk publikasi pahlawan dengan membentuk Lembaga Sejarah dan Antropologi (1958). Lembaga itu memilki misi membuat buku biografi para pahlawan. Orde Baru melanjutkan misi dengan membentuk Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (1979). Klaus H. Schreiner (2005) mencatat pada tahun 1983 lembaga itu telah menerbitkan 73 biografi pahlawan.

Penulisan buku biografi pahlawan rentan dengan intervensi, manipulasi, dan distorsi. Buku-buku biografi versi pemerintah cenderung menjadi aksentuasi nilai dan efek politis. Buku-buku biografi adalah medium pengesahan dan pengajaran mengenai pahlawan. Misi dari pemerintah mendapati tandingan dari individu dan institusi dalam menulis pahlawan dalam bentuk biografi dan novel.

* * *

Kuntowijoyo (1994) menyebutkan bahwa penulisan buku biografi di Indonesia didominasi oleh pengarang dan jurnalis. Fakta itu menjadi satire atas kompetensi ahli sejarah untuk menuliskan biografi tokoh. Penulisan buku biografi sejak tahun 1950-an menunjukkan peran dari kalangan pengarang dan jurnalis: M. Balfas menulis Dr. Tjiptomangunkusumo, Hazil Tanzil menulis Teuku Umar dan Cut Nya Din, Matu Mona menulis H. Husni Thamrin dan W.R. Soepratman, Pramoedya Ananta Toer menulis Panggil Aku Kartini Saja, dan lain-lain.

Kehadiran buku biografi pun dibarengi dengan penerbitan novel-biografi. Novel memiliki kemungkinan untuk memadukan fakta sejarah, interpretasi, dan olahan imajinasi. Novel hadir sebagai medium unik untuk publikasi biografi dan interpretasi mengenai sosok pahlawan. Publikasi novel-biografi pahlawan: Surapati karangan Abdul Muis, Jejak Kaki Walter Monginsidi karangan S. Sinansari Ecip, Cermin Kaca Soekarno karangan Mayon Sutrisno, Cut Nya Dien karangan Ragil Soewarno Pragolapati, dan lain-lain.

Interpretasi-imajinatifi memungkinkan ada perbedaan kentara dengan olahan fakta sesuai dengan disiplin ilmu sejarah. Novel-biografi memang tidak menjadi sumber sahih dalam penelusuran sejarah tapi memberi jalan lain atas pengetahuan sisi-sisi kehidupan pahlawan. Novel-biografi itu memiliki peran unik dalam dominasi penerbitan buku-buku biografi pahlawan.

* * *

Ikhtiar menulis biografi pahlawan pun dilakukan oleh ahli dan peneliti mumpuni di luar imperatif dan proyek pemerintah. Publikasi fenomenal tampak dalam majalah Prisma No. 8 Tahun 1977 terbitan LP3ES dengan titel Manusia dalam Kemelut Sejarah. Edisi Prisma itu memuat studi kritis mengenai sosok Soekarno, Soedirman, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan Tan Malaka. Artikel-artikel itu mengungkap kontroversi dan bias dalam pengetahuan publik terhadap pahlawan.

Edisi lanjutan dari studi intensif dan kritis itu hadir dalam buku Sejarah Tokoh Bangsa (2005) dengan editor Yanto Bashri dan Suffani. Buku itu memuat tambahan studi kritis biografi Mohamad Hatta, W.R. Supratman, Muhammad Yamin, dan Hasyim Asy’ari. Kehadiran artikel-artikel tentang pahlawan itu melengkapi penerbitan buku-buku biografi otoritatif: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia garapan Cindy Adams, seri Tan Malaka garapan Harry A. Poeze, seri Diponegoro garapan Peter Carey, Mohammad Hatta: Biografi Politik garapan Deliar Noer, Kartini: Sebuah Biografi garapan Siti Soemandari Soeroto, Cut Nya Din: Kisah Ratu Perang Aceh garapan M.H. Skelely Lulofs, dan lain-lain.

Penulisan buku-buku biografi pahlawan dengan studi intensif dan kritis terus dilakukan untuk memberi kontribusi sebagai medium pengetahuan sejarah dan meluruskan kontroversi dan bias dalam penerbitan buku-buku biografi versi lama dalam intervensi penguasa. Kesahihan dalam pemakaian sumber-sumber sejarah, interpretasi, dan struktur tulisan dalam buku biografi kerap menjadi polemik (perdebatan) panjang dengan pelbagai perspektif dan argumentasi.

* * *

Buku Seabad Kontroversi Sejarah (2007) garapan Asvi Warman Adam memuat kritik keras mengenai publikasi buku biografi karena ada bias, dilema, dan sisi gelap tak terungkap. Kontroversi kentara adalah argumentasi untuk menobatkan seseorang sebagai pahlawan atau pemberontak mengacu pada pelbagai peristiwa dan kontribusi untuk Indonesia. Kontroversi mengenai sebutan pahlawan atau pemberontak terhadap sosok-sosok penting dalam perjalanan sejarah Indonesia menemukan momentum pada pasca-Orde Baru dengan wacana pelurusan atau revisi sejarah.

Kontroversi dengan dilema untuk meragukan atau menguatkan peran pahlawan mulai menjadi polemik panjang di media massa. Polemik itu terkadang menimbulkan kejutan dan kegamangan. Rentetan polemik itu menjadi bahan bagi Eka Nada Shofa Alkhajar dalam menulis buku Pahlawan-Pahlawan yang Digugat (2008). Buku ini memuat jejak tafsir kontroversi atas kepahlawanan Kartini, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Ida Agung Gde Agung, Tuanku Imam Bonjol, dan Tuanku Tambusai. Kontroversi itu sampai hari ini belum menemukan titik terang dan konklusi mumpuni. Begitu.



Dimuat di Jawa Pos (8 November 2oo9)

Tidak ada komentar: