Kamis, 05 November 2009

Babad Taman Sriwedari

Angin semilir menerpa wajah Anto dan Mawardi yang sedang jagongan di bawah pohon asem. Hanya disuguhi singkong rebus dan teh tawar oleh Fani, istri Anto, mereka berdua betah ngobrol. Kedua lelaki ini menyinggung masalah sengketa lahan Sriwedari antara Pemkot dengan ahli waris yang kembali memanas, sepanas teh yang masuk ke kekerongkongan mereka berdua.

Keputusan Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali sengketa lahan Taman Sriwedari membuat Walikota Jokowi beraksi. Jokowi mengancam tak bakal menerbitkan IMB. Pasalnya, Sriwedari alias Kebon Rojo merupakan kawasan bersejarah. Yang ditakutkan, ahli waris membangun semaunya, tanpa menaati kaidah pelestarian dan nilai sejarah situs.

“Entah mengapa polemik Sriwedari kian menajam,” suara Anto tampak tertahan karena tarikan napas yang dalam sekali, seolah kecewa.

Sembari menikmati singkong rebus, Mawardi angkat bicara ”Pak Jokowi memang harus bersikukuh nggondeli lahan itu meski ahli waris mengiming-imingi bakal menghibahkan sebagian lahan taman ini kepada Pemkot. Mulai dari Stadion Sriwedari ke arah selatan”.

“Apa tiada bukti sejarah yang bisa melukiskan keelokan Sriwedari tempo doeloe, sehingga paling tidak dapat dipakai untuk bahan renungan mereka?” tanya Fani yang duduk di sebelah Anto menoleh pada Mawardi.

Kepala Mawardi sedikit mendongak, berusaha mengingat buku yang pernah ia baca.

“Ah, saya ingat. Selain Babad Sala karangan RM. Sayid dan novel Solo Di Waktu Malam karya Kamadjaja (1950), ada kitab yang selama ini tidak pernah disinggung dalam seminar oleh sejarawan, budayawan maupun pihak yang berselisih. Yaitu, Babad Taman Sriwedari, buah pena dari Yasahardjana yang diterbitkan tahun 1926,” ujar Mawardi muka girang.

“Isi bukunya bagus tidak, menceritakan tentang apa saja?” setelah Mawardi selesai bicara, Anto langsung memberondong pertanyaan. Memang, Anto pada masa kecil tak ikut menangi, tahunya dari penuturan orang-orang sepuh.

Babad Taman Sriwedari memuat memori Yasahardjana yang mendeskripsikan secara apik ruang publik wong Solo yang meniru konsep taman indah persembahan Sumantri ketika ngenger kepada raja Harjuna Sasrabahu itu. Dikisahkan, Sriwedari kala itu terlihat asri dan berhawa sejuk, maka pengunjung aras-arasen mulih, maunya tidur di situ. Di tengah taman, terdapat empat rumah tanpa kiblat dihiasi ukir-ukiran, tempat istirahat penonton.

“Dahulu, kata ibu saya, ada telaga yang indah juga. Apa benar mas?” tanya Fani.

Setelah meneguk wedang teh, Mawardi menjawab “Betul, ada balumbang yang menjadi tempat hidup bulus, penyu, buaya dan ikan serta airnya bersih dan tumbuh teratai. Di tengah telaga itu dibangun tembok melingkar yang diberi nama Panti Pengaksi, tempat Sinuhun manakala meninjau taman miliknya dan rindu bertatap muka dengan warga di acara malem Selikuran dan perayaan lainnya”.

“Terus apa lagi yang dituliskan dalam buku itu, mas?” Fani kian penasaran.

“Masih ada banyak kok. Seperti pembangunan taman dilakukan pada tahun Jawa 1831 tahun Dal. Ditulis pula koleksi lengkap dan kondisi Museum Radya Pustaka. Kemudian aktivitas tirakat warga setiap malam Jumat. Bahkan diceritakan kisah-kisah wingitnya taman itu,” ungkap Mawardi dengan lancar karena buku itu sudah beberapa kali dibacanya.

“Nah, apakah ahli waris bisa mengembalikan keindahan kondisi plus kejayaan taman Sriwedari seperti tempo doeloe. Kalau dalam masterplan yang mereka sodorkan melenceng dari konsep ruang publik alias taman Sriwedari dijadikan sebagai ruang privat atau komersil, maka itu sama saja membunuh memori kolektif warga. Jangan sampai warga ngamuk lho,” Anto memperingatkan.

Mawardi dan Fani pun ikut termanggut-manggut setuju.

Suara Merdeka, 10 Oktober 2009

Tidak ada komentar: