Senin, 04 Januari 2010

Suguhan Risiko Teater

Bandung Mawardi

Garapan teater dengan acuan cerpen mungkin menjadi prosedur untuk integrasi atau disintegrasi cerita. Klosed menghadirkan ambang batas pemaknaan karena ada keimanan terhadap cerpen dan ada tafsiran liar mengacu anutan konstruksi teater. Pementasan Malaikat Kakus oleh Klosed dari Solo dengan sutradara Sosiawan Leak menjadi bukti kerepotan untuk mengusung cerpen dalam olahan teater. Klosed dalam pementasan di Taman Budaya Jawa Tengah pada 26 November 2009 memang mencoba untuk tidak mutlak setia pada cerpen anggitan Triyanto Triwikromo itu tapi mengesankan ada kerja keras menampilkan sisi lain cerita dalam diskursus teater.

Suguhan awal membuat penonton merasai situasi penjara kendati kurang meneror. Lima aktor dalam formasi berjajar mengajukan prolog ekspresif dengan memainkan tong kecil bernomor ala tanda penghuni penjara untuk memunculkan efek musikalitas dan penguatan dari gerak tubuh dan tuturan ganjil: Assssb....Assssb....Assssb. Imajinasi penjara diimbuhi oleh teralis besi tergantung tinggi di atas panggung. Letak ini serasa menantang penonton untuk menggapai simbolisasi penjara. Penonton lekas dijelaskan oleh tuturan urut mengenai pintu masuk cerita persis dengan materi cerpen. Kesetiaan ini mungkin ingin menjadi pengikat untuk tidak lari jauh dalam eksplorasi tubuh, properti, dan tuturan cerita. Siasat ini sanggup membuat Klosed meminta perhatian penonton untuk menikmati kalimat-kalimat puitis tanpa dibebani lagak deklamasi. Para aktor menuturkan dengan enteng dan membuat perbedaan intonasi agar menebar sugesti.

Tiga pemain lelaki dan dua pemain perempuan lalu melakukan gerak tubuh ritmis dalam tempo cepat sebagai realisasi dari sensibilitas terhadap ruang dan minimalitas dekorasi. Tubuh jadi tumpuan untuk mengendalikan cerita atau melepas cerita agar tak mematikan fleksibilitas aktor merasai hadir atau tak hadir. Pengenaan kostum dengan pakaian kolor-longgar menjadi penentu untuk memunculkan impresi-impresi dalam batas kelumrahan dan pemicu dari proses mengimajinasikan cerita sesuai latar ruang dan waktu. Klosed dalam garapan tubuh dan aksesoris mengesankan ada ketaksetiaan karena tidak secara eksplisit mengabarkan diri sebagai para peghuni penjara. Pilihan ini mungkin dilakukan karena pertimbangan agar tubuh dan pakaian bisa mengatakan sesuatu secara elegan terkait dengan cerita atau meloloskan diri sebagai derivasi cerita.

Pemakain tong kecil membuktikan kecanggihan tafsir Klosed atas materi-materi dalam cerpen Malaikat Kakus. Benda ini bisa jadi corong untuk bicara, menjadi pot untuk menanam diri, wadah kotoran dan tubuh, menjelma ember, sandaran tubuh, atau representasi tubuh. Cerita berhamburan melalui kecerewetan pemain bebarengan dengan efek musikalitas tubuh dan properti. Model pengisahan ini membuat kalimat-kalimat pecahan dari cerpen terasa cair tapi kerap jadi tumpukan bahasa tanpa sempat dikonsumsi dengan kewajaran. Tempo cepat untuk memberi cerita membuat Klosed dalam ketergesaan membedakan diri ketika sadar tubuh teater atau diri sekadar sebagai saluran cerita.

Sekian penonton tampak murung dan bingung menerima serbuan kalimat dibarengi dengan eksplorasi tubuh pemain dalam eksplisitas tubuh lentur dan kaku. Dua aktor memiliki intensitas sebagai tubuh penari. Dua aktor memiliki kekuatan sebagai tubuh teater. Seorang pemain perempuan justru mendisiplinkan tubuh ala pembaca puisi. Percampuran dari perbedaan identitas tubuh dalam panggung menciptakan tubuh naratif dalam tegangan sastra atau kemauan teatrikal. Kepemilikan dan pengolahan tubuh dibarengi dengan tong kecil memicu garapan Klosed menjadi menegangkan dan berkeringat.

Kelincahan dalam mengatur posisi dalam formasi tertib kadang menimbulkan curiga mengenai kehendak menata cerita mesti urut dan mengandung kontinuitas. Risiko ini juga dipengaruhi oleh resepsi aktor terhadap pembacaan cerpen dan peralihan dalam naskah. Pengakuan aktor ketika dalam sesi latihan pada penulis mengindikasikan ada proses berat untuk mengafirmasi cerita dan menuturkan dalam teater. Para aktor memang suntuk memamah cerita tapi lekas mendapati beban makna sebelum mereka menghadirkan garapan teater sebagai sejenis produksi makna. Cerpen memiliki mekanisme produksi makna ketika dalam pergaulan intim dengan pembaca. Model ini tentu berbeda dengan garapan teater karena harus memiliki jalan lain ketika sadar melakukan produksi makna inklusif pada pergaulan dengan pelbagai elemen pementasan. Produksi makna masih jadi pekerjaan berat dalam durasi satu jam pementasan.

Garapan Malaikat Kakus ingin mengisahkan kehidupan bocah dan para penghuni penjara. Ulah jorok, nakal, bengis, naif, dan suci dicampuradukkan sebagai gambaran riil dari pengetahuan publik. Pengimajinasian teater membuat Klosed mesti mendistribusikan peran untuk menebar benih-benih makna pada penonton. Distribusi peran ini justru menunjukkan kisah-kisah seru dalam lingkungan penjara jadi tereksplisitkan: percumbuan, adu ejekan, kerja membersihkan rumput di halaman, pertemuan antara penghuni dan penjenguk, atau medium buang hajat. Tebaran adegan-adegan ini cukup mendekatkan penonton pada anutan realitas atau buaian imajinasi ala pengarang dan sutradara. Imajinasi atas iblis dan malaikat dalam kegelapan dan kesamaran kehidupan penjara pelan-pelan dihaturkan pada penonton.

Risiko integrasi dan disintegrasi mulai tampak ketika penonton perlahan mau meringis atau memberi tawa kecil terhadap jeda pembatas dan pembeda dari keketatan alur cerita dalam garapan. Aktor-aktor Klosed mencoba membuat adegan-adegan lucu dan seronok diimbuhi celotehan tak biasa untuk mengikat perhatian penonton terhadap cerita atau olah tubuh aktor. Cerita mungkin lekas mengalami disintegrasi karena aktor tampak kelelahan mengurusi tubuh. Integrasi cerita justru mungkin dirasakan ketika aktor menuturkan dengan sikap santai dan cuek atas kehadiran diri dalam teater. Kesetiaan terhadap cerpen jadi longgar. Tafsiran ini pun mesti dihadapkan pada modal resepsi penonton sebab tak semua telah membaca dulu cerpen Malaikat Kakus yang termuat dalam buku kumpulan cerpen Ular di Mangkuk Nabi (2009).

Leak sendiri dalam beberapa sesi latihan mengatakan ada risiko-risiko susah teratasi dalam menggarap Malaikat Kakus sebagai cerpen surealis. Pembacaan cerpen dalam ranah resepsi pembaca memang memungkinkan rumusan tafsir tak kelihatan. Prosedur transformasi dalam garapan teater membuat tafsiran itu mesti menjadi model untuk operasionalisasi produksi makna melalui aktor, properti, ilustrasi musik, dan permainan cahaya. Sutradara sejak awal ingin mencarikan titik temu dengan sekian elemen pertunjukkan tapi terus dihadapkan pada kesusahan dan sejenis keterpaksaan bergantung pada fakta-fakta pemain dan tim pentas.

Risiko-risiko itu kentara dalam sajian pentas Malaikat Kakus ketika ada usaha membuat benang merah-benang merah sebagai kompensasi dari kepercayaan sutradara bahwa setiap aktor sanggup menghaturkan cerita dan diri. Sutradara merangkap sebagai aktor juga mengesankan ada sistem kontrol atau penentu aba-aba untuk membuat cerita terus mengalir. Model instruktif dalam permainan memang kerap dilakukan oleh beberapa kelompok teater. Leak sebagai aktor justru tampak susah menempatkan diri dan kentara memiliki ketergantungan terhadap ritme dan pola dari empat aktor lain. Hal ini agak mengganggu dalam visualisasi dan percikan imajinasi atas kesanggupan tubuh aktor mengabarkan dan menyemaikan cerita.

Garapan Malaikat Kakus dari Klosed membuktikan bahwa relasi antara cerpen dan teater masih memiliki risiko estetika tak terelakkan. Leak sendiri mengakui mesti ada perbedaan membaca Malaikat Kakus sebagai cerpen dan garapan teater. Pengakuan ini lalu dibuktikan dengan pementasan meski repot tapi jadi kerja keras sutradara dan aktor untuk tak luluh mutlak terhadap cerpen. Pekerjaan ini menjadi sambungan dari cara Klosed menafsirkan sekian teks sastra pada masa dulu: Anak-anak Mengasah Pisau (Triyanto Triwikromo), Wajah sebuah Vagina (Naning Pranoto), dan Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari). Garapan Malaikat Kakus membuktikan ketekunan Klosed memberi tanggapan teater atas teks sastra. Ketekunan ini selalu mengandung risiko tapi Leak sebagai sutradara Klosed memiliki cara tafsir berbeda untuk menemukan formula secara integrasi atau disintegrasi antara teks sastra dan garapan teater. Begitukah?



Dimuat di Suara Merdeka (29 November 2oo9)

Tidak ada komentar: