Minggu, 23 Agustus 2009

Solo Tempo Dulu, Sebuah Kesaksian

Heri Priyatmoko


Lelaki keriput yang berusia 86 tahun itu bernama KRT Soemarso Pontjo Soetjitro. Meski fisik tidak bisa lagi dikatakan gagah, namun ingatan tentang masa lalu Solo, seperti kamus berjalan. Beliau yang kini masih tekun bekerja mengalih aksara di Pura Mangkunegaran ini membuat terpana puluhan peserta seminar ”Solo Mencari Jati Diri” yang digelar oleh Kelompok Studi Perkotaan Balai Soedjatmoko beberapa waktu lalu. Soemarso berhasil menyihir dan membawa imajinasi historis peserta untuk menerawang jauh kondisi Solo 1930-1950-an. Terkadang disisipi cerita jenaka sehingga membikin peserta tertawa lepas di ruang kecil itu.
Keluwesan Soemarso dalam bertutur bukan saja disebabkan dia saksi sejarah kota dan seringnya bergumul dengan arsip kuno, tetapi lebih karena ia orang biasa, bukan tokoh penting. Bicaranya polos layaknya bagaimana wong cilik tempo dulu betul-betul ”merasakan” kota. Berdasarkan pengkisahan lisan Soemarso, terbuka gambaran sejarah Solo sebagai kota yang permai dan penuh kedamaian. Solo pada riwayatnya merupakan kota yang cantik, sejuk serta multietnis. Berderet pepohonan di pinggir jalan membuat betah para pejalan kaki di kala siang hari, walaupun sudah ada trem jurusan Sangkrah-Boyolali melewati kota sebanyak lima kali dalam sehari.
Pada malam hari, dari pukul delapan hingga dua belas malam, Soemarso menyusuri kampung-kampung di tengah kota mendengar orang yang sedang nembang macapat (menyanyi lagu Jawa). Ketentraman hati pun didapat. Tempat nongkrong Soemarso yang rutin dikunjungi adalah taman di utara Pasar Legi. Sebuah taman yang kini telah hilang tergusur oleh bangunan Ratu Luwes. Di situlah warga mencari hiburan seperti menikmati wedang petruk atau sekadar merasakan tusukan angin malam.
Cara berjualan wedang petruk hampir sama dengan hik (hidangan istimewa kampung) yang menggunakan angkringan. Hanya saja, wedang petruk ditutupi kain mori yang bergambar petruk. Kemudian penjualan jenis minuman banyak ragam misalnya jahe, kopi, teh, wedang jemui (minuman kopi diberi jahe), serta menyediakan pula panganan kecil atau cemilan. Dari tempat tersebut, Soemarso menyaksikan keriuhan pedagang atau bakul Pasar Legi yang sibuk menyiapkan dagangan. Pemasok barang berasal dari berbagai kota, sehingga banyak dari mereka yang datang ke pasar sehari sebelum hari pasaran pasar dan menginap di pasar.
Karena wedang petruk biasa tutup menjelang azan Subuh, maka pedagang maupun pemasok di Pasar Legi tak kesulitan mencari makanan pengganjal perut. Itu kondisi di Kampung Lor (sebutan wilayah Mangkunegaran).
Di Kampung Kidul (wilayah Kasunanan), hiburan rakyat terpusat di Kebon Rojo (Taman Sriwedari). Soemarso kerap diajak ke Kebon Rojo oleh kakeknya, Kanjeng Tumenggung Purwopradoto, seorang jaksa di era Paku Buwono X. Dia nonton wayang orang, dan tokoh yang disukai, yaitu Sastro Dinomo yang memainkan peran sebagai petruk. Loket masuk gedung wayang dijaga orang Ambon. Mereka mendapat julukan Londho Ambon lantaran menjadi anak emas pemerintah kolonial Belanda di Solo. Sehari-harinya mereka bekerja sebagai tentara KNIL.
Gajah Gemuk
Anak-anak kecil sebaya Soemarso takutnya bukan main, sebab bakal dipukul kenut kalau berani mbludus (masuk tanpa bayar). Selain itu, masyarakat di Kebon Rojo senang melihat gajah yang gemuk. Saat malam tiba, warga menikmati hik Jagalan yang sohor dengan jenis panganan yang aneka rupa, seperti lauk pauk matang, berbagai jenis jajanan pasar, kue, dan gorengan. Tak hanya orang pribumi yang berekreasi, para sinyo keturunan Belanda-Jawa yang bermukim di Loji Wetan dan Villapark (Banjarsari) pun menikmati suguhan bioscoop di kompleks Kebon Rojo. Sinyo ber-flaneur atau jalan-jalan menyusuri kota, menenggelamkan dirinya ke dalam hiburan elite.
Stratifikasi sosial memang ada, tapi kedamaian kota terpelihara. Suasana Solo di tahun-tahun itu selalu regeng (ramai) dan santai. Karena itu, wajar jika orang-orang sepuh dulu berkata grayak-grayak wose tumindak, alon-alon waton kelakon. Mereka tiada perlu terburu-buru dalam bertindak dan berkejaran dengan waktu. Pasalnya, pertumbuhan kota pelan dan rakyat bisa mengikuti, tidak seperti sekarang yang justru kota menggilas penghuninya. Tahun 1981, Soemarso mulai kapok berjalan-jalan lantaran dihadang oleh pemabuk yang sedang minum di pinggir jalan. Beda dengan dulu: orang mabuk di dalam kampung dan tidak mau bertindak jahat. Mereka minum cukup sambil nembang dan rengeng-rengeng (menyanyi pelan).
Sejarah lisan
Cerita Soemarso bukan sekadar pengantar tidur atau nostalgia belaka. Mungkin ada sebagian sejarawan sepaham dengan pemikiran Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbone, Paris, Perancis. Tidak ada yang bisa menggantikan fungsi sumber tertulis untuk melakukan rekontsruksi masa lampau. Lahirlah adagium no documents, no history (tidak ada sumber tertulis, tidak ada sejarah). Akan tetapi, sejarah lisan dari hasil pengisahan Soemarso ini jelas-jelas telah membuka mata serta hati kita bahwa Kota Solo sekarang sudah terperosok jauh. Tidak hanya tata guna lahan yang amburadul, tapi juga napas, jiwa, dan kehidupan lokal yang spesifik dalam bangunan dan lingkungan binaannya tercerai-berai. Kota, ruang, menjadi alat pertumbuhan saja.
Pengamatan JJ Rizal (2004) benar, bahwa ini berakibat pada masyarakatnya kecolongan kesempatan untuk menikmati kota yang tujuan sejatinya adalah sebagai permukiman manusia. Soemarso lewat kesaksiannya ini telah menyalakan alarm peringatan bagi kita semua bahwa di bawah kendali rezim greedy dengan perencanaan dan program yang arogan, Solo telah dipacu lari ke arah yang salah. Oleh karena itu, mau tak mau kita termangut setuju dengan pernyataan pakar filsafat timur, Laura Romano bahwa Solo kehilangan roh dan jati diri.

Dimuat di Suara Merdeka, 10 Agustus 2009

Tidak ada komentar: