Bandung Mawardi
Ben Okri (1997) mengungkapkan bahwa menulis dalam sejarah peradaban manusia merupakan tindakan emansipatoris. Penulis tak lelah untuk mengisahkan apa saja sebagai manifestasi dan representasi lakon manusia. Ben Okri pun mengakui manusia adalah homo fabula (makhluk pengisah). Peran sebagai homo fabula membuat manusia sadar bahwa dunia ini rimbun oleh pelbagai kisah.
Homo fabula melahirkan kisah dengan sekian dalil dan pamrih. Peradaban-peradaban manusia di Asia, Eropa, Afrika, atau Amerika memiliki homo fabula sebagai tanda progresivitas dengan nostalgia dan utopia. Kisah-kisah kuno masih mendapati jalan pewarisan dan kisah-kisah untuk hari esok masih kiblat untuk lekas dikisahkan. Kisah-kisah abadi masih jadi referensi untuk membaca arus dan alur peradaban manusia dalam olahan fakta dan fiksi. Kisah-kisah pemula memang cenderung mitologis tapi mengandung tanda-tanda faktual atas lakon kehidupan manusia.
Manusia pengisah dalam menciptakan kisah memiliki anutan dan prosedur sesuai dengan latar mitologi, teologi, estetika, sosial, politik, ekonomi, dan kultural. Kisah-kisah ada menjelma sebagai realisasi dan representasi manusia untuk membaca diri, dunia, hidup, dan alam. Membaca membutuhkan jalan atau perantaraan. Kisah menempatkan diri untuk mengantarkan manusia pada ikhtiar mencari-menemukan makna dengan alegori, metafora, atau simbol. Kisah pun menemukan peran signifikan dalam pergulatan hidup manusia.
Kisah lahir dan bergerak dari dan untuk apa saja. Pelbagai hal mungkin diusung dalam kisah untuk orientasi pluralisitik. Manusia mungkin melakukan identifikasi dalam pelbagai konteks tafsir untuk menemukan relevansi kisah dengan laju zaman dan kompleksitas peristiwa hidup. Kisah tidak menjadi artefak. Kisah tak mati ketika ada keterlibatan manusia untuk masuk dan keluar dalam ambang batas dunia fakta-fiksi. Kisah selalu menjadi hidup dalam resepsi dan interpretasi.
Kisah adalah cerita tentang peristiwa atau riwayat dalam kehidupan manusia. Bagus Takwin (2007) mengungkapkan: “Setiap manusia adalah pembuat kisah yang di dalamnya ia jadip peran utama. Kisah itu bernama Diri, sebuah pusat aktivitas kesadaran sekaligus medan tempat pelbagai daya dari luar ikut menyumbang bagian cerita untuk melengkapinya. Dengan memahami kisah itu, kita dapat memahami bahwa diri setiap orang terhubung dengan diri orang lain. setiap orang dapat memahami dirinya melalui dan di dalam keterlibatan dengan orang lain.” Manusia adalah makhluk pembuat dan pembaca kisah.
Kisah tidak sekadar mencipta dan mengumbar fantasi atau imajinasi. Kisah itu memiliki awal dan akhir pada manusia. Kisah memiliki substansi atas nama manusia meski dalam narasi memunculkan perkara-perkara di luar diri manusia. Simbolisme dan imaji memiliki tarikan pada manusia sebagai pusat. Pernik-pernik atau instrumen dalam kisah menjadi bumbu dan ekpresi untuk pencapaian hasrat-hasrat manusia.
Kisah menemukan titi-titik sambungan dari masa lalu sampai hari ini. Kisah dalam kultur lisan dan tulisan adalah proses progresivitas dengan mengandung risiko. Tulisan sebagai realisasi dan representasi manusia memberi risiko untuk parameter peradaban modern. Risiko substansial adalah tulisan memberi reduksi dan godaan untuk pelemahan ingatan manusia. Tulisan menjelma dalam bentuk fisik sebagai acuan untuk ingatan. Mekanisme ingatan dalam tradisi lisan pun mengalami godaan. Kisah sebagai olahan fakta-fiksi pun menjadi pelik dan dilematis. Imajinasi jadi pertaruhan untuk melahirkan dan meresepsi kisah.
Kisah dalam peradaban tulis menjadi perayaan tanpa titik. Manusia menulis kisah dengan gairah: positif atau negatif. Perayaan itu mendapati dukungan dari teknologi dan sistem penerbitan modern. Kisah dalam bentuk tulisan pun menjadi tanda dari lakon manusia untuk pelbagai peristiwa dan perkara. Penerbitan kisah dalam peradaban modern ini melimpah dan susah untuk dikumpulkan dalam pola homogen. Heterogenitas dan pluralitas adalah takdir untuk perayaan kisah pada abad dan zaman modern.
Siapa saja pasti susah untuk melakukan pendataan utuh atas kelahiran dan publikasi kisah-kisah dalam bentuk puisi, novel, cerpen, atau drama. Gudang kisah tentu sesak untuk menampung totalitas kisah dari Leo Tolstoy, Agatha Cristie, Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisjahbana, Ernest Hemingway, Orhan Pamuk, Putu Wijaya, Marga T, Sartre, Lu Hsun, Tagore, Kahlil Gibran, Remy Sylado, Milan Kundera, James Joyce, Y.B. Mangunwijaya, Arswendo Atmowiloto, Kho Ping Ho, Suparto Broto, Goethe, Shakespeare, Umberto Eco, Nadjib Mahfoudz, Salman Rushdie, Coetzee, Naipul, Abdullah bin Abdulkadir Munsji, Ronggowarsito, Amy Tan, Seno Gumira Ajidarma, dan lain-lain. Kisah-kisah dari manusia pengisah itu ada untuk mendedahkan tentang manusia. Kisah-kisah itu selalu belum sampai pada tafsir paripurna.
Kisah-kisah itu memiliki nasib sendiri-sendiri. Pujian dan cacian jadi kelumrahan. Kontroversi pun tak luput memberi catatan untuk nasib kisah. Kontroversi muncul dengan pelbagai argumentasi dari teologi, politik, etnis, nasionalisme, ideologi, atau etika. Kontroversi itu menadakan bahwa manusia pun belum usai sebagai makhluk kontroversi. Pelarangan atas buku jadi kelumrahan. Fatwa mati atau hukuman untuk manusia pengisah jadi tradisi. Peringatan pada pembaca untuk tidak membaca jadi tanda seru atas pemasungan hak. Nasib kisah, manusia pengisah, dan pembaca jadi pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tak selesai.
Kisah-kisah dalam bentuk tulisan adalah sisi lain dari progresivitas peradaban modern. Kisah-kisah pun lahir dan dipublikasikan melalui medium teknologi modern. Film jadi medium kisah. Kaset jadi medium kisah. Radio dan televisi pun cerewet menghadirkan kisah. Pelbagai kisah mulai mencari-menemukan bentuk untuk realisasi dan representasi manusia. Kisah dalam bentuk tulisan mulai mendapati godaan dan ancaman.
Kehadiran pelbagai medium kisah memberi efek dan risiko. Kultur membaca perlahan mengalami reduksi karena umat manusia merasa khusuk dan tekun menikmati kisah melalui televisi atau internet. Kisah terus ada tapi mekanisme untuk menikmati kisah mengalami pemutakhiran atau pencanggihan. Tanda tanya dan tanda seru mulai menjadi perkara pelik untuk memerkarakan kisah.
Mediamorfosis jadi fakta mutakhir. Proses peralihan medium seperti jadi peringatan untuk menilai godaan kisah bagi manusia. Nasib kisah hari ini jadi pertaruhan peradaban manusia. Masihkah manusia pada hari ini mengimani dan mengamini diri sebagai homo fabula atau manusia pengisah? Pertanyaan ini mudah menemukan jawaban tapi susah memberikan eksplanasi paripurna. Begitu.
Dimuat di Seputar Indonesia (9 Agustus 2oo9)
Minggu, 23 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar