Bandung Mawardi
Kota Solo menjadi bab penting dari sejarah kolonialisme. Kota ini memiliki biografi panjang dan mengandung jejak-jejak mengesankan atas praktik kuasa Jawa dan kuasa kolonialisme. Kota Solo menjadi ruang perebutan makna untuk menampilkan identitas tentang eksotisme (klasik) dan keterbukaan atas modernitas. Fragmen-fragmen sejarah kota pun tercatatkan dalam pelbagai dokumen dari kolonial dan keraton.
Imajinasi kota terhadap Solo membuka lapisan-lapisan misteri tentang kelahiran dan pertumbuhan kota. Wacana tradisionalitas dan modernitas menjadi urusan tak selesai sampai hari ini. Identifikasi Kota Solo sebagai kota tradisi (klasik) mendapati klaim dengan jejak sejarah dan keberlangsungan laku tradisi dari praktik seni sampai spiritualitas. Klaim-klaim sebagai kota tradisi memang dibuktikan secara faktual tapi kerap didramatisasi oleh kepentingan birokrasi. Sejarah kota dalam tendensi birokrasi jadi argumentasi untuk merumuskan identitas kota sebagai ruang tradisi dan kultural Jawa tapi dalam tataran permukaan.
Kota Solo sejak awal abad XX mulai melakukan transformasi diri dengan keterpengaruhan pola-pola kota modern. Pengaruh-pengaruh ini diterima melalui praktik politik dan ekonomi sebagai mesin utama modernitas. Kolonialisme memang jadi tukang dikte untuk menggerakkan Solo dalam konstruksi kota modern. Proses menjadi kota modern itu disahkan oleh kekuasaan dengan kebijakan-kebijkan strategis mulai dari model pembangunan fisik sampai pada penetrasi nilai-nilai modernitas.
Solo pun tumbuh dengan perebutan klaim tradisionalitas-modernitas. Imajinasi menjadi juru bicara untuk memberi pembenaran atas lakon kota. Imajinasi diwartakan sebagai acuan pada publik secara internal atau eksternal mengenai biografi kota. Imajinasi Solo sebagai kota tradisi dengan eksotisme (tradisional) dan aura-mistis terus mendapati pengakuan meski ada realisasi mengonstruksi Solo sebagai kota modern. Identitas dengan imajinasi eksotisme ini menjadi tanda tanya dan tanda seru sampai hari ini.
Kota Solo hari ini masih mengalami pergulatan intensif untuk menumbuhkan kembali nostalgia tradisionalitas dan hasrat menjadi kota kosmopolitan. Tradisi terus dipertahankan sebagai modal substantif untuk mengesahkan diri sebagai kota budaya. Pengesahan ini dilakukan dengan promosi seni-seni tradisi dan pengelolaan situs-situs kultural dengan setengah hati.
Pola pewarisan tradisi kerap dipengaruhi oleh mekanisme kekuasaan. Tradisi jadi tema seksi untuk penguasan mendapati pengakuan dari publik dalam menjalankan amanah mengelola kota. Praktik untuk menampilkan tradisi tak luput dari pamrih-pamrih kekuasaan karena menjadi jaminan atas keberlangsungan kota. Tradisi lalu seperti jadi modal untuk mencitrakan kota meski kerap dalam model rekayasa dan mengandung tendensi transaksi ekonomi atas nama pariwisata.
Nasib tradisi sebagai ornamentasi menjadi fakta ketika kekuasaan menginginkan ada model klaim atas konstruksi kota dalam kalkulasi modal. Ideologi turisme kebudayaan jadi godaan tak tertahankan. Kota tumbuh dengan orientasi untuk investasi dan pariwisata. Publik kota menjadi pihak sekunder untuk realisasi pelbagai kebijakan penguasa kota. Lakon ini menjadi satire dan getir terhadap nasib Kota Solo. Ideologi turisme ditempeli dengan pamrih tradisi dan kultural lalu dipraktikkan secara srampangan melalui politik pariwisata dan ekonomi pasar.
Lakon turisme kultural dan politik pariwisata dengan kentara menjadi wacana ekonomis. Tradisi jadi jaminan pertumbuhan kota dalam model transaksi ekonomi. Kesenian tradisional, ritual, situs tradisi, atau kearifan lokal mulai jadi komoditas. Tradisi adalah alasan genit untuk mengesahkan pertumbuhan kota atas nama modernitas.
Pengelolaan tradisi dengan sikap modern menjadi pilihan rasional tapi kerap memakai tendensi pragmatis. Tradisi adalah ornamentasi untuk mengantarkan Solo sebagai kota metropolitan. Sikap modern dalam pengelolaan tradisi mesti dilakukan tapi jangan kebablasan dalam kepentingan ekonomi. Tradisi bukan komoditi tapi acuan hidup untuk masih memiliki spirit kultural dalam kehidupan Kota Solo. Begitu.
Dimau di Solopos (6 Agustus 2oo9)
Minggu, 23 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar