Heri Priyatmoko
Mentari pagi menggerakkan sinar. Jagad Solo Raya lepas dari kegelapan. Dari genting dapur warung Simbok Kerto Kuat keluar kepulan asap. Sebagai tanda pemilik warung sudah melakukan aktivitas memasak untuk melayani para kuli di Pasar Legi.
Di atas meja, tergeletak koran Suara Merdeka tertanggal 2 Juli 2009. Terpampang dengan jelas berita di halaman Metro Solo bahwa maling sukses membobol Toko emas Dewi Sri di lantai dasar Matahari Singosaren. Emas seberat 600 gram digondol maling, dan kerugian ditaksir mencapai 120 juta.
”Penjahat di Kota Solo berpesta ria, mbok”, Tumi nyletuk begitu saja, menunduk, melihat tangan kanannya yang menggenggam kelapa, naik turun di atas parutan.
”Hus, omong opo kowe. Yen ngomong diatur nduk, ojo gaco nylemong. Buktimu endi?” Simbok Kerto Kuat yang baru goreng-goreng di dapur kontan ngomel mendengar celoteh anaknya itu.
Tetap sembari menekuni pekerjaannya, Tumi menjelaskan kepada simboknya. Dia menceritakan beberapa kasus kriminal yang baru-baru saja terjadi di Kota Bengawan. Dan, berbagai kasus ini masih menjadi pekerjaan rumah polisi. Antara lain perampokan di Jl Yosodipuro menggasak 190 juta (27 Maret 2008), perampok di Danukusuman menggondol 5,2 juta (15 April 2008), perampokan Jl Kapten Mulyadi kerugian puluhan juta (7 Mei 2008), penjambretan terhadap wisatawan asal Swedia di Jl Veteran kerugian jutaan rupiah (27 Juni 2008), dan perampokan di Jl Kapten Piere Tendean No 106, Nusukan dengan kerugian belasan juta rupiah (7 April 2009).
“Ini tidak hanya masalah duit ratusan juta yang melayang mbok, namun sudah menyangkut keamanan kota dan keselamatan warganya. Betul apa kata Tumi itu, para pelakunya mungkin sedang berpesta pora menikmati hasil kejahatannya,” kata Rido, kakak laki-laki Tumi, yang sibuk memilih karak gendar yang ditaruh dalam irig di sebelah simboknya.
Pada kenyataannya, tindak kejahatan di Solo tidak hanya terjadi di kampung atau jalanan saja, tetapi penjahat beraksi di ruang publik pula, yakni tempat perbelanjaan. Padahal, selama ini Solo menjadi tempat penting jujugan bakul-bakul dari luar kota yang hendak kulakan. Jadi sungguh ironis, mereka merasa ketakutan di kota yang terkenal ramah warganya dan adiluhung budayanya. Pendek kata, masyarakat luar maupun wisatawan yang hendak melancong bakal waswas manakala menginjakkan kaki di kota ini. Berbagai perampokan tersebut menimbulkan dampak yang saling berkaitan dengan rasa aman, ekonomi dan politik.
“Perampokan di Solo kok bisa semarak ini yo, le?” tanya Simbok Kerto Kuat polos.
”Entahlah Mbok, saya pun tidak tahu mengapa orang tak berpikir panjang dalam melakukan tindak kejahatan. Atau jangan-jangan sikap aparat penegak hukum yang apatis?” jawab Rido sekenanya.
”Tapi boleh juga ditarik kesimpulan lain, Kang. Yaitu, pelaku kejahatan terlanjur punya nyali terhadap penegak hukum, khususnya aparat kepolisian. Dengan melihat tingkat kualitas dan kuantitas kejahatan yang lumayan tinggi, kinerja kepolisian memang harus ditingkatkan untuk menegakkan wibawa dan menunjukkan kekuatannya sebagai penegak hukum yang jempolan. Hal ini sangat penting terutama guna menciptakan Kamtibmas di Solo agar selalu kondusif,” sahut Tumi seraya tangannya memeras-meras hasil parutan kelapa untuk bikin santan.
Jika polisi gagal tidak bisa mengamankan kota dari aksi kriminalitas, maka sungguh mungkin orang-orang tidak akan membiarkan terutama istri, anak gadis, familinya untuk pergi ke Solo sendirian. Hal ini selain membuat masyarakat setempat dan pendatang tidak nyaman dan tidak betah tinggal, juga kegiatan ekonomi akan terganggu.
Dalam hati kecil Simbok Kerto Kuat tersimpan sebuah harapan mulia: jangan sampai wajah Kota Solo kini berubah menjadi menyeramkan, dipenuhi pejahat-penjahat sadis siap menerkam warga kota.
Suara Merdeka, 11 Juli 2009
Jumat, 07 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar