Minggu, 23 Agustus 2009

Nalar Cerita dan Ekstase Imajinasi

Bandung Mawardi


Judul : Ular di Mangkuk Nabi
Penulis : Triyanto Triwikromo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetak : I, Juni 2009
Tebal : xii + 168 halaman

Pembaca mungkin suntuk dan bakal menyesatkan diri dalam kerimbunan tanda dan keramaian imajinasi. Pembaca masuk dalam nalar cerita dengan negasi dan afirmasi untuk penciptaan realitas-fiksionalitas dan permainan referensi tak henti. Cerita-cerita terus memberi tawaran dengan racun-racun magis dan bumbu dekonstruksi untuk membuat pembaca tertegun atau kelelahan. Jalan kecil selalu dijadikan dalil untuk istirahat dan menyelamatkan nalar cerita sebelum ada tumpukan imajinasi jatuh menimpa kepala pembaca. Cerita menjelma persemaian kata dan makna tanpa ada batas geografis, waktu, etnis, agama, ideologi, politik, dan historis.
Kumpulan cerita Ular di Mangkuk Nabi menjadi bukti Triyanto Triwikromo sadar dengan kepemilikan otoritas pengarang dalam laku menciptakan dan menabur benih-benih imajinasi. Cerita terus merekah untuk melampaui wadah. Pembaca mungkin repot menerapkan konstitusi fiksionalitas dalam menerima luberan makna dan ekstase imajinasi. Pengarang lincah menempuhi jagad tanda dengan meninggalkan jejak-jejak samar. Pembaca bisa mengikuti dengan turut atau menempuh arah beda tanpa jejak-jejak eksplisit untuk kembali pulang. Risiko dari afirmasi cerita adalah kesadaran untuk menyesatkan diri dalam ikhtiar menantang kematian fiksi.
Triyanto Triwikomo menjelma penggembala cerita tanpa instruki dan imperatif absolut. Pengarang justru sadar ada ruang besar untuk cerita-cerita melakoni perjalanan sendiri dengan peta-peta magis. Cerita mungkin lari jauh tanpa lelah, sembunyi di gua gelap dan sepi, naik ke langit dengan telanjang, berbaring di sela-sela tubuh kotor bumi, duduk sedih di atas dahan rapuh, atau menelusup ke tubuh perempuan tua tanpa wajah. Pembaca lalu menempuh piknik imajinasi dengan pintu terbuka dan mungkin enggan mencari kunci untuk menutup pintu-pintu cerita.
* * *
Pembaca disuguhi imaji iblis, setan, malaikat, jin, ular, dan makhluk-makhluk dalam batas fakta-fiksi untuk konstruksi cerita. Kehadiran imaji dengan ketegangan teologis justru membuat cerita dalam remang-remang kebenaran dan kedustaan. Pengarang fasih melakukan karakterisasi tokoh tanpa penundukkan imperialistik. Tokoh menghidupi diri ketika sadar ruang dialektis dengan otonomi fiksionalitas. Pengarang tidak memberi konstitusi kaku dalam memberi kemungkinan kelahiran dan pertumbuhan tokoh-tokoh dalam ruang cerita. Tokoh-tokoh hadir memberi sapaan pada pembaca dengan pengenalan di ambang batas terang dan gelap.
Kelincahan pengarang untuk mengantarkan cerita pada jalan tak karuan atau labirin imajinasi menjadi bentuk tantangan pada pembaca dalam memberi iman dan amin. Cerita-cerita tidak melenggang di jalan lurus tapi sesak dengan pembayangan jalan-jalan tak ada ujung atau membentur tembok angkuh. Pengarang membuka pintu dengan kalem agar pembaca rikuh mengajukan tanya lalu dibiarkan dalam pengelanaan mengejutkan dan melelahkan. Cerita jadi ruang pertaruhan hidup dan mati untuk pembaca di hadapan kuasa pengarang di balik tabir tanpa lembaran jawaban dan hadiah.
Pengarang kentara memiliki sensibilitas kosmis untuk menciptakan cerita dengan usia panjang. Sensibilitas kosmis hadir dalam cerita melalui kelihaian pengarang membuat percampuran kontradiksi-kontradiksi. Epistemologi dikotomik justru dicairkan dengan perangkat cerita dan olah imajinasi untuk mengganggu nalar pembaca terhadap klaim fakta dan fiksi, keras dan lembut, hitam dan putih, baik dan buruk, kotor dan bersih, atau sakral dan profan. Sensisibiltas kosmis jadi lambaran pengarang melakukan afirmasi peran pembaca dan penulis dalam khidmat dan keliaran.
* * *
Cerita-cerita dalam Ular di Mangkuk Nabi merupakan album getir dan satir dari kesadaran manusia terhadap pelbagai fakta dan fiksi. Pengarang eksplisit mengantarkan pembaca pada kemungkinan-kemungkinan gelap untuk mencari terang di sela-sela kerimbunan tanda. Cerita-cerita magis membuat pengarang merasa mendapati dusta-dusta imajinasi ketika alpa dengan kodrat fiksi. Kesadaran terhadap dusta itu lekas disisipi dengan kelincahan pengarang membuat tautan-tautan referensial. Pembaca lalu ragu untuk vonis kedustaan atau kebenaran mengacu pada konvensi nalar cerita. Konstruksi cerita sengaja jadi pembuktian kerja pengarang membuat nalar cerita dalam daerah perbatasan agar pembaca sadar untuk hidup atau mati dalam penghayatan dan penyayatan cerita.
Cerita Dalam Hujan Hijau Friedenau adalah pengisahan getir tentang lakon cinta kudus tanpa jatuh dalam nalar cerita sentimentil dan keringkihan imajinasi. Pengarang justru mengajukan kepelikan fiksi untuk pengungkapan hasrat dan kutukan dari lakon cinta. Cerita ini tak ingin manja dengan sentuhan-sentuhan klise kisah lelaki dan perempuan. Ramuan magis membuat lakon cinta masuk dalam jurang nalar untuk mengalami ekstase di ambang batas kehidupan dan kematian.
Ketegangan memuncak dalam tuturan pelik untuk membuka iman dan aib cinta lelaki dan perempuan. Resistensi atas legitimasi cinta diungkapkan dengan nalar menantang ketika cinta masuk pada model transaksi tubuh dan ruh: “Apakah kini kau menganggapku sebagai iblis paling rapuh, sehingga perlu memberiku malaikat pelindung? Apakah kau tidak lagi menganggapku memiliki kekudusan cinta, sehingga perlu memberiku kisah percumbuan yang lain?” Kutipan ini jadi representasi hasrat pengarang untuk menciptakan subversi-subversi atas nalar cerita kovensional.
* * *
Subversi atas nalar cerita juga muncul dengan menegangkan dalam fragmen-fragmen penyaliban. Subversi justru melahirkan imajinasi dekonstruktif untuk meragukan kebenaran dan kedustaan dalam fakta dan fiksi. Salib dan penyaliban seperti jadi esktase imajinasi untuk meruntuhkan pembayangan pembaca terhadap warisan-warisan nalar cerita lama. Pengarang tanpa sungkan mengisahkan penyaliban dalam permainan tanda dengan mistis dan tragis. Penyaliban menjadi tanda seru dan tanda tanya dalam menilai ulang lakon-lakon manusia dari tarikan sejarah teologis sampai pada tragedi-tragedi realistis di zaman fiksionalitas ini.
Fragmen-fragmen salib dan penyaliban ditaburkan dalam cerita Dalam Hujan Hijau Friedenau, Delirium Mangkuk Nabi, Sepasang Ular di Salib Ungu, Sirkus Api Natasja Korolenko, Matahari Musim Dingin, Lumpur Kuala Lumpur, dan Neraka Lumpur. Imajinasi salib seperti jadi juru bicara untuk menantang nalar pembaca terhadap konstruksi cerita. Pengarang dengan keramaian imajinasi salib justru dengan eksplisit memberikan otoritas pembaca untuk menerima atau menolak. Cerita-cerita itu justru membuat pembaca memiliki hak untuk membaca sebagai salib, melakukan penyaliban terhadap cerita, atau menyalibkan diri untuk pasrah dalam cerita. Salib mengalami persemaian makna sebagai metafora mengandung tuah dan kuasa.
Nalar cerita subversif juga tampak dari pengolahan referensi sejarah Pangeran Dipanegara dalam cerita Sayap Kabut Sultan Ngamid dan biografi pendek Arthur Rimbaud dalam cerita Hantu di Kepala Arthur Rimbaud. Pengarang sengaja mencantumkan pijakan referensial dalam Babad Dipanegara, Asal-usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh (2004) garapan Peter Carey, dan Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (2006) garapan Bernard Dorleans. Subversi atas nalar sejarah digenapi dengan subversi nalar cerita untuk menciptakan letupan-letupan imajinasi dan ekstase fiksionalitas di hadapan rentetan fakta sejarah.
Nalar cerita dalam buku Ular di Mangkuk Nabi juga kentara membuktikan ketekunan pengarang untuk resepsi kritis terhadap sekian keriuhan referensi imajinasi dalam lukisan dan musik klasik. Pembaca bisa melakukan pencatatan atau pelacakan terhadap eksplisitas pengarang menghadirkan referensi dalam cerita. Pengarang dengan inklusif mengantarkan pembaca untuk melakukan pengingatan dan pencarian pembenaran dari konstruksi cerita. Nalar cerita lalu dioperasionalisasikan untuk kerimbunan tanda dan keramaian imajinasi dengan pelbagai referensi dan olah produksi atau reproduksi. Begitu.

Dimuat di Jawa Pos (2 Agustus 2oo9)

Tidak ada komentar: