Minggu, 23 Agustus 2009

Tragedi (Perempuan) Papua

Bandung Mawardi

Judul : Tanah Tabu
Penulis : Anindita S. Thayf
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetak : I, Mei 2009
Tebal : 240 Halaman

Papua tersuarakan dengan kata dan makna dalam novel Tanah Tabu anggitan Anindita S. Thayf yang memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008. Novel ini menjadi jalan imajinasi untuk ditempuhi pembaca dalam membaca dan menilai lakon Papua. Imajinasi Papua dibeberkan degan narasi-narasi apik dan impresif. Pengarang telah menunaikan hajat estetika dengan mengajukan novel Tanah Tabu sebagai risalah kaum perempuan menggugat diskriminasi, represi, depresi, dan agitasi.
Spirit pembebasan dan resistensi kultural-politik kentara jadi karakter substantif dalam 3 tokoh perempuan: Mabel, Mace, dan Leksi. Pembebasan dilakukan karena proses perubahan sosial, politik, dan kultural di Papua memaksa kaum perempuan dalam peran-peran pinggiran. Alienasi dan isolasi senagaj dilakukan oleh kaum lelaki terhadap perempuan sebagai tumbal dari perayaan superioritas maskulinitas dalam tegangan tradisi dan modernitas. Tanah Papua jadi ruang pergulatan intensif dengan pemunculan hero dan korban. Kaum lelaki ingin jadi hero sebagai taktik menutupi kelemahan atau kegagalan dalam melakoni hidup. Perempuan dijadikan korban dari arogansi kelelakian melalui laku politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Posisi pelemahan ini justru diresistensi kaum perempuan untuk menjadikan diri sebagai hero meski memberi taruhan harga diri dan nyawa.
* * *
Novel Tanah Tabu kental dengan refleksi atas diskriminasi kaum perempuan. Kondisi itu terjadi secara massif dan melahirkan bayang-bayang ketakutan dan kematian. Bapak sebagai representasi kuasa lelaki memberi gambaran horror pada si bocah perempuan Leksi. Tuturan Leksi ini jadi keluguan dan kelugasan gugatan terhadap dominasi lelaki: “Kubayangkan Bapak serupa sosok hantu yang pantang disebut, kecuali akan membuatmu celaka jika nekat. Bapakku mungkin saja seorang laki-laki yang mengerikan. Ataukah bukan manusia? Hii… Tak tahan, aku merinding sendiri.”
Kutipan getir ini merupakan bagian kecil dari perayaan gugatan Mabel dan Mace. Mabel ditinggalkan suami dengan alasan ketiadaan keseimbangan kompensasi harga diri heorisme lelaki di medan perang. Mace ditinggalkan suami karena risiko zaman atas nafsu hidup dalam duit tapi bukan spirit. Leksi lahir dan tumbuh dalam asuhan Mabel (nenek) dan Mace (ibu) dalam keterbatasan dan terobosan kemungkinan eksitensial secara ekonomi, sosial, politik, dan kultural. Nafas pemberontakan bertumbuh dalam diri tiga perempuan beda usia dan pengalaman.
Fakta perubahan di Papua memang berada dalam dilema. Kehadiran institusi birokrasi, pendidikan, partai politik, dan perusahaan dimaksudkan memberi kesadaran atau pencerahan meski kadang bertentangan dengan kearifan lokal di Papua. Operasionalisasi institusi-institusi itu justru menciptakan celah-celah kebangkrutan untuk kaum perempuan. Sektor pendidikan memang memiliki kemungkinan bagi kaum perempuan melek aksara dan harga diri. Sektor ekonomi industri pertambangan memang memberi godaan uang tapi salah ditafsirkan oleh kaum lelaki sebagai sebab untuk hidup konsumtif dan menindas kaum perempuan. Duit jadi janji kenikmatan dalam bentuk minuman keras dan seks. Risiko tragis lalu dialami oleh sektor pertanian karena mengalami kebangkrutan oleh kuasa dan limbah industri.
Kaum perempuan tak mendapati jaminan ekonomi dari perubahan represif melalui industri pertambangan. Mereka malah jadi korban mengenaskan dari ulah kaum lelaki. Hak untuk dapur terabaikan dan pola konsumsi kaum lelaki membuat perempuan jadi sasaran kekerasan dan pemiskinan. Keluarga-keluarga jadi retak dan pecah. Istri dan anak ditinggalkan tanpa ada kompensasi. Kondisi ini membuat kaum perempuan dalam jerat-jerat penderitaan, kemiskinan, dan kematian.
Model pengajaran spirit pembebasan dilakukan oleh Mace pada Leksi mengenai kasus pernikahan. Pernikahan adalah permainan yang berlangsung setiap hari dengan aturan-aturan diskriminatif. Mace memperingatkan agar Leksi tak terjerumus dalam fantasi pernikahan karena bakal ada risiko getir. Penjelasan dalam konteks permainan seperti jadi analogi sugestif untuk mengajarkan pemikiran kritis terhadap kaum lelaki. Leksi dengan angan bocah mengatakan: “Menikah itu ternyata susah. Lebih susah dari bersekolah. Tidak libur pada hari Minggu dan tanggal merah.”
Tindakan diskriminasi dan kekerasan oleh kaum lelaki dengan dalih ekonomi, seks, politik, atau kultural jadi wajah getir dalam novel Tanah Tabu. Kehidupan kaum perempuan terus dibayangi oleh ancaman dan tragedi. Perempuan jadi objek kekalahan menghadapi pelbagai perubahan. Papua sebagai tanah tabu mendapati godaan-godaan tanpa memiliki janji indah sebagai ruang hidup. Papua seperti perempuan yang diperkosa oleh para politikus dan pemilik modal. Janji-jani palsu membuat Papua bangkrut sebagai tanah emas. Kemiskinan dan derita justru disemaikan untuk membuat orang-orang Papua terpuruk karena kearifan lokal direcoki dengan kemajuan pembangunan tak humanis.
* * *
Kaum perempuan adalah korban mengenaskan. Eksistensi mereka seperti barang atau rongsokan. Kaum perempuan mesti menanggung aib dari tindak perkosaan terhadap Papua. Fakta ini jadi acuan untuk kritik dan satire dalam novel Tanah Tabu. Mabel memberi ajaran pada perempuan sebagai istri: “Kalau kau seorang yang ingin senantiasa menyenangkan suamimu, lebih baik tanggalkan dulu perasaanmu dalam lemari dapur. Kecuali kau ingin hatimu terus-menerus menangis karena perlakuannya yang seolah-olah lupa bahwa kau juga manusiaseperti dirinya.”
Takdir penderitaan seperti jadi milik Papua dan kaum perempuan Papua. Konflik kepentingan terus jadi lakon besar tanpa epilog. Papua jadi dalih untuk rebutan kekuasaan dan uang. Partai politik dan perusahaan-perusahaan besar merayu dengan tawa kecut. Papua menjadi komoditas untuk dikriminasi dengan menarik keuntungan di atas derita, tangis, kemiskinan, dan kebangkrutan. Kaum perempuan terus mendapati luka yang susah sembuh tapi tak gentar melakukan perlawanan meski rentan kalah oleh mesin politik, operasi militer, dan agitasi para pemilik modal. Luka juga diimbuhi oleh kaum lelaki karena salah tafsir dengan makna kemajuan atau pembangunan. Kehadiran kaum pendatang memberi efek-efek perubahan yang kerap harmonis dengan kultur Papua. Perbedaan dan konflik pun memberi luka di atas luka.
Novel Tanah Tabu mengingatkan pembaca terhadap derita kaum perempuan di Papua. Biografi Papua tak sepi dari perkosaan nilai-nilai kemanusiaan. Kaum perempuan dipaksa khusuk dengan tragedi tanpa hak-hak pembelaan. Papua telah jadi lahan subur untuk permainan politik dan ekonomi dengan mengorbankan keperawanan dan kearifan lokal. Kaum perempuan pun jadi objek dari tumpukkan kekerasan dan kemiskinan. Novel Tanah Tabu adalah tanda seru dan tanda tanya untuk semua pihak untuk memerkarakan Papua yang mesti bebas dari derita dan tragedi. Begitu.

Dimuat di Media Indonesia (18 Juli 2oo9)

Tidak ada komentar: