Bandung Mawardi
Universitas masih jadi tema belum selesai dalam persimpangan dari wacana intelektual sampai wacana kapitalisme. Perdebatan sengit tentang peran universitas memang terus digulirkan untuk mencari-menemukan formula konstruktif di antara godaan modal dan penjelmaan mesin pencetak tenaga kerja. Optimisme dan pesimisme terhadap peran universitas jadi menu perbincangan tanpa ada peta dan kompas. Tema universitas lalu jadi genit dan menggemaskan.
Universitas sebagai ruang publik kentara kehilangan fungsi karena penerapan pelbagai kebijkan dari internal dan penguasa secara politis. Universitas seperti jadi lahan untuk pertarungan kepentingan tapi kerap mengabaikan kaidah-kaidah keintelektualan sebagai basis pembentukan peradaban negeri. Vonis mengenai universitas sebagai pabrik atau pelayanan publik dengan transaksi ekonomi pun merebak di publik. Persepsi negatif ini merepresentasikan kegundahan publik tanpa ada gelagat dari pelbagai pihak untuk melakukan pembenahan universitas.
Mahasiswa sebagai komponen universitas juga mengalami peredupan gairah dalam menempuh studi dan mengonstruksi diri sebagai sosok inteligensia. Kerepotan mekanisme dalam pembentukan diri tentu dipengaruhi oleh sistem dan konsep dalam operasionalisasi universitas mulai dari kurikulum sampai pendanaan. Kebangkrutan universitas untuk jadi ruang persemaian inteligensia menjadi ironi dan getir. Mahasiswa mengalami penundukkan atau mengafirmasi pelbagai model pelemahan studi kritis dan mekanisme menjadi kontributor dalam menggerakkan tubuh dan ruh Indonesia.
Arief Budiman dalam esai Peranan Mahasiswa sebagai Inteligensia (1976) sudah memberi peringatan kritis bahwa ada gejala penurunan peran mahasiswa sebagai akibat dari kegagalan meresepsi model pendidikan di universitas secara produktif dan partisipatif. Mahasiswa sengaja masuk dalam desain pembangunan sebagai misi rezim dengan mengabaikan hak-hak untuk menjadi inteligensia. Keterlibatan mahasiswa dalam ranah intelektual, sosial, kultural, ekonomi, dan politik mengalami kelemahan karena rezim menerapkan ideologi tanpa interupsi. Mahasiswa diarahkan dalam kemanjaan dan model pendidikan konsumtif. Keberhasilan ideologi pendidikan ini mengakibatkan sarjana-sarjana keluaran universitas mengalami kelumpuhan dan kelinglungan paradigmatik.
Narasi mahasiwa pada hari ini mengarah pada tuduhan-tuduhan miring. Kasus di sekian perguruan tinggi di Solo menunjukkan bahwa peningkatan jumlah mahasiswa tak berimbang dengan ketersediaan tenaga pengajar, fasilitas, buku, ruang, atau program. Pandangan ironis adalah kegandrungan pengelola universitas untuk lebih mengurusi dandanan wajah dan tampilan fisik universitas. Pembangunan gedung, pagar, atau kantor justru diprioritaskan tanpa ada rasa sungkan. Hala mengejutkan adalah ada universitas malah repot mau membangun lahan parkir dua lantai demi meladeni peningkatan jumlah populasi kendaraan para mahasiswa.
Parkir adalah satire universitas pada hari ini. Mahasiswa identik dengan kendaraan dan parkir tapi tidak dengan buku dan perpusatkaan. Perpustakaan malah kerap diabaikan dalam pengurusan ruang dan pengadaan buku. Kultur konsumtif juga ditebarkan di dalam dan luar universitas. Menikmati pemandangan di 2 universitas besar di Solo seperti memandang keriuhan warung makan, tempat main game, kafe, toko pakaian, atau tempat tonkrongan. Mahasiswa gairah hadir di ruang-ruang konsumsi sebagai imbuhan model konsumsi dalam pengajaran. Ironi ini tiada henti.
Genealogi mahasiswa sebagai inteligensia dan universitas sebagai ruang publik dalam pembentukan peradaban di Indonesia secara kritis didedahkan oleh Daniel Dhakidae dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan (2003) dan Yudi Latif dalam buku Inteligensia Muslim dan Kuasa (2005). Dua studi itu dengan eksplisit mengisahkan peran universitas sebagai ruang publik produktif dan konstruktif. Mahasiswa hadir dalam ruang publik itu untuk menggembleng diri dan mengonstruksi diri sebagai motor atau lokomotif perubahan. Fakata historis itu mulai berubah karena mahasiswa sekarang kerap menempati posisi di gerbong-gerbong atas nama ekonomi kapitalistik atau birokrasi-kekuasaan. Mahasiswa terus kehilangan modal intelektual dan tunduk oleh modal kapital.
Populasi mahasiswa memang besar tapi tidak jadi jaminan secara kualitatif. Prosedur untuk jadi mahasiswa sekarang juga mulai diimbuhi oleh dalil-dalil modal uang ketimbang kapasitas keintelektualan. Prosedur ini melahirkan risiko kemunculan mahasiswa dalam jerat-jerat kepentingan pragmatisme. Kesadaran intelektual tergantikan dengan motif mendapatkan titel dan perebutan pekerjaan. Kondisi ini tragis tapi belum menjadi tema krusial oleh pihak-pihak pengampun kepentingan dalam dunia pendidikan. Universitas pun seperti pelayanan publik dengan kompensasi uang dan hasil. Universitas sebagai ruang publik mulai surut karena tidak ada model-model pendidikan emansipatif dan konstruktif.
Tragedi dalam dunia pendidikan dengan kasus universitas membuktikan keteledoran untuk mengurusi Indonesia mengacu pada basis pendidikan. Tragedi ini menyakitkan meski belum ada pengajuan solusi. Keprihatinan atas dunia pendidikan (universitas) secara eksplisit diwartakan oleh ST. Sunardi dalam Tahta Berkaki Tiga (2005). Risalah tipis dan reflektif ini jadi tanda seru untuk niat dan ikhtiar perubahan atas nasib pendidikan di Indonesia. Peran substantif universitas adalah mempersiapkan orang-orang untuk memiliki kepemimpinan intelektual dan moral. Peran ini mulai meredup karena ada kesengajaan dari pelbagai pihak untuk menjadikan universitas sebagai institusi dengan terapan industri dengan dalih-dalih laba atau pemenuhan mencetak tenaga kerja. Peran universitas pada hari ini patut mendapati pertanyaan dan gugatan dari siapa saja sebelum menjelma pabrik sarjana. Begitu.
Dimuat di Suara Merdeka (18 Juli 2oo9)
Minggu, 23 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar