Bandung Mawardi
Pengarang, kritikus, dan penikmat satra Jawa bertemu di Nglaran, Cakul, Dongko, Trenggalek, Jawa Timur pada 4 – 5 Agustus 2009 dengan pertaruhan nasib dan impian. Festival Sastra Jawa dan Desa jadi peristiwa ngudarasa untuk mengumpulkan kembali perkara-perkara klise mengenai ratapan dan nasib sastra Jawa hari ini. Pola ngudarasa memberi kelonggaran pada para pengarang untuk membeberkan pelbagai impian dan kisah-kisah sedih dalam menggeluti sastra Jawa. Inventarisasi ratapan, keluhan, impian, atau nostalgia justru jadi ruh tapi cenderung mengabaikan agenda memerkarakan sastra Jawa secara substansial pada teks dan kerja kreatif.
Festival Sastra Jawa dan Desa mungkin sengaja ingin menjadi argumentasi untuk mengingatkan pada publik tentang fakta marginalisasi dan alienasi wacana sastra Jawa dan wacana desa. Sastra Jawa dan desa masuk dalam wacana integratif dan afirmasi atas nasib tragis. Ikhtiar menemukan kembali spirit sastra Jawa dan desa dibuktikan dengan idiom-idiom memelas tapi provokatif. Kalimat provokatif sengaja ditampilkan dalam bentangan kain panjang untuk menggugah atau meminta perhatian: “Ketika budaya Jawa digempur habis-habisan di mana sastra Jawa?” Kalimat ini eksplisit menjadi tumpukkan tanya dan gelisah terhadap budaya dan sastra Jawa. Kalimat provokatif juga mengarah pada posisi pengarang: “Ketika budaya Jawa digempur habis-habisan di mana sastrawan Jawa? Pertanyaan ini tampak jadi gugatan terhadap partisipasi dan kontribusi pengarang dalam sastra dan budaya Jawa.
Penulis mencatat dan memikirkan kalimat itu dengan kontradiksi-kontradiksi ketika membuktikan dalam rentetan acara selama dua hari. Penulis mafhum bahwa tumpukan tanya, gelisah, dan gugatan itu malah mengesankan keminderan, rendah diri (inferiorisasi), dan pengharapan tanpa juru selamat. Budaya Jawa memang kentara menderita kekalahan karena kelemaha untuk menetapi kodrat perubahan dan tunduk oleh kuasa negara dan pasar. Keimanan atas budaya Jawa adiluhung mengalami keruntuhan. Ikhtiar menjaga atau melestarikan jadi agenda krusial tanpa jalan keluar.
Jawa adiluhung disemaikan dengan pola-pola lawas dan pemujaan masa lalu. Gejala ini mungkin jadi pengesahan atas kemacetan dan ketakutan untuk transformasi budaya Jawa. Kodrat perubahan sejak lama tidak tampak karena tarikan narasi Jawa masa lalu terus jadi nostalgia melenakan. Keengganan atau kelambanan untuk perubahan membuat budaya Jawa nyaris seperti monumen atau museum sebagai referensi nostalgia. Risiko dari nasib apes ini adalah kelungkrahan sastra Jawa. Pengarang-pengarang sastra Jawa pun dihinggapi oleh iman estetis bahwa sastra Jawa mesti tetap hidup dengan acuan klasik dan wacana-wacana klise.
Dilema
Ngudarasa sastra Jawa menghadirkan pelbagai tanya tragis dan pesimis mengenai gerakan untuk menghidupi sastra Jawa. Jawaban-jawaban muncul tanpa optimisme dan rumusan gagasan-gagasan konstruktif. Jawaban kerap mengarah pada pemunculan kesalahan-kesalahan pelbagai pihak dan keinginan mendapati hak-hak pada pemerintah atau publik pembaca sastra Jawa.
Keinginan mengusung kembali sastra Jawa sebagai sastra pagelaran mungkin realistis pada acuan masa lalu tapi rentan kalah pada hari ini karena peradaban televisi dan internet. Sastra pagelaran mungkin bisa dirayakan dalam keterbatasan kehadiran dan apresiasi publik pendukung. Pilihan jawaban sastra pagelaran ini mengesankan pada fragmen masa lalu ketika sastra masih jadi spirit hidup dalam tradisi lisan.
Keinginan untuk publikasi buku dan distribusi populis pada publik pembaca juga mengandung jawaban lumayan realistis. Nasib sastra Jawa sampai hari ini memang masih kerasan di majalah dan koran. Kondisi ini kadang dijadikan bukti bawah sastra Jawa kurang memiliki kekuatan di pasar dalam memberi menu-menu cerkak, geguritan, atau novel pada pembaca. Sastra Jawa dalam bentuk buku ingin dijadikan strategi untuk mendapati perhatian dan apresiasi publik. Bayangan masa lalu ketika sastra Jawa ikut andil dalam pasar buku pun jadi imbuhan untuk gerakan menerbitkan buku sastra Jawa pada hari ini. Gerakan ini juga masih menyimpan masalah dalam dana dan pembaca.
Keinginan itu ternyata dihadapkan pada dilema: pengarang sastra Jawa telah meninggalkan pembaca dan pembaca telah meninggalkan sastra Jawa. Gejala sastra Jawa sebagai sastra klangenan atau sastra kaum tua masih terasakan dan mungkin sudah jadi “kutukan”. Teks-teks sastra dari pengarang juga masih suntuk dengan tema-tema lawas terkait dengan bumbu percintaan, detektif, kriminalitas, mistik, atau alam lelembut. Suguhan teks dengan wacana-wacana lama jadi bukti bahwa pengarang kurang peka untuk memberi kelegaan pada pembaca sesuai dengan fakta-fakta perubahan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Pembaca sastra Jawa secara kuantitatif memang kecil meski memiliki militansi dan loyalitas. Pembaca sastra Jawa memiliki pamrih-pamrih terhadap kehadiran buku sastra Jawa. Kondisi hari menjadi godaan mengenai wacana dan praktik hidup karena kuasa globalisasi. Pembaca membutuhkan kontekstualisasi dan suguhan-suguhan kontributif dari sastra Jawa. Kebutuhan ini jarang terpenuhi oleh kerja kreatif pengarang sastra Jawa. Hal ini jadi alasan untuk pembaca meninggalkan atau tak memiliki selera terhadap buku-buku sastra Jawa. Dilema antara pengarang dan pembaca masih susah diselesaikan dengan perbedaan ideologi dan pamrih.
Senjakala Sastra Jawa?
Festival Sastra Jawa dan Desa menjelma perayaan kecil tapi militan. Kehadiran para pengarang dari pelbagai kota di Jawa membuktikan militansi terhadap kehidupan sastra Jawa. Militansi ini mengesankan tapi kurang memiliki heroisme untuk memerkarakan sastra Jawa secara visioner dan dilambari dengan optimisme. Heroisme dibutuhkan dalam bentuk kerja kreatif melahirkan teks sastra. Sensibilitas terhadap kodrat perubahan jadi tantangan untuk menjalin komunikasi dengan pembaca dalam dilektika wacana dalam sastra Jawa. Militansi para pengarang untuk sastra Jawa mesti diterjemahkan sebagai argumentasi menyemaikan spirit budaya Jawa tanpa tunduk dengan pembakuan dan pembekuan dengan kehadiran teks-teks sastra Jawa.
Sastra Jawa dalam ngudarasa para pengarang masih memiliki hak hidup. Sastra Jawa memang bisa hidup tapi rentan dengan godaan birokratisasi dan kebimbangan. Kehadiran dan kehidupan sastra Jawa sampai hari mengesankan masih ada gejala birokratisasi karena pemberlakuan peraturan pengajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah. Penerbitan dan pelaksanaan acara sastra Jawa juga kerap dilakukan dengan sokongan dinas-dinas pemerintahan. Kehidupan sastra Jawa dalam pola birokratisasi ini memang kerap dimaklumi tapi tanpa sadar bakal mengantarkan sastra Jawa pada kecanduan dan pesimisme.
Heroisme pengarang bisa jadi bukti keberlangsungan sastra Jawa ketika ada optimisme dan memiliki spirit pembebasan dari nostalgia. Kesadaran tema mesti diujikan pada publik pembaca dengan kesadaran terhadap fakta-fakta perubahan dalam tegangan tradisionalitas dan modernitas. Kebangkrutan sastra Jawa selama ini memang kentara pada garapan tema dan dialektika wacana. Kebangkrutan ini jadi tanda tanya untuk para pengarang sastra Jawa mengajukan jawaban. Kehadiran teks-teks sastra Jawa dengan progresivitas tematik dan wacana tentu bisa jadi bantahan terhadap tuduhan-tuduhan keras dari para tukang kritik sastra Jawa: sastra Jawa sekarat, sastra Jawa bangkrut, senjakala sastra Jawa, atau sastra Jawa bunuh diri. Begitukah?
Dimuat di Suara Merdeka (9 Agustus 2oo9)
Minggu, 23 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar