Bandung Mawardi
Tua adalah kodrat manusia. Lakon tua mengandung akumulasi dari pelbagai luka, duka, tangis, dan tawa. Sejarah telah diciptakan dan menjadi kisah untuk anak dan cucu. Biografi hidup menjadi modal untuk masih merasa memiliki kesanggupan memberi makna pada hidup. Lakon manusia tua adalah kodrat untuk bisa memberi pada dunia dan manusia.
Mbah Jinah telah 70-an tahun. Biografi panjang telah dirumuskan dan disimpan sebagai memori atau nostalgia. Masa kecil masih bisa diingat meski tak utuh. Masa menjadi remaja masih kuat tersimpan dalam memori. Masa menjadi seorang istri dan ibu adalah masa pertarungan sebagai manusia dalam pertanyaan-pertanyaan pelik. Masa-masa itu ternyata mayoritas adalah biografi kemiskinan. Kemiskinan dijalani Mbah Jinah dengan tabah. Sikap ini seperti menggaungkan ungkapan Nietzsche: amor fati (aku tidak sekadar menerima derita tapi aku telah menerima dan mencitai derita itu).
Kemiskinan bukan kutukan. Mbah Jinah percaya kemiskinan adalah pertanyaan besar untuk menguji manusia dalam menikmati atau meratapi hidup. Keterbatasan atau ketidakmampuan memiliki sesuatu justru jadi ingatan terhadap kekuatan manusia dan kehendak Tuhan. Sekian peran dijalani Mbah Jinah dengan antusias: buruh tani, bakul pasar, bakul sego jenang, bakul gorengan, dan bakul beras. Pekerjaan-pekerjaan itu memiliki arti penting untuk menghidupi 7 anak. Gaji suami sebagai buruh bangunan tak mencukupi untuk pelbagai kebutuhan.
Kenangan-kenangan itu sekarang mengalir sebagai cerita untuk anak dan cucu. Cerita kemiskinan Mbah Jinah mungkin kalah dramatis jika dibandingkan dengan kelihaian pembuat acara-acara televisi tentang kemiskinan. Mbah Jinah tak pernah sekolah tapi mengerti hitungan uang. Kapasitas kata dan imajinasi memang naif tapi bisa dikomunikasikan. Hal ini kerap membuat cerita Mbah Jinah sekadar sebagai tuturan kurang memikat. Publik sekarang mulai disihir oleh program televisi dalam mengisahkan orang miskin dengan suntikan manipulasi dan eksploitasi. Kemiskinan seperti jadi tontonan untuk hiburan para penonton televisi. Ironis!
Mbah Jinah lega bahwa ikhtiar menyekolahkan anak telah terlunaskan. Empat orang bisa meraih gelar sarjana dan 3 orang lulus SMA. Pencapaian ini jadi pemberi arti dari lelah dan tangisan. Mbah Jinah kerap menjelaskan proses panjang itu adalah berkah dari Tuhan. Doa dan ikhtiar jadi acuan. Usia tua membuktikan kerja keras sebagai manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari ekonomi sampai religi. Kemiskinan tidak bisa membuat Mbah Jinah putus asa.
Mbah Jinah dengan kalem menyebutkan lakon kecil tentang keberhasilan anak-anak dalam sekolah: “Mereka sering makan dengan sayur tuntut dan karak. Kalau sekolah tidak dijatah uang saku. Mereka mau membantu dengan jadi buruh atau jualan untuk tambah bayar sekolah. Anak-anakku tidak suka menuntut untuk masalah pakaian, sepeda, hiburan, atau makanan.” Tuturan Mbah Jinah mungkin bisa berlaku dalam konteks zaman lampau. Mungkinkah itu bisa dijalani hari ini?
Anak sekolah sekarang jadi beban berat. Asumsi ini muncul karena anak hadir dalam godaan-godaan materialistik. Anak mau sekolah karena uang saku, HP, sepeda motor, pakaian bagus, dan lain-lain. Tuntutan-tuntutan jadi bahasa umum untuk anak-anak zaman sekarang. Lakon ini tentu mengecualikan pada anak-anak miskin. Mbah Jinah jadi kaget melihat kondisi mutakhir karena rumus hidup terletak pada duit dan mengabaikan spirit. Sekolah itu duit? Mbah Jinah mafhum kalau orang-orang sekarang kehilangan spirit sebagai lambaran hidup. Spirit itu adalah keimanan dan optimisme secara lahir dan batin. Agama orang-orang sekarang adalah duit. Kritik ini mirip dengan celotehan Voltaire: “Siapa saja bakal sama agamanya kalau melihat dan kecanduan duit.” Celotehan ini muncul pada masa benih-benih kapitalisme disemaikan di Eropa pada abad XVII.
Mbah Jinah tidak masu suntuk mengurusi masalah-masalah mutakhir. Mbah Jinah butuh ketenangan untuk memikirkan dan mengimajinasikan akhirat. Ibadah mendapati porsi besar dan amal jadi kesadaran naluriah. Semua anak sudah kerja dan memberi jatah belanja tiap bulan. Mbah Jinah tidak perlu repot lagi bekerja. Urusan sekarang adalah mencurahkan kasih pada 16 cucu. Mbah Jinah sadar anak-anak bukanlah investasi atau tabungan secara materialistik untuk dipanen di masa tertentu. Anak adalah amanah dan berkah.
Kisah Mbah Jinah adalah representasi dari nasib-nasib manusia tua. Mbah Jinah masih beruntung. Sekian nenek dan kakek lain masih harus sibuk mencari uang untuk hidup. Mereka kadang terus mendapat ancaman dari anak untuk lekas membagi warisan. Mereka juga masih kerap dituntut untuk memberi jatah uang pada anak dan cucu. Kemiskinan dilakoni tiada henti. Kemiskinan mungkin selesai dengan kematian.
Manusia menjadi tua untuk lekas sadar dengan daerah perbatasan: dunia sini dan dunia sana. Hidup di dunia mau rampung. Hidup dalam kondisi lain bakal ditempuhi. Mbah Jinah sadar dan khusuk dalam ibadah untuk meminta berkah Tuhan. Kemiskinan memang belum usai tapi kepasrahan dengan optimisme dalam melakoni hidup telah diujikan.
Mbah Jinah tak lelah menuturkan biografi diri pada siapa saja sebelum tamat. Mbah Jinah tak malu jika model pengisahan itu telah disaingi oleh televisi dan internet. Mbah Jinah selalu sadar bahwa sepi hadir menjelang malam sebab orang-orang sekarang berkerumun di depan televisi. Mereka lebih gandrung dengan biografi artis dan politikus. Biografi perempuan tua mungkin lekas terlupakan? Barangkali petuah-petuah Mbah Jinah sudah tak mengandung tuah? Begitukah? Hormatilah Mbah Jinah!
Dimuat di Suara Merdeka (2 Agustus 2oo9)
Minggu, 23 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar