Minggu, 23 Agustus 2009

Solo Tempo Dulu, Sebuah Kesaksian

Heri Priyatmoko


Lelaki keriput yang berusia 86 tahun itu bernama KRT Soemarso Pontjo Soetjitro. Meski fisik tidak bisa lagi dikatakan gagah, namun ingatan tentang masa lalu Solo, seperti kamus berjalan. Beliau yang kini masih tekun bekerja mengalih aksara di Pura Mangkunegaran ini membuat terpana puluhan peserta seminar ”Solo Mencari Jati Diri” yang digelar oleh Kelompok Studi Perkotaan Balai Soedjatmoko beberapa waktu lalu. Soemarso berhasil menyihir dan membawa imajinasi historis peserta untuk menerawang jauh kondisi Solo 1930-1950-an. Terkadang disisipi cerita jenaka sehingga membikin peserta tertawa lepas di ruang kecil itu.
Keluwesan Soemarso dalam bertutur bukan saja disebabkan dia saksi sejarah kota dan seringnya bergumul dengan arsip kuno, tetapi lebih karena ia orang biasa, bukan tokoh penting. Bicaranya polos layaknya bagaimana wong cilik tempo dulu betul-betul ”merasakan” kota. Berdasarkan pengkisahan lisan Soemarso, terbuka gambaran sejarah Solo sebagai kota yang permai dan penuh kedamaian. Solo pada riwayatnya merupakan kota yang cantik, sejuk serta multietnis. Berderet pepohonan di pinggir jalan membuat betah para pejalan kaki di kala siang hari, walaupun sudah ada trem jurusan Sangkrah-Boyolali melewati kota sebanyak lima kali dalam sehari.
Pada malam hari, dari pukul delapan hingga dua belas malam, Soemarso menyusuri kampung-kampung di tengah kota mendengar orang yang sedang nembang macapat (menyanyi lagu Jawa). Ketentraman hati pun didapat. Tempat nongkrong Soemarso yang rutin dikunjungi adalah taman di utara Pasar Legi. Sebuah taman yang kini telah hilang tergusur oleh bangunan Ratu Luwes. Di situlah warga mencari hiburan seperti menikmati wedang petruk atau sekadar merasakan tusukan angin malam.
Cara berjualan wedang petruk hampir sama dengan hik (hidangan istimewa kampung) yang menggunakan angkringan. Hanya saja, wedang petruk ditutupi kain mori yang bergambar petruk. Kemudian penjualan jenis minuman banyak ragam misalnya jahe, kopi, teh, wedang jemui (minuman kopi diberi jahe), serta menyediakan pula panganan kecil atau cemilan. Dari tempat tersebut, Soemarso menyaksikan keriuhan pedagang atau bakul Pasar Legi yang sibuk menyiapkan dagangan. Pemasok barang berasal dari berbagai kota, sehingga banyak dari mereka yang datang ke pasar sehari sebelum hari pasaran pasar dan menginap di pasar.
Karena wedang petruk biasa tutup menjelang azan Subuh, maka pedagang maupun pemasok di Pasar Legi tak kesulitan mencari makanan pengganjal perut. Itu kondisi di Kampung Lor (sebutan wilayah Mangkunegaran).
Di Kampung Kidul (wilayah Kasunanan), hiburan rakyat terpusat di Kebon Rojo (Taman Sriwedari). Soemarso kerap diajak ke Kebon Rojo oleh kakeknya, Kanjeng Tumenggung Purwopradoto, seorang jaksa di era Paku Buwono X. Dia nonton wayang orang, dan tokoh yang disukai, yaitu Sastro Dinomo yang memainkan peran sebagai petruk. Loket masuk gedung wayang dijaga orang Ambon. Mereka mendapat julukan Londho Ambon lantaran menjadi anak emas pemerintah kolonial Belanda di Solo. Sehari-harinya mereka bekerja sebagai tentara KNIL.
Gajah Gemuk
Anak-anak kecil sebaya Soemarso takutnya bukan main, sebab bakal dipukul kenut kalau berani mbludus (masuk tanpa bayar). Selain itu, masyarakat di Kebon Rojo senang melihat gajah yang gemuk. Saat malam tiba, warga menikmati hik Jagalan yang sohor dengan jenis panganan yang aneka rupa, seperti lauk pauk matang, berbagai jenis jajanan pasar, kue, dan gorengan. Tak hanya orang pribumi yang berekreasi, para sinyo keturunan Belanda-Jawa yang bermukim di Loji Wetan dan Villapark (Banjarsari) pun menikmati suguhan bioscoop di kompleks Kebon Rojo. Sinyo ber-flaneur atau jalan-jalan menyusuri kota, menenggelamkan dirinya ke dalam hiburan elite.
Stratifikasi sosial memang ada, tapi kedamaian kota terpelihara. Suasana Solo di tahun-tahun itu selalu regeng (ramai) dan santai. Karena itu, wajar jika orang-orang sepuh dulu berkata grayak-grayak wose tumindak, alon-alon waton kelakon. Mereka tiada perlu terburu-buru dalam bertindak dan berkejaran dengan waktu. Pasalnya, pertumbuhan kota pelan dan rakyat bisa mengikuti, tidak seperti sekarang yang justru kota menggilas penghuninya. Tahun 1981, Soemarso mulai kapok berjalan-jalan lantaran dihadang oleh pemabuk yang sedang minum di pinggir jalan. Beda dengan dulu: orang mabuk di dalam kampung dan tidak mau bertindak jahat. Mereka minum cukup sambil nembang dan rengeng-rengeng (menyanyi pelan).
Sejarah lisan
Cerita Soemarso bukan sekadar pengantar tidur atau nostalgia belaka. Mungkin ada sebagian sejarawan sepaham dengan pemikiran Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbone, Paris, Perancis. Tidak ada yang bisa menggantikan fungsi sumber tertulis untuk melakukan rekontsruksi masa lampau. Lahirlah adagium no documents, no history (tidak ada sumber tertulis, tidak ada sejarah). Akan tetapi, sejarah lisan dari hasil pengisahan Soemarso ini jelas-jelas telah membuka mata serta hati kita bahwa Kota Solo sekarang sudah terperosok jauh. Tidak hanya tata guna lahan yang amburadul, tapi juga napas, jiwa, dan kehidupan lokal yang spesifik dalam bangunan dan lingkungan binaannya tercerai-berai. Kota, ruang, menjadi alat pertumbuhan saja.
Pengamatan JJ Rizal (2004) benar, bahwa ini berakibat pada masyarakatnya kecolongan kesempatan untuk menikmati kota yang tujuan sejatinya adalah sebagai permukiman manusia. Soemarso lewat kesaksiannya ini telah menyalakan alarm peringatan bagi kita semua bahwa di bawah kendali rezim greedy dengan perencanaan dan program yang arogan, Solo telah dipacu lari ke arah yang salah. Oleh karena itu, mau tak mau kita termangut setuju dengan pernyataan pakar filsafat timur, Laura Romano bahwa Solo kehilangan roh dan jati diri.

Dimuat di Suara Merdeka, 10 Agustus 2009

Makna dan Pergeseran Makna Alun-alun

Heri Priyatmoko


Kompas Jateng (25 Juli 2009) menghidangkan ulasan yang cukup menarik mengenai alun-alun di beberapa kota di Jawa Tengah. Dengan ulasan ini, Kompas telah menyalakan alarm peringatan kepada pejabat daerah bahwa alun-alun merupakan ruang interaksi sosial dan bagian dari benda cagar budaya, maka tak boleh dipoles sembarangan.
Ketidakpahaman atas fungsi dan makna historis alun-alun dalam kesatuan tata ruang arsitektur kota Jawa ialah pangkal persoalan mengapa banyak pejabat daerah yang memperindah tampilan wajah alun-alun, tetapi sebenarnya justru merusak dan berimbas pada tercerabutnya roh alun-alun.
Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa (2008), menjelaskan betapa pentingnya alun-alun karena menyangkut beberapa aspek. Pertama, alun-alun melambangkan ditegakkannya suatu sistem kekuasaan atas suatu wilayah tertentu, sekaligus menggambarkan tujuan dari harmonisasi antara dunia nyata (mikrokosmos) dan universum (makrokosmos). Kedua, berfungsi sebagai tempat perayaan ritual atau keagamaan. Ketiga, tempat mempertunjukkan kekuasaan militer yang bersifat profan dan merupakan instrumen kekuasaan dalam mempraktekkan kekuasaan sakral dari sang penguasa.
Dari sinilah kita pahami makna sejatinya alun-alun yang bukan sekadar maujud tanah lapang saja. Karena itu, perusakan dan penyalahgunaan alun-alun dewasa ini mencerminkan terjadinya proses deregenerasi budaya Jawa dan sekaligus suatu kerugian yang tidak dapat dibayar bagi usaha kita untuk mengerti sejarah Kota Jawa khususnya dan budaya Jawa pada umumnya.
Alun-alun di Solo juga mengalami degradasi nilai filosofisnya. Betapa tidak, alun-alun utara bukan lagi ruang terbuka yang diperuntukkan bagi siapa saja atau tempat “parkir” manusia atau dikenal sebagai “a psychological parking space”. Pagar besi berwarna biru yang dipasang melingkar telah meruntuhkan kedekatan (psikologi) warga dengan alun-alun sebagai tempat umum. Artinya, ada pergeseran dari ruang publik menjadi ruang privat.
Lebih ironisnya lagi, alun-alun selatan (alkid) yang menyatu dengan kampung kuno seperti Gajahan dan Gurawan, pernah dipakai ajang prostitusi. Bahkan, lokasi ini oleh masyarakat lebih dipandang sebagai ”area hitam” bukan kawasan historis. Ingat, para pewaris Kerajaan Mataram Islam telah kehilangan alun-alunnya yaitu Kota Gede, Plered dan Kartasura. Alun-alun itu kini hanya bisa dikenali lewat toponimi.
Dengan kenyataan ini, pemkot maupun pembesar keraton semestinya memiliki motivasi untuk mempertahankan warisan budaya (cultural heritage) dan menjamin terwujudnya atau terpeliharanya tata ruang kota Jawa yang khas bahwa alun-alun merupakan bentuk peninggalan memiliki nilai atau daya tarik yang semestinya dipertahankan.

Dimuat di Kompas Jateng, 11 Agustus 2009,

Homo Fabula

Bandung Mawardi

Ben Okri (1997) mengungkapkan bahwa menulis dalam sejarah peradaban manusia merupakan tindakan emansipatoris. Penulis tak lelah untuk mengisahkan apa saja sebagai manifestasi dan representasi lakon manusia. Ben Okri pun mengakui manusia adalah homo fabula (makhluk pengisah). Peran sebagai homo fabula membuat manusia sadar bahwa dunia ini rimbun oleh pelbagai kisah.
Homo fabula melahirkan kisah dengan sekian dalil dan pamrih. Peradaban-peradaban manusia di Asia, Eropa, Afrika, atau Amerika memiliki homo fabula sebagai tanda progresivitas dengan nostalgia dan utopia. Kisah-kisah kuno masih mendapati jalan pewarisan dan kisah-kisah untuk hari esok masih kiblat untuk lekas dikisahkan. Kisah-kisah abadi masih jadi referensi untuk membaca arus dan alur peradaban manusia dalam olahan fakta dan fiksi. Kisah-kisah pemula memang cenderung mitologis tapi mengandung tanda-tanda faktual atas lakon kehidupan manusia.
Manusia pengisah dalam menciptakan kisah memiliki anutan dan prosedur sesuai dengan latar mitologi, teologi, estetika, sosial, politik, ekonomi, dan kultural. Kisah-kisah ada menjelma sebagai realisasi dan representasi manusia untuk membaca diri, dunia, hidup, dan alam. Membaca membutuhkan jalan atau perantaraan. Kisah menempatkan diri untuk mengantarkan manusia pada ikhtiar mencari-menemukan makna dengan alegori, metafora, atau simbol. Kisah pun menemukan peran signifikan dalam pergulatan hidup manusia.
Kisah lahir dan bergerak dari dan untuk apa saja. Pelbagai hal mungkin diusung dalam kisah untuk orientasi pluralisitik. Manusia mungkin melakukan identifikasi dalam pelbagai konteks tafsir untuk menemukan relevansi kisah dengan laju zaman dan kompleksitas peristiwa hidup. Kisah tidak menjadi artefak. Kisah tak mati ketika ada keterlibatan manusia untuk masuk dan keluar dalam ambang batas dunia fakta-fiksi. Kisah selalu menjadi hidup dalam resepsi dan interpretasi.
Kisah adalah cerita tentang peristiwa atau riwayat dalam kehidupan manusia. Bagus Takwin (2007) mengungkapkan: “Setiap manusia adalah pembuat kisah yang di dalamnya ia jadip peran utama. Kisah itu bernama Diri, sebuah pusat aktivitas kesadaran sekaligus medan tempat pelbagai daya dari luar ikut menyumbang bagian cerita untuk melengkapinya. Dengan memahami kisah itu, kita dapat memahami bahwa diri setiap orang terhubung dengan diri orang lain. setiap orang dapat memahami dirinya melalui dan di dalam keterlibatan dengan orang lain.” Manusia adalah makhluk pembuat dan pembaca kisah.
Kisah tidak sekadar mencipta dan mengumbar fantasi atau imajinasi. Kisah itu memiliki awal dan akhir pada manusia. Kisah memiliki substansi atas nama manusia meski dalam narasi memunculkan perkara-perkara di luar diri manusia. Simbolisme dan imaji memiliki tarikan pada manusia sebagai pusat. Pernik-pernik atau instrumen dalam kisah menjadi bumbu dan ekpresi untuk pencapaian hasrat-hasrat manusia.
Kisah menemukan titi-titik sambungan dari masa lalu sampai hari ini. Kisah dalam kultur lisan dan tulisan adalah proses progresivitas dengan mengandung risiko. Tulisan sebagai realisasi dan representasi manusia memberi risiko untuk parameter peradaban modern. Risiko substansial adalah tulisan memberi reduksi dan godaan untuk pelemahan ingatan manusia. Tulisan menjelma dalam bentuk fisik sebagai acuan untuk ingatan. Mekanisme ingatan dalam tradisi lisan pun mengalami godaan. Kisah sebagai olahan fakta-fiksi pun menjadi pelik dan dilematis. Imajinasi jadi pertaruhan untuk melahirkan dan meresepsi kisah.
Kisah dalam peradaban tulis menjadi perayaan tanpa titik. Manusia menulis kisah dengan gairah: positif atau negatif. Perayaan itu mendapati dukungan dari teknologi dan sistem penerbitan modern. Kisah dalam bentuk tulisan pun menjadi tanda dari lakon manusia untuk pelbagai peristiwa dan perkara. Penerbitan kisah dalam peradaban modern ini melimpah dan susah untuk dikumpulkan dalam pola homogen. Heterogenitas dan pluralitas adalah takdir untuk perayaan kisah pada abad dan zaman modern.
Siapa saja pasti susah untuk melakukan pendataan utuh atas kelahiran dan publikasi kisah-kisah dalam bentuk puisi, novel, cerpen, atau drama. Gudang kisah tentu sesak untuk menampung totalitas kisah dari Leo Tolstoy, Agatha Cristie, Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisjahbana, Ernest Hemingway, Orhan Pamuk, Putu Wijaya, Marga T, Sartre, Lu Hsun, Tagore, Kahlil Gibran, Remy Sylado, Milan Kundera, James Joyce, Y.B. Mangunwijaya, Arswendo Atmowiloto, Kho Ping Ho, Suparto Broto, Goethe, Shakespeare, Umberto Eco, Nadjib Mahfoudz, Salman Rushdie, Coetzee, Naipul, Abdullah bin Abdulkadir Munsji, Ronggowarsito, Amy Tan, Seno Gumira Ajidarma, dan lain-lain. Kisah-kisah dari manusia pengisah itu ada untuk mendedahkan tentang manusia. Kisah-kisah itu selalu belum sampai pada tafsir paripurna.
Kisah-kisah itu memiliki nasib sendiri-sendiri. Pujian dan cacian jadi kelumrahan. Kontroversi pun tak luput memberi catatan untuk nasib kisah. Kontroversi muncul dengan pelbagai argumentasi dari teologi, politik, etnis, nasionalisme, ideologi, atau etika. Kontroversi itu menadakan bahwa manusia pun belum usai sebagai makhluk kontroversi. Pelarangan atas buku jadi kelumrahan. Fatwa mati atau hukuman untuk manusia pengisah jadi tradisi. Peringatan pada pembaca untuk tidak membaca jadi tanda seru atas pemasungan hak. Nasib kisah, manusia pengisah, dan pembaca jadi pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tak selesai.
Kisah-kisah dalam bentuk tulisan adalah sisi lain dari progresivitas peradaban modern. Kisah-kisah pun lahir dan dipublikasikan melalui medium teknologi modern. Film jadi medium kisah. Kaset jadi medium kisah. Radio dan televisi pun cerewet menghadirkan kisah. Pelbagai kisah mulai mencari-menemukan bentuk untuk realisasi dan representasi manusia. Kisah dalam bentuk tulisan mulai mendapati godaan dan ancaman.
Kehadiran pelbagai medium kisah memberi efek dan risiko. Kultur membaca perlahan mengalami reduksi karena umat manusia merasa khusuk dan tekun menikmati kisah melalui televisi atau internet. Kisah terus ada tapi mekanisme untuk menikmati kisah mengalami pemutakhiran atau pencanggihan. Tanda tanya dan tanda seru mulai menjadi perkara pelik untuk memerkarakan kisah.
Mediamorfosis jadi fakta mutakhir. Proses peralihan medium seperti jadi peringatan untuk menilai godaan kisah bagi manusia. Nasib kisah hari ini jadi pertaruhan peradaban manusia. Masihkah manusia pada hari ini mengimani dan mengamini diri sebagai homo fabula atau manusia pengisah? Pertanyaan ini mudah menemukan jawaban tapi susah memberikan eksplanasi paripurna. Begitu.

Dimuat di Seputar Indonesia (9 Agustus 2oo9)

Mempertimbangkan Rendra

Bandung Mawardi

Kematian bukan argumentasi mutlak untuk menghormati tokoh. Rendra sampai hari ini tetap jadi pokok dan tokoh meski telah rampung dalam menjalani hidup di dunia. Rendra (7 November 1935 – 6 Agustus 2009) adalah tokoh penting dalam pelbagai wacana dan praktik seni, kekuasaan, dan kebudayaan. Setumpuk buku sastra telah jadi bukti perhatian Rendra terhadap pembentukan tradisi literasi. Puluhan pentas teater adalah kerja kultural untuk mewartakan kesadaran kritis atas kekuasaan dan kebudayaan. Sekian pidato atau orasi adalah aksi strategis untuk memikirkan secara intensif nasib Indonesia.

Kuasa Kata
Rendra untuk publik sastra merupakan tokoh fenomenal. Pembaharuan dalam puisi dan teater dilakukan Rendra dengan dalil merealisasikan daya hidup dan estetika kritis. Kehadiran Rendra menjadi bukti otoritas penyair untuk memberi arti dalam pasang surut biografi Indonesia. Rendra telah memberikan buku puisi Ballada Orang-orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), Disebabkan oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993), Perjalanan Bu Aminah (1997), dan Mencari Bapa (1997).
Puisi-puisi Rendra kental dengan kritik untuk rezim kekuasaan, birokratisasi, kapitalisme, globalisasi, dan praktik-praktik hidup membelenggu. Publik tentu masih ingat dengan puisi-puisi kontroversial Rendra tentang protes terhadap pembangunanisme, kebobrokan pendidikan, diskriminasi sosial, kuasa pasar dan negara, komodifikasi tradisi, dan marginalisasi kaum lemah. Rendra dengan lantang menuliskan puisi untuk menjadi kesaksian ulah rezim Orde Baru ketika melakukan pelemahan dan penundukkan terhadap gairah hidup rakyat: Aku mendengar suara/ jerit hewan terluka.// Ada orang memanah rembulan./ Ada anak burung terjatuh dari sarangnya.// Orang-orang harus dibangunkan./ Kesaksian harus diberikan./ Agar kehidupan bisa terjaga.
Rendra tidak sungkan memasuki ranah sosial dan politik dengan puisi. Kuasa kata adalah senjata untuk menghadikran kebebasan dan daulat rakyat di hadapan kekuasaan. Idiom-idiom Rendra kerap jadi anutan pada masa itu dalam pelbagai gerakan sosial, seni, dan kultural. Puisi sanggup membuat orang sadar dengan hak dan berani melawan tirani. Rendra menjelma ikon untuk gairah hidup di Indonesia tanpa takut dengan penjara dan kematian. Puisi adalah ruh hidup dalam rumusan kata dan makna atas nama kebebasan manusia. Puisi adalah bahasa perjuangan. Otoritas Rendra dalam puisi membuat Sapardi Djoko Damono (1999) perlu memberi label bahwa perpuisiasn Indonesia telah menerima sihir Rendra dengan dialektika estetika dan kekuasaan.

Panggung
Kerja kultural Rendra pun hadir di panggung teater sebagai tindakan untuk memunculkan kesadaran publik atas masa lalu dan masa depan Indonesia. Teater jadi jalan bagi kaum urakan untuk pemenuhan daulat manusia. Teater pembebasan dan penyadaran dari Rendra secara reflektif mengusung tema-tema sosial dan politik dalam sensitivitas Orde Baru. Kritik jadi alasan penguasa memenjarakan dan melarang pertunjukan-pertunjukan teater Rendra. Bahasa reprsesif penguasa tak bisa membuat Rendra mandek atau mundur. Puluhan naskah dipentaskan dalam keberanian dan pamrih meruntuhkan bayang-bayang ketakutan atas kekuasaan.
Rendra pun mementaskan Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Oidipus Sang Raja, Mastodon dan Burung Kondor, Hamlet, Panembahan Reso, Sekda, Kisah Perjuangan Suku Naga, Bip Bop, Menunggu Godot, Lysistrata, Kasidah Barzanji, Perampok, Buku Harian Seorang Pencopet, dan lain-lain. Garapan-garapan Rendra menebar sihir pada publik tapi jadi ancaman untuk stabilitas politik. Teater telah jadi ungkapan kritis Rendra dalam membaca dan menilai nasib orang Indonesia dan sekian kebobrokan dalam pengelolaan negara. Teater adalah pemberontakan atau subversi dengan politik makna estetika. Eksplisitas pemberontakan itu kentara ketika Rendra pulang dari negeri Amerika Serikat (1967) untuk belajar teater. Sejak itu ruh pemberontakan dalam teater susah dipadamkan meski oleh penguasa lalim.
Rendra menjelma ikon teater modern Indonesia. Putu Wijaya (2000) menjuluki Rendra sebagai idiom baru teater Indonesia. Rendra jadi contoh sosok dengan ikhtiar menggedor, menerobos, menonjok tembok beku. Teater telah jadi perayaan publik untuk melontarkan kritik dan melakukan refleksi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam tegangan kekuasaan dan kebudayaan. Teater mazhab Rendra sampai hari tetap jadi titik penting dari keberanian publik teater mengusung tema-tema kritik sosial politik sebagai bahasa resistensi.

Wacana
Rendra dalam wacana intelektual Indonesia memberi sebuah risalah penting dan kritis terhadap posisi intelektual dalam dominasi negara. Risalah itu disampaikan dalam pidato penerimaan penghargaan dari Akademi Jakarta pada 22 Agustus 1975. Rendra mengungkapkan idiom fenomenal: “cendekiawan berumah di angin.” Idiom ini pun dihadapkan pada rezim kekuasaan. Rendra pada masa itu menggugat tentang orang-orang dewan karena tampak tak memiliki kepekaan dan kesangupan mengurusi demokrasi ekonomi, pengentasan kemiskinan, demokrasi politik, pembentukan keadilan sosial, dan demokrasi pendidikan. Gugatan itu terus menemukan sambungan sampai hari ini tapi jarang menemui jawaban memuaskan.
Biografi intelektual kritis itu mengantarkan Rendra pada pergulatan wacana-wacana besar. Rendra dengan intensif mengajukan tawaran gagasan dalam tema daulat rakyat, kebebasan seni, menggairahkan tradisi, kesadaran ekologis, pembelaan HAM, revitalisasi negara maritim, dan pendidikan pembebasan. Rendra tidak sekadar memberi khotbah tapi masuk ke panggung politik dengan jejaring dengan tokoh-tokoh intelektual, LSM, seniman, ulama, pengusaha, dan aktivis HAM.
Rendra ketika tua belum kehilangan spirit pembebasan dan pemberontakan. Peristiwa Reformasi mencatat bahwa Rendra menjadi bab penting dalam penyadaran politik dan kebudayaan. Orasi dan aksi dilakukan dengan antusias untuk memberi arti pada ruh dan tubuh Indonesia. Rendra hadir dengan Sajak Bulan Mei 1998 sebagai kontribusi signifikan atas estetika politik Indonesia. Reformasi jadi momentum puisi dan politik bertemu dalam integrasi menyelamatkan Indonesia.
Rendra telah tamat. Warisan-warisan Rendra masih terbuka untuk tafsir dan aksi. Inilah saat untuk publik Indonesia mempertimbangkan Rendra. Pokok dan tokoh ini adalah ikon pemberontakan dengan pamrih untuk realisasi daulat manusia dan daulat rakyat. Ikhtiar membaca kembali kata-kata Rendra mungkin memberi gairah konstruktif untuk membenahi “rumah Indonesia” ketimbang mendengarkan retorika politik picisan dari penguasa dan pendamba kekuasaan. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (8 Agustus 2oo9)

Provokasi Memelas Sastra Jawa

Bandung Mawardi

Pengarang, kritikus, dan penikmat satra Jawa bertemu di Nglaran, Cakul, Dongko, Trenggalek, Jawa Timur pada 4 – 5 Agustus 2009 dengan pertaruhan nasib dan impian. Festival Sastra Jawa dan Desa jadi peristiwa ngudarasa untuk mengumpulkan kembali perkara-perkara klise mengenai ratapan dan nasib sastra Jawa hari ini. Pola ngudarasa memberi kelonggaran pada para pengarang untuk membeberkan pelbagai impian dan kisah-kisah sedih dalam menggeluti sastra Jawa. Inventarisasi ratapan, keluhan, impian, atau nostalgia justru jadi ruh tapi cenderung mengabaikan agenda memerkarakan sastra Jawa secara substansial pada teks dan kerja kreatif.
Festival Sastra Jawa dan Desa mungkin sengaja ingin menjadi argumentasi untuk mengingatkan pada publik tentang fakta marginalisasi dan alienasi wacana sastra Jawa dan wacana desa. Sastra Jawa dan desa masuk dalam wacana integratif dan afirmasi atas nasib tragis. Ikhtiar menemukan kembali spirit sastra Jawa dan desa dibuktikan dengan idiom-idiom memelas tapi provokatif. Kalimat provokatif sengaja ditampilkan dalam bentangan kain panjang untuk menggugah atau meminta perhatian: “Ketika budaya Jawa digempur habis-habisan di mana sastra Jawa?” Kalimat ini eksplisit menjadi tumpukkan tanya dan gelisah terhadap budaya dan sastra Jawa. Kalimat provokatif juga mengarah pada posisi pengarang: “Ketika budaya Jawa digempur habis-habisan di mana sastrawan Jawa? Pertanyaan ini tampak jadi gugatan terhadap partisipasi dan kontribusi pengarang dalam sastra dan budaya Jawa.
Penulis mencatat dan memikirkan kalimat itu dengan kontradiksi-kontradiksi ketika membuktikan dalam rentetan acara selama dua hari. Penulis mafhum bahwa tumpukan tanya, gelisah, dan gugatan itu malah mengesankan keminderan, rendah diri (inferiorisasi), dan pengharapan tanpa juru selamat. Budaya Jawa memang kentara menderita kekalahan karena kelemaha untuk menetapi kodrat perubahan dan tunduk oleh kuasa negara dan pasar. Keimanan atas budaya Jawa adiluhung mengalami keruntuhan. Ikhtiar menjaga atau melestarikan jadi agenda krusial tanpa jalan keluar.
Jawa adiluhung disemaikan dengan pola-pola lawas dan pemujaan masa lalu. Gejala ini mungkin jadi pengesahan atas kemacetan dan ketakutan untuk transformasi budaya Jawa. Kodrat perubahan sejak lama tidak tampak karena tarikan narasi Jawa masa lalu terus jadi nostalgia melenakan. Keengganan atau kelambanan untuk perubahan membuat budaya Jawa nyaris seperti monumen atau museum sebagai referensi nostalgia. Risiko dari nasib apes ini adalah kelungkrahan sastra Jawa. Pengarang-pengarang sastra Jawa pun dihinggapi oleh iman estetis bahwa sastra Jawa mesti tetap hidup dengan acuan klasik dan wacana-wacana klise.

Dilema
Ngudarasa sastra Jawa menghadirkan pelbagai tanya tragis dan pesimis mengenai gerakan untuk menghidupi sastra Jawa. Jawaban-jawaban muncul tanpa optimisme dan rumusan gagasan-gagasan konstruktif. Jawaban kerap mengarah pada pemunculan kesalahan-kesalahan pelbagai pihak dan keinginan mendapati hak-hak pada pemerintah atau publik pembaca sastra Jawa.
Keinginan mengusung kembali sastra Jawa sebagai sastra pagelaran mungkin realistis pada acuan masa lalu tapi rentan kalah pada hari ini karena peradaban televisi dan internet. Sastra pagelaran mungkin bisa dirayakan dalam keterbatasan kehadiran dan apresiasi publik pendukung. Pilihan jawaban sastra pagelaran ini mengesankan pada fragmen masa lalu ketika sastra masih jadi spirit hidup dalam tradisi lisan.
Keinginan untuk publikasi buku dan distribusi populis pada publik pembaca juga mengandung jawaban lumayan realistis. Nasib sastra Jawa sampai hari ini memang masih kerasan di majalah dan koran. Kondisi ini kadang dijadikan bukti bawah sastra Jawa kurang memiliki kekuatan di pasar dalam memberi menu-menu cerkak, geguritan, atau novel pada pembaca. Sastra Jawa dalam bentuk buku ingin dijadikan strategi untuk mendapati perhatian dan apresiasi publik. Bayangan masa lalu ketika sastra Jawa ikut andil dalam pasar buku pun jadi imbuhan untuk gerakan menerbitkan buku sastra Jawa pada hari ini. Gerakan ini juga masih menyimpan masalah dalam dana dan pembaca.
Keinginan itu ternyata dihadapkan pada dilema: pengarang sastra Jawa telah meninggalkan pembaca dan pembaca telah meninggalkan sastra Jawa. Gejala sastra Jawa sebagai sastra klangenan atau sastra kaum tua masih terasakan dan mungkin sudah jadi “kutukan”. Teks-teks sastra dari pengarang juga masih suntuk dengan tema-tema lawas terkait dengan bumbu percintaan, detektif, kriminalitas, mistik, atau alam lelembut. Suguhan teks dengan wacana-wacana lama jadi bukti bahwa pengarang kurang peka untuk memberi kelegaan pada pembaca sesuai dengan fakta-fakta perubahan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Pembaca sastra Jawa secara kuantitatif memang kecil meski memiliki militansi dan loyalitas. Pembaca sastra Jawa memiliki pamrih-pamrih terhadap kehadiran buku sastra Jawa. Kondisi hari menjadi godaan mengenai wacana dan praktik hidup karena kuasa globalisasi. Pembaca membutuhkan kontekstualisasi dan suguhan-suguhan kontributif dari sastra Jawa. Kebutuhan ini jarang terpenuhi oleh kerja kreatif pengarang sastra Jawa. Hal ini jadi alasan untuk pembaca meninggalkan atau tak memiliki selera terhadap buku-buku sastra Jawa. Dilema antara pengarang dan pembaca masih susah diselesaikan dengan perbedaan ideologi dan pamrih.

Senjakala Sastra Jawa?
Festival Sastra Jawa dan Desa menjelma perayaan kecil tapi militan. Kehadiran para pengarang dari pelbagai kota di Jawa membuktikan militansi terhadap kehidupan sastra Jawa. Militansi ini mengesankan tapi kurang memiliki heroisme untuk memerkarakan sastra Jawa secara visioner dan dilambari dengan optimisme. Heroisme dibutuhkan dalam bentuk kerja kreatif melahirkan teks sastra. Sensibilitas terhadap kodrat perubahan jadi tantangan untuk menjalin komunikasi dengan pembaca dalam dilektika wacana dalam sastra Jawa. Militansi para pengarang untuk sastra Jawa mesti diterjemahkan sebagai argumentasi menyemaikan spirit budaya Jawa tanpa tunduk dengan pembakuan dan pembekuan dengan kehadiran teks-teks sastra Jawa.
Sastra Jawa dalam ngudarasa para pengarang masih memiliki hak hidup. Sastra Jawa memang bisa hidup tapi rentan dengan godaan birokratisasi dan kebimbangan. Kehadiran dan kehidupan sastra Jawa sampai hari mengesankan masih ada gejala birokratisasi karena pemberlakuan peraturan pengajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah. Penerbitan dan pelaksanaan acara sastra Jawa juga kerap dilakukan dengan sokongan dinas-dinas pemerintahan. Kehidupan sastra Jawa dalam pola birokratisasi ini memang kerap dimaklumi tapi tanpa sadar bakal mengantarkan sastra Jawa pada kecanduan dan pesimisme.
Heroisme pengarang bisa jadi bukti keberlangsungan sastra Jawa ketika ada optimisme dan memiliki spirit pembebasan dari nostalgia. Kesadaran tema mesti diujikan pada publik pembaca dengan kesadaran terhadap fakta-fakta perubahan dalam tegangan tradisionalitas dan modernitas. Kebangkrutan sastra Jawa selama ini memang kentara pada garapan tema dan dialektika wacana. Kebangkrutan ini jadi tanda tanya untuk para pengarang sastra Jawa mengajukan jawaban. Kehadiran teks-teks sastra Jawa dengan progresivitas tematik dan wacana tentu bisa jadi bantahan terhadap tuduhan-tuduhan keras dari para tukang kritik sastra Jawa: sastra Jawa sekarat, sastra Jawa bangkrut, senjakala sastra Jawa, atau sastra Jawa bunuh diri. Begitukah?

Dimuat di Suara Merdeka (9 Agustus 2oo9)

Solo, Tradisi, dan Turisme Kultural

Bandung Mawardi

Kota Solo menjadi bab penting dari sejarah kolonialisme. Kota ini memiliki biografi panjang dan mengandung jejak-jejak mengesankan atas praktik kuasa Jawa dan kuasa kolonialisme. Kota Solo menjadi ruang perebutan makna untuk menampilkan identitas tentang eksotisme (klasik) dan keterbukaan atas modernitas. Fragmen-fragmen sejarah kota pun tercatatkan dalam pelbagai dokumen dari kolonial dan keraton.
Imajinasi kota terhadap Solo membuka lapisan-lapisan misteri tentang kelahiran dan pertumbuhan kota. Wacana tradisionalitas dan modernitas menjadi urusan tak selesai sampai hari ini. Identifikasi Kota Solo sebagai kota tradisi (klasik) mendapati klaim dengan jejak sejarah dan keberlangsungan laku tradisi dari praktik seni sampai spiritualitas. Klaim-klaim sebagai kota tradisi memang dibuktikan secara faktual tapi kerap didramatisasi oleh kepentingan birokrasi. Sejarah kota dalam tendensi birokrasi jadi argumentasi untuk merumuskan identitas kota sebagai ruang tradisi dan kultural Jawa tapi dalam tataran permukaan.
Kota Solo sejak awal abad XX mulai melakukan transformasi diri dengan keterpengaruhan pola-pola kota modern. Pengaruh-pengaruh ini diterima melalui praktik politik dan ekonomi sebagai mesin utama modernitas. Kolonialisme memang jadi tukang dikte untuk menggerakkan Solo dalam konstruksi kota modern. Proses menjadi kota modern itu disahkan oleh kekuasaan dengan kebijakan-kebijkan strategis mulai dari model pembangunan fisik sampai pada penetrasi nilai-nilai modernitas.
Solo pun tumbuh dengan perebutan klaim tradisionalitas-modernitas. Imajinasi menjadi juru bicara untuk memberi pembenaran atas lakon kota. Imajinasi diwartakan sebagai acuan pada publik secara internal atau eksternal mengenai biografi kota. Imajinasi Solo sebagai kota tradisi dengan eksotisme (tradisional) dan aura-mistis terus mendapati pengakuan meski ada realisasi mengonstruksi Solo sebagai kota modern. Identitas dengan imajinasi eksotisme ini menjadi tanda tanya dan tanda seru sampai hari ini.
Kota Solo hari ini masih mengalami pergulatan intensif untuk menumbuhkan kembali nostalgia tradisionalitas dan hasrat menjadi kota kosmopolitan. Tradisi terus dipertahankan sebagai modal substantif untuk mengesahkan diri sebagai kota budaya. Pengesahan ini dilakukan dengan promosi seni-seni tradisi dan pengelolaan situs-situs kultural dengan setengah hati.
Pola pewarisan tradisi kerap dipengaruhi oleh mekanisme kekuasaan. Tradisi jadi tema seksi untuk penguasan mendapati pengakuan dari publik dalam menjalankan amanah mengelola kota. Praktik untuk menampilkan tradisi tak luput dari pamrih-pamrih kekuasaan karena menjadi jaminan atas keberlangsungan kota. Tradisi lalu seperti jadi modal untuk mencitrakan kota meski kerap dalam model rekayasa dan mengandung tendensi transaksi ekonomi atas nama pariwisata.
Nasib tradisi sebagai ornamentasi menjadi fakta ketika kekuasaan menginginkan ada model klaim atas konstruksi kota dalam kalkulasi modal. Ideologi turisme kebudayaan jadi godaan tak tertahankan. Kota tumbuh dengan orientasi untuk investasi dan pariwisata. Publik kota menjadi pihak sekunder untuk realisasi pelbagai kebijakan penguasa kota. Lakon ini menjadi satire dan getir terhadap nasib Kota Solo. Ideologi turisme ditempeli dengan pamrih tradisi dan kultural lalu dipraktikkan secara srampangan melalui politik pariwisata dan ekonomi pasar.
Lakon turisme kultural dan politik pariwisata dengan kentara menjadi wacana ekonomis. Tradisi jadi jaminan pertumbuhan kota dalam model transaksi ekonomi. Kesenian tradisional, ritual, situs tradisi, atau kearifan lokal mulai jadi komoditas. Tradisi adalah alasan genit untuk mengesahkan pertumbuhan kota atas nama modernitas.
Pengelolaan tradisi dengan sikap modern menjadi pilihan rasional tapi kerap memakai tendensi pragmatis. Tradisi adalah ornamentasi untuk mengantarkan Solo sebagai kota metropolitan. Sikap modern dalam pengelolaan tradisi mesti dilakukan tapi jangan kebablasan dalam kepentingan ekonomi. Tradisi bukan komoditi tapi acuan hidup untuk masih memiliki spirit kultural dalam kehidupan Kota Solo. Begitu.

Dimau di Solopos (6 Agustus 2oo9)

Metafora: Tanda Seru dan Tanda Tanya

Bandung Mawardi

Pablo Neruda memberikan pertanyaan ganjil untuk seorang tukang pos mengenai metafora. Tukang pos dengan nama Mario Jimenez itu tak pernah menduga mendapati pertanyaan pelik. Penyair itu menuntun tukang pos untuk mengerti metafora dengan penjelasan sepele: “Metafora adalah cara memerikan sesuatu dengan membandingkan dengan hal lain”. Penyair pun lekas memberi pertanyaan: “Apa maksud langit menangis”. Tukang pos dengan enteng menjawab: “hujan.”. Mario Jimenez dengan takjub mengatakan: “Itulah metafora!”
Mario Jimenez terkejut dan membuat konklusi: “Metafora adalah nama rumit untuk pengertian sederhana.” Dialog itu memancing tukang pos memiliki hasrat untuk jadi penyair dengan olahan metafora. Hasrat itu menjelma pengandaian: “Hanya jika saya seorang penyair, saya bisa mengatakan apa pun yang saya mau.” Dialog menggemaskan ini cuplikan kecil dari novel Il Postino anggitan Antonio Skarmeta.

Jejak metafora
Penelusuran metafora dalam ranah filsafat memiliki jejak awal dalam pemikiran Aristoteles melalui kitab Poetika. Metafora adalah tranferensi. Metafora memiliki ciri: (1) sesuatu dikenakan pada benda; (2) definisi dalam konteks gerakan; (3) transposisi dari nama asing ke sesuatu. Definisi-definisi itu melahirkan implikasi: (1) gagasan tentang substitusi kata yang seharusnya ada; (2) gagasan peminjaman dari suatu wilayah aslinya; (3) gagasan tentang deviasi dari penggunaan biasa (Sugiharto, 1996: 102-103)
Metafora memang rumit. Sejarah metafora menampakkan diri sebagai nama dan definisi pelik. Metafora adalah tanda hidup manusia dalam bahasa dan makna. Tanda hidup itu mendapati penjelasan dalam filsafat, linguistik, sastra, seni, antropologi, sosiologi, dan politik. Metafora menjadi perkara merepotkan untuk membuat pertaruhan tentang makna hidup. Metafora menjadi pemikiran dan laku untuk eksistensi manusia.
Jejak-jejak metafora dalam deretan panjang nama dan buku. Metafora selalu mengalami derivasi: gelap dan terang. Bambang Sugiharto membuat konklusi reflektif: dari akumulasi rentetan referensi: “Metafora adalah kondisi dasar antropologis dimana manusia hanya bisa memahami dunia dengan cara mempersamakannya dengan hal yang ia pahami, simbol-simbol yang ia ciptakan sendiri dengan hal yang bukan dunia itu sendiri”.
Metafora memang merepotkan. Siapa sanggup sibuk dan suntuk mengurusi metafora dari Aristoteles, Nietzsche, Heidegger, Paul Ricoeur, Bachelard, I.A. Richards, Lacan, Paul de Man, Derrida, atau Richad Rorty? Metafora menjadi nama dan problema tanpa epilog. Metafora hari ini pun semakin suntuk dalam ranah postrukturalisme-postmodernisme. Metafora memang pelik dan merepotkan dalam sorotan filsafat, bahasa, dan estetika.

Sihir metafora
Bagaimana mengurusi metafora dengan enteng dan tawa kecil? Jawaban untuk pertanyaan ini ada dalam fragmen-fragmen Il Postino. Novel ini dengan kelakar-satire mengurusi metafora dalam ranah puisi, cinta-birahi, interaksi sosial, dan lakon politik. Metafora menjadi bab penting dalam puisi Pablo Neruda dan biografi orang-orang Chili.
Pablo Neruda memberi kutukan ampuh untuk menikmati hidup dengan metafora. Mario Jimenez kena sihir metafora. Biografi hidup tukang pos menjelma keajaiban dan tragedi tak usai. Metafor adalah senjata untuk menaklukan perempuan. Metafor adalah musuh utopia dan nasib. Metafora adalah alasan untuk konflik tanpa kompromi. Mario Jimenez membawa diri dalam sihir metafora untuk menciptakan hidup secara puitik dan menggairahkan.
Inilah sihir metafora untuk Mario Jimenez ketika menaklukkan Beatriz (kekasih pujaan): “Senyummu merentang di wajahku seperti seekor kupu-kupu; Tawamu adalah air pasang yang mendebar; Tawamu adalah gelombang keperakan yang datang tiba-tiba.” Metafora itu pembebasan cinta birahi. Metafora-metafora terus menghantui hidup Mario Jimenez. Metafora itu membuat Betariz jatuh dalam pelukan Mario Jimenez.
Metafora adalah laku hidup. Mario Jimenez memahami metafora tidak sekadar dalam kepentingan estetika puisi. Metafora adalah hidup, perempuan, dan politik. Metafora mengantarkan makna dalam bahasa-bahasa menakjubkan dan menggelisahkan. Metafora tidak mau berhenti dalam bahasa dan puisi. Metafora menjelma kata sifat dan kata kerja untuk menentukan alur hidup. Metafora pun menjelma pertanyaan dan jawaban untuk membuat hidup memiliki makna.
Mario Jimenez tak memamah sekarung pemikiran filsafat dan estetika. Metafora itu muncul dari mulut Pablo Neruda dengan gairah hidup. Mario Jimenez mengawali gairah dengan meniru metafor-metafora Pablo Neruda. Ketelatenan itu membuka jalan untuk sanggup membaca alam dan manusia. Mario Jimenez merasakan percampuran belenggu, kungkungan, pembebasan, ekstase, gairah dalam metafora. Metafora pun jadi urusan empiris: pengalaman-mengalami. Laku hidup Mario Jimenez adalah contoh kecil kesanggupan manusia mengurusi metafora tanpa harus memecahkan kepala dengan palu filsafat sebagai abstraksi berat. Mario Jimenez menemukan dan mengalami metafora itu dari puisi dan kehidupan.

Itukah metafora?
Metafora dalam pemahaman konvensional adalah menembus makna linguistik. Jacques Lacan dengan reflektif mengungkapkan: metafora adalah penanda yang menandakan penanda lain. Rumusan metafora itu bagi Lacan menjadi bab penting dalam iman bahwa “bahasa sebagai satu-satunya jalan bagi kita menuju orang lain”. Lacan menambahi bahwa manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa tapi subjek tak bisa direduksi menjadi bahasa.
Pemahaman metafora menjadi tak sepele ketika para filosof mengarahkan diri untuk mengurusi bahasa. Metafora jadi kunci pelik dan merepotkan. Metafora dalam laku filsafat pun sesak dengan definisi, sistem, mekanisme, dan implikasi. Metafora masuk dalam pertanyaan-pertanyaan akut dan tak mungkin selesai hanya dalam teks-teks sastra. Metafora pun menjadi ranah pergulatan inklusif untuk linguis, penyair, pengarang, filosof, antropolog, psikolog, sosiolog, dan politikus.
Jejak-jejak metafora dalam wacana bahasa, estetika, dan filsafat kerap melahirkan kerepotan. Dalil pelik mungkin keluar sebagai tanya: “Itukah metafora?” Pertanyaan ini kebalikan dari ucapan lugas Mario Jimenez ketika menerima pengertian metafora dari Pablo Neruda: “Itulah metafora!” Metafora dalam kesuntukan dan kemurungan filsafat mungkin bisa membunuh Mario Jimenez atau penyair-penyair tanpa jejak referensi pemikiran-pemikiran filsafat-abstrak. Metafora dalam pertanyaan dan jawaban adalah kisah tak selesai meski filsosof dan penyair repot sampai mati.

Perayaan metafora
Bisakah metafora jadi jejak untuk biografi manusia? Pertanyaan ini bakal menemukan jawaban pendek dan mengena: Bisa. Jawaban panjang mungkin diajukan ketika ada kesanggupan mengungkapkan biografi manusia mutakhir dalam pergulatan pemikiran postrukturalisme-postmodernisme. Pemikiran-pemikiran itu memang membuat suntuk tapi merepresentasikan realitas hari ini: absurd dan luput. Membaca dunia lewat metafora?
Metafora adalah kunci membaca dunia ketika ada pemahaman bahwa bahasa tidak sekadar merepresentasikan realitas tapi juga menciptakan realitas. Madam Sarup (2003) percaya bahwa sejarah peradaban manusia modern secara eksplisit terbentuk dari metafora. Metafora menjadi urusan untuk pelbagai wacana dan tindakan manusia. Metafora adalah cara dan realisasi manusia menciptakan dan mempertahankan pandangan dunia. Metafora menstimulus kelahiran paralelisme atau analogi secara tidak terduga dan mengejutkan. Metafora meningkatkan kesadaran tentang kemungkinan dunia-dunia alternatif.
Bambang Sugiharto dalam esai Mengembalikan Filsafat kepada Metafor (Jurnal Kalam, Edisi 5, 1995) mengajukan referensi-referensi berat tentang metafora dalam acuan filsafat, bahasa, dan estetika. Konklusi reflektif dari pergulatan sekian definisi dan sistem metafora: “Kebenaran justru kerap hadir dalam hal-hal irasional atau abnormal untuk menuntut pengakuan. Wajah anomali kritis dan kreatif adalah metafora.” Metafora pun jadi lokomotif dalam filsafat mutakhir dengan jejak dan kiblat tanpa konvesi baku dan sistem heterogen.
Metafor sejak dulu sampai hari menjadi tanda kehidupan manusia dalam pergulatan realitas dan bahasa. Metafor membuat puisi terus lahir dan tumbuh dalam perayaan-perayaan tafsir dengan pelbagai pintu dan arah. Metafora adalah pertaruhan antara tanda tanya dan tanda seru untuk penyair menunaikan kerja estetis menuliskan seribu satu perkara dalam puisi. Metafora hidup membuat puisi hidup. Metafora lemah membuat puisi sekarat. Itulah metafora! Itukah metafora?

Dimuat di Lampung Post (2 Agustus 2oo9)

Mbah Jinah

Bandung Mawardi

Tua adalah kodrat manusia. Lakon tua mengandung akumulasi dari pelbagai luka, duka, tangis, dan tawa. Sejarah telah diciptakan dan menjadi kisah untuk anak dan cucu. Biografi hidup menjadi modal untuk masih merasa memiliki kesanggupan memberi makna pada hidup. Lakon manusia tua adalah kodrat untuk bisa memberi pada dunia dan manusia.
Mbah Jinah telah 70-an tahun. Biografi panjang telah dirumuskan dan disimpan sebagai memori atau nostalgia. Masa kecil masih bisa diingat meski tak utuh. Masa menjadi remaja masih kuat tersimpan dalam memori. Masa menjadi seorang istri dan ibu adalah masa pertarungan sebagai manusia dalam pertanyaan-pertanyaan pelik. Masa-masa itu ternyata mayoritas adalah biografi kemiskinan. Kemiskinan dijalani Mbah Jinah dengan tabah. Sikap ini seperti menggaungkan ungkapan Nietzsche: amor fati (aku tidak sekadar menerima derita tapi aku telah menerima dan mencitai derita itu).
Kemiskinan bukan kutukan. Mbah Jinah percaya kemiskinan adalah pertanyaan besar untuk menguji manusia dalam menikmati atau meratapi hidup. Keterbatasan atau ketidakmampuan memiliki sesuatu justru jadi ingatan terhadap kekuatan manusia dan kehendak Tuhan. Sekian peran dijalani Mbah Jinah dengan antusias: buruh tani, bakul pasar, bakul sego jenang, bakul gorengan, dan bakul beras. Pekerjaan-pekerjaan itu memiliki arti penting untuk menghidupi 7 anak. Gaji suami sebagai buruh bangunan tak mencukupi untuk pelbagai kebutuhan.
Kenangan-kenangan itu sekarang mengalir sebagai cerita untuk anak dan cucu. Cerita kemiskinan Mbah Jinah mungkin kalah dramatis jika dibandingkan dengan kelihaian pembuat acara-acara televisi tentang kemiskinan. Mbah Jinah tak pernah sekolah tapi mengerti hitungan uang. Kapasitas kata dan imajinasi memang naif tapi bisa dikomunikasikan. Hal ini kerap membuat cerita Mbah Jinah sekadar sebagai tuturan kurang memikat. Publik sekarang mulai disihir oleh program televisi dalam mengisahkan orang miskin dengan suntikan manipulasi dan eksploitasi. Kemiskinan seperti jadi tontonan untuk hiburan para penonton televisi. Ironis!
Mbah Jinah lega bahwa ikhtiar menyekolahkan anak telah terlunaskan. Empat orang bisa meraih gelar sarjana dan 3 orang lulus SMA. Pencapaian ini jadi pemberi arti dari lelah dan tangisan. Mbah Jinah kerap menjelaskan proses panjang itu adalah berkah dari Tuhan. Doa dan ikhtiar jadi acuan. Usia tua membuktikan kerja keras sebagai manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari ekonomi sampai religi. Kemiskinan tidak bisa membuat Mbah Jinah putus asa.
Mbah Jinah dengan kalem menyebutkan lakon kecil tentang keberhasilan anak-anak dalam sekolah: “Mereka sering makan dengan sayur tuntut dan karak. Kalau sekolah tidak dijatah uang saku. Mereka mau membantu dengan jadi buruh atau jualan untuk tambah bayar sekolah. Anak-anakku tidak suka menuntut untuk masalah pakaian, sepeda, hiburan, atau makanan.” Tuturan Mbah Jinah mungkin bisa berlaku dalam konteks zaman lampau. Mungkinkah itu bisa dijalani hari ini?
Anak sekolah sekarang jadi beban berat. Asumsi ini muncul karena anak hadir dalam godaan-godaan materialistik. Anak mau sekolah karena uang saku, HP, sepeda motor, pakaian bagus, dan lain-lain. Tuntutan-tuntutan jadi bahasa umum untuk anak-anak zaman sekarang. Lakon ini tentu mengecualikan pada anak-anak miskin. Mbah Jinah jadi kaget melihat kondisi mutakhir karena rumus hidup terletak pada duit dan mengabaikan spirit. Sekolah itu duit? Mbah Jinah mafhum kalau orang-orang sekarang kehilangan spirit sebagai lambaran hidup. Spirit itu adalah keimanan dan optimisme secara lahir dan batin. Agama orang-orang sekarang adalah duit. Kritik ini mirip dengan celotehan Voltaire: “Siapa saja bakal sama agamanya kalau melihat dan kecanduan duit.” Celotehan ini muncul pada masa benih-benih kapitalisme disemaikan di Eropa pada abad XVII.
Mbah Jinah tidak masu suntuk mengurusi masalah-masalah mutakhir. Mbah Jinah butuh ketenangan untuk memikirkan dan mengimajinasikan akhirat. Ibadah mendapati porsi besar dan amal jadi kesadaran naluriah. Semua anak sudah kerja dan memberi jatah belanja tiap bulan. Mbah Jinah tidak perlu repot lagi bekerja. Urusan sekarang adalah mencurahkan kasih pada 16 cucu. Mbah Jinah sadar anak-anak bukanlah investasi atau tabungan secara materialistik untuk dipanen di masa tertentu. Anak adalah amanah dan berkah.
Kisah Mbah Jinah adalah representasi dari nasib-nasib manusia tua. Mbah Jinah masih beruntung. Sekian nenek dan kakek lain masih harus sibuk mencari uang untuk hidup. Mereka kadang terus mendapat ancaman dari anak untuk lekas membagi warisan. Mereka juga masih kerap dituntut untuk memberi jatah uang pada anak dan cucu. Kemiskinan dilakoni tiada henti. Kemiskinan mungkin selesai dengan kematian.
Manusia menjadi tua untuk lekas sadar dengan daerah perbatasan: dunia sini dan dunia sana. Hidup di dunia mau rampung. Hidup dalam kondisi lain bakal ditempuhi. Mbah Jinah sadar dan khusuk dalam ibadah untuk meminta berkah Tuhan. Kemiskinan memang belum usai tapi kepasrahan dengan optimisme dalam melakoni hidup telah diujikan.
Mbah Jinah tak lelah menuturkan biografi diri pada siapa saja sebelum tamat. Mbah Jinah tak malu jika model pengisahan itu telah disaingi oleh televisi dan internet. Mbah Jinah selalu sadar bahwa sepi hadir menjelang malam sebab orang-orang sekarang berkerumun di depan televisi. Mereka lebih gandrung dengan biografi artis dan politikus. Biografi perempuan tua mungkin lekas terlupakan? Barangkali petuah-petuah Mbah Jinah sudah tak mengandung tuah? Begitukah? Hormatilah Mbah Jinah!

Dimuat di Suara Merdeka (2 Agustus 2oo9)

Impian Bocah Kampung

Bandung Mawardi

Judul : King
Penulis : Iwok Abqary
Penerbit : Gradien Mediatama, Yogyakarta
Cetak : 2009
Tebal : 152 halaman

Keluarga Indonesia patut memberi sambutan hangat untuk penerbitan novel adaptasi King. Novel ini sengaja diluncurkan untuk memberi penguatan atas peradaran dan pemutaran film dengan judul King. Kehadiran film dan novel adaptasi King merupakan bentuk perayaan terhadap edukasi dan peraihan impian anak negeri dalam dunia bulu tangkis. King memberi jeda reflektif dari khazanah bacaan keluarga dengan muatan inspiratif dan optimistik.
Kisah Guntur memiliki impresi pada anak-anak untuk sadar dan berani mengajukan mimpi. Mimpi untuk menjadi siapa saja adalah hak untuk bisa direalisasikan dengan doa dan ikhtiar. Guntur mengalami sekian hambatan dan godaan menjelang peraihan impian menjadi atlit bulu tangkis ampuh seperti Lim Swie King. Pola pendidikan dari bapak membuat Guntur merasa dalam ambiguitas untuk optimis meraih impian atau surut karena ejekan dan tuntutan keras dari bapak. Ambiguitas itu kerap muncul dalam pelbagai fragmen kehidupan Guntur ketika harus mengakui kekalahan dan merasakan kemenangan dalam pelbagai pertandingan bulu tangkis.
Nasib Guntur dikisahkan dengan apik, dramatis, dan mengesankan nilai-nilai kerja keras dan ketekunan. Nasib itu memiliki percampuran warna suram dan cerah. Guntur dari keluarga miskin dan yatim tanpa ibu merasa kekurangan dalam ketersediaan fasilitas atau kebutuhan hidup. Kemiskinan kadang melahirkan pesimisme untuk menjadi atlit karena harus mengalami ketegangan tak henti secara psikologis dan sosiologis. Warna suram itu terus dihadapi agar bisa dirubah menjadi cerah dengan niat besar untuk berhasil sebagai atlit meski dilakoni dengan duka dan luka. Proses membuat hidup menjadi cerah tak lepas dari peran Raden. Bocah ini militan dan percaya bahwa Guntur sanggup menjadi pemain bulu tangkis seperti King.
Proses panjang dan melelahkan membuahkan ganjaran besar. Guntur lolos sebagai penerima bea siswa untuk menempuh pendidikan bulu tangkis secara profesional di Kudus. Pencapaian itu dikisahkan dengan kalem dan mengandung impresi-impresi optimistik. Inilah pengakuan dramatis sebagai bab penting dalam novel Kingi: “ Namaku Guntur. Usiaku 12 tahun. Aku berasal dari sebuah kampung di kaki gunung Ijen. Sebuah desa bernama Sampit, kecamatan Sempol di perbatasan kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi. Aku adalah seorang anak kampung yang memiliki impian tinggi.”
Apa impian bocah kampung itu? Guntur memberi jawab: “Hari ini aku membuktikan bahwa setiap anak boleh bermimpi. Setiap anak boleh memiliki harapan. Karena setiap mimpi dan harapan itu dapat diwujudkan, selama kita memiliki kemauan.” Jawaban inspiratif patut diwartakan pada anak-anak Indonesia agar tak suntuk dalam pesimisme dan kemanjaan terhadap keriuhan mimpi-mimpi manipulatif dunia. Anak-anak Indonesia memang rentan dengan godaan ideologi konsumsi mulai dari makanan sampai hiburan. Kemanjaan terhadap hidup kerap membuat anak abai dengan filosofi hidup
Kisah anak kampung dari keluarga miskin di Banyuwangi ini patut jadi contoh proses dan nilai membuat hidup menjadi indah dan memiliki makna. Kemiskinan dan ruang hidup jauh dari kota tak bisa jadi alasan mutlak anak menerima dalil hidup “apa adanya” tapi diartikan bahwa hidup patut dijalani dengan dalil “apa seharusnya.” Niat jadi modal untuk merubah nasib dengan kesadaran ada pengorbanan dan risiko. Realisasi impian membuat anak merasai bahwa hidup tak rampung hanya dengan konsumsi dan reproduksi. Hidup memiliki makna jika anak sadar dengan keharusan manusia untuk aktif, produktif, dan kontributif.
Babak-babak dramatis dalam pencapaian impian tampak dari keintiman dan konflik antara Guntur dengan bapak, Raden, Arya, Michelle, Raino, dan lain-lain. Guntur memiliki impian dengan percampuran sisi emosionalitas dan keterbukaan terhadap kritik atau saran dari orang lain. Sikap-sikap emosional kerap muncul sebagai cara merepresentasikan resistensi dari fakta kemiskinan dan keterbatasan diri. Resistensi itu menjelma spirit emansipatif ketika Guntur sadar bahwa kontribusi orang lain mesti dipahami sebagai bentuk pemberian motivasi dan penguatan optimisme.
Novel ini menjadi medium reflektif untuk melengkapi kekhusukan menonton film King. Laku membaca dan menonton memang memiliki perbedaan substantif dalam model resepsi, interpretasi, dan afirmasi. Anak-anak Indonesia mungkin secara mayoritas memilih menonton film ketimbang membaca buku. Peran orang tua dan keluarga bakal mendapati ujian ketika sanggup untukl mengajarkan anak bahwa membaca memberi ruang reflektif dalam permainan makna dan memberi anak kebebasan dalam resepsi. Pilihan untuk membaca novel King adalah bukti keinginan memberi hak anak belajar secara konstruktif dan produktif.
Kehadiran novel ini patut diapresiasi karena menjadi paket utuh dengan masa pemutaran film. Pembaca pun bisa melakukan tafsir komprasi antara kisah dalam novel dan garapan dalam film. Model perbandingan tentu bakal memberi kesadaran kritis dalam apresiasi. Keluarga sebagai intitusi dasar dan fondasi dari keberlangsungan kehidupan sosial mesti memberi perhatian besar untuk meresepsi novel ini sebagai proyek menyemaikan optimisme pada anak-anak negeri. Mengajarkan tradisi membaca dan merealisasikan impian hidup adalah pesan substantif dari novel King. Anak-anak Indonesia mesti mendapati akses dan restu untuk memberi arti pada hidup mulai dari institusi keluarga, kampung, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. Impian bocah menjadi cermin peradaban bangsa dalam proses perubahan tiada henti. Begitu.


Dimuat di Surabaya Post (19 Juli 2oo9)

Nalar Cerita dan Ekstase Imajinasi

Bandung Mawardi


Judul : Ular di Mangkuk Nabi
Penulis : Triyanto Triwikromo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetak : I, Juni 2009
Tebal : xii + 168 halaman

Pembaca mungkin suntuk dan bakal menyesatkan diri dalam kerimbunan tanda dan keramaian imajinasi. Pembaca masuk dalam nalar cerita dengan negasi dan afirmasi untuk penciptaan realitas-fiksionalitas dan permainan referensi tak henti. Cerita-cerita terus memberi tawaran dengan racun-racun magis dan bumbu dekonstruksi untuk membuat pembaca tertegun atau kelelahan. Jalan kecil selalu dijadikan dalil untuk istirahat dan menyelamatkan nalar cerita sebelum ada tumpukan imajinasi jatuh menimpa kepala pembaca. Cerita menjelma persemaian kata dan makna tanpa ada batas geografis, waktu, etnis, agama, ideologi, politik, dan historis.
Kumpulan cerita Ular di Mangkuk Nabi menjadi bukti Triyanto Triwikromo sadar dengan kepemilikan otoritas pengarang dalam laku menciptakan dan menabur benih-benih imajinasi. Cerita terus merekah untuk melampaui wadah. Pembaca mungkin repot menerapkan konstitusi fiksionalitas dalam menerima luberan makna dan ekstase imajinasi. Pengarang lincah menempuhi jagad tanda dengan meninggalkan jejak-jejak samar. Pembaca bisa mengikuti dengan turut atau menempuh arah beda tanpa jejak-jejak eksplisit untuk kembali pulang. Risiko dari afirmasi cerita adalah kesadaran untuk menyesatkan diri dalam ikhtiar menantang kematian fiksi.
Triyanto Triwikomo menjelma penggembala cerita tanpa instruki dan imperatif absolut. Pengarang justru sadar ada ruang besar untuk cerita-cerita melakoni perjalanan sendiri dengan peta-peta magis. Cerita mungkin lari jauh tanpa lelah, sembunyi di gua gelap dan sepi, naik ke langit dengan telanjang, berbaring di sela-sela tubuh kotor bumi, duduk sedih di atas dahan rapuh, atau menelusup ke tubuh perempuan tua tanpa wajah. Pembaca lalu menempuh piknik imajinasi dengan pintu terbuka dan mungkin enggan mencari kunci untuk menutup pintu-pintu cerita.
* * *
Pembaca disuguhi imaji iblis, setan, malaikat, jin, ular, dan makhluk-makhluk dalam batas fakta-fiksi untuk konstruksi cerita. Kehadiran imaji dengan ketegangan teologis justru membuat cerita dalam remang-remang kebenaran dan kedustaan. Pengarang fasih melakukan karakterisasi tokoh tanpa penundukkan imperialistik. Tokoh menghidupi diri ketika sadar ruang dialektis dengan otonomi fiksionalitas. Pengarang tidak memberi konstitusi kaku dalam memberi kemungkinan kelahiran dan pertumbuhan tokoh-tokoh dalam ruang cerita. Tokoh-tokoh hadir memberi sapaan pada pembaca dengan pengenalan di ambang batas terang dan gelap.
Kelincahan pengarang untuk mengantarkan cerita pada jalan tak karuan atau labirin imajinasi menjadi bentuk tantangan pada pembaca dalam memberi iman dan amin. Cerita-cerita tidak melenggang di jalan lurus tapi sesak dengan pembayangan jalan-jalan tak ada ujung atau membentur tembok angkuh. Pengarang membuka pintu dengan kalem agar pembaca rikuh mengajukan tanya lalu dibiarkan dalam pengelanaan mengejutkan dan melelahkan. Cerita jadi ruang pertaruhan hidup dan mati untuk pembaca di hadapan kuasa pengarang di balik tabir tanpa lembaran jawaban dan hadiah.
Pengarang kentara memiliki sensibilitas kosmis untuk menciptakan cerita dengan usia panjang. Sensibilitas kosmis hadir dalam cerita melalui kelihaian pengarang membuat percampuran kontradiksi-kontradiksi. Epistemologi dikotomik justru dicairkan dengan perangkat cerita dan olah imajinasi untuk mengganggu nalar pembaca terhadap klaim fakta dan fiksi, keras dan lembut, hitam dan putih, baik dan buruk, kotor dan bersih, atau sakral dan profan. Sensisibiltas kosmis jadi lambaran pengarang melakukan afirmasi peran pembaca dan penulis dalam khidmat dan keliaran.
* * *
Cerita-cerita dalam Ular di Mangkuk Nabi merupakan album getir dan satir dari kesadaran manusia terhadap pelbagai fakta dan fiksi. Pengarang eksplisit mengantarkan pembaca pada kemungkinan-kemungkinan gelap untuk mencari terang di sela-sela kerimbunan tanda. Cerita-cerita magis membuat pengarang merasa mendapati dusta-dusta imajinasi ketika alpa dengan kodrat fiksi. Kesadaran terhadap dusta itu lekas disisipi dengan kelincahan pengarang membuat tautan-tautan referensial. Pembaca lalu ragu untuk vonis kedustaan atau kebenaran mengacu pada konvensi nalar cerita. Konstruksi cerita sengaja jadi pembuktian kerja pengarang membuat nalar cerita dalam daerah perbatasan agar pembaca sadar untuk hidup atau mati dalam penghayatan dan penyayatan cerita.
Cerita Dalam Hujan Hijau Friedenau adalah pengisahan getir tentang lakon cinta kudus tanpa jatuh dalam nalar cerita sentimentil dan keringkihan imajinasi. Pengarang justru mengajukan kepelikan fiksi untuk pengungkapan hasrat dan kutukan dari lakon cinta. Cerita ini tak ingin manja dengan sentuhan-sentuhan klise kisah lelaki dan perempuan. Ramuan magis membuat lakon cinta masuk dalam jurang nalar untuk mengalami ekstase di ambang batas kehidupan dan kematian.
Ketegangan memuncak dalam tuturan pelik untuk membuka iman dan aib cinta lelaki dan perempuan. Resistensi atas legitimasi cinta diungkapkan dengan nalar menantang ketika cinta masuk pada model transaksi tubuh dan ruh: “Apakah kini kau menganggapku sebagai iblis paling rapuh, sehingga perlu memberiku malaikat pelindung? Apakah kau tidak lagi menganggapku memiliki kekudusan cinta, sehingga perlu memberiku kisah percumbuan yang lain?” Kutipan ini jadi representasi hasrat pengarang untuk menciptakan subversi-subversi atas nalar cerita kovensional.
* * *
Subversi atas nalar cerita juga muncul dengan menegangkan dalam fragmen-fragmen penyaliban. Subversi justru melahirkan imajinasi dekonstruktif untuk meragukan kebenaran dan kedustaan dalam fakta dan fiksi. Salib dan penyaliban seperti jadi esktase imajinasi untuk meruntuhkan pembayangan pembaca terhadap warisan-warisan nalar cerita lama. Pengarang tanpa sungkan mengisahkan penyaliban dalam permainan tanda dengan mistis dan tragis. Penyaliban menjadi tanda seru dan tanda tanya dalam menilai ulang lakon-lakon manusia dari tarikan sejarah teologis sampai pada tragedi-tragedi realistis di zaman fiksionalitas ini.
Fragmen-fragmen salib dan penyaliban ditaburkan dalam cerita Dalam Hujan Hijau Friedenau, Delirium Mangkuk Nabi, Sepasang Ular di Salib Ungu, Sirkus Api Natasja Korolenko, Matahari Musim Dingin, Lumpur Kuala Lumpur, dan Neraka Lumpur. Imajinasi salib seperti jadi juru bicara untuk menantang nalar pembaca terhadap konstruksi cerita. Pengarang dengan keramaian imajinasi salib justru dengan eksplisit memberikan otoritas pembaca untuk menerima atau menolak. Cerita-cerita itu justru membuat pembaca memiliki hak untuk membaca sebagai salib, melakukan penyaliban terhadap cerita, atau menyalibkan diri untuk pasrah dalam cerita. Salib mengalami persemaian makna sebagai metafora mengandung tuah dan kuasa.
Nalar cerita subversif juga tampak dari pengolahan referensi sejarah Pangeran Dipanegara dalam cerita Sayap Kabut Sultan Ngamid dan biografi pendek Arthur Rimbaud dalam cerita Hantu di Kepala Arthur Rimbaud. Pengarang sengaja mencantumkan pijakan referensial dalam Babad Dipanegara, Asal-usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh (2004) garapan Peter Carey, dan Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (2006) garapan Bernard Dorleans. Subversi atas nalar sejarah digenapi dengan subversi nalar cerita untuk menciptakan letupan-letupan imajinasi dan ekstase fiksionalitas di hadapan rentetan fakta sejarah.
Nalar cerita dalam buku Ular di Mangkuk Nabi juga kentara membuktikan ketekunan pengarang untuk resepsi kritis terhadap sekian keriuhan referensi imajinasi dalam lukisan dan musik klasik. Pembaca bisa melakukan pencatatan atau pelacakan terhadap eksplisitas pengarang menghadirkan referensi dalam cerita. Pengarang dengan inklusif mengantarkan pembaca untuk melakukan pengingatan dan pencarian pembenaran dari konstruksi cerita. Nalar cerita lalu dioperasionalisasikan untuk kerimbunan tanda dan keramaian imajinasi dengan pelbagai referensi dan olah produksi atau reproduksi. Begitu.

Dimuat di Jawa Pos (2 Agustus 2oo9)

Universitas: Satire dan Tragedi

Bandung Mawardi

Universitas masih jadi tema belum selesai dalam persimpangan dari wacana intelektual sampai wacana kapitalisme. Perdebatan sengit tentang peran universitas memang terus digulirkan untuk mencari-menemukan formula konstruktif di antara godaan modal dan penjelmaan mesin pencetak tenaga kerja. Optimisme dan pesimisme terhadap peran universitas jadi menu perbincangan tanpa ada peta dan kompas. Tema universitas lalu jadi genit dan menggemaskan.
Universitas sebagai ruang publik kentara kehilangan fungsi karena penerapan pelbagai kebijkan dari internal dan penguasa secara politis. Universitas seperti jadi lahan untuk pertarungan kepentingan tapi kerap mengabaikan kaidah-kaidah keintelektualan sebagai basis pembentukan peradaban negeri. Vonis mengenai universitas sebagai pabrik atau pelayanan publik dengan transaksi ekonomi pun merebak di publik. Persepsi negatif ini merepresentasikan kegundahan publik tanpa ada gelagat dari pelbagai pihak untuk melakukan pembenahan universitas.
Mahasiswa sebagai komponen universitas juga mengalami peredupan gairah dalam menempuh studi dan mengonstruksi diri sebagai sosok inteligensia. Kerepotan mekanisme dalam pembentukan diri tentu dipengaruhi oleh sistem dan konsep dalam operasionalisasi universitas mulai dari kurikulum sampai pendanaan. Kebangkrutan universitas untuk jadi ruang persemaian inteligensia menjadi ironi dan getir. Mahasiswa mengalami penundukkan atau mengafirmasi pelbagai model pelemahan studi kritis dan mekanisme menjadi kontributor dalam menggerakkan tubuh dan ruh Indonesia.
Arief Budiman dalam esai Peranan Mahasiswa sebagai Inteligensia (1976) sudah memberi peringatan kritis bahwa ada gejala penurunan peran mahasiswa sebagai akibat dari kegagalan meresepsi model pendidikan di universitas secara produktif dan partisipatif. Mahasiswa sengaja masuk dalam desain pembangunan sebagai misi rezim dengan mengabaikan hak-hak untuk menjadi inteligensia. Keterlibatan mahasiswa dalam ranah intelektual, sosial, kultural, ekonomi, dan politik mengalami kelemahan karena rezim menerapkan ideologi tanpa interupsi. Mahasiswa diarahkan dalam kemanjaan dan model pendidikan konsumtif. Keberhasilan ideologi pendidikan ini mengakibatkan sarjana-sarjana keluaran universitas mengalami kelumpuhan dan kelinglungan paradigmatik.
Narasi mahasiwa pada hari ini mengarah pada tuduhan-tuduhan miring. Kasus di sekian perguruan tinggi di Solo menunjukkan bahwa peningkatan jumlah mahasiswa tak berimbang dengan ketersediaan tenaga pengajar, fasilitas, buku, ruang, atau program. Pandangan ironis adalah kegandrungan pengelola universitas untuk lebih mengurusi dandanan wajah dan tampilan fisik universitas. Pembangunan gedung, pagar, atau kantor justru diprioritaskan tanpa ada rasa sungkan. Hala mengejutkan adalah ada universitas malah repot mau membangun lahan parkir dua lantai demi meladeni peningkatan jumlah populasi kendaraan para mahasiswa.
Parkir adalah satire universitas pada hari ini. Mahasiswa identik dengan kendaraan dan parkir tapi tidak dengan buku dan perpusatkaan. Perpustakaan malah kerap diabaikan dalam pengurusan ruang dan pengadaan buku. Kultur konsumtif juga ditebarkan di dalam dan luar universitas. Menikmati pemandangan di 2 universitas besar di Solo seperti memandang keriuhan warung makan, tempat main game, kafe, toko pakaian, atau tempat tonkrongan. Mahasiswa gairah hadir di ruang-ruang konsumsi sebagai imbuhan model konsumsi dalam pengajaran. Ironi ini tiada henti.
Genealogi mahasiswa sebagai inteligensia dan universitas sebagai ruang publik dalam pembentukan peradaban di Indonesia secara kritis didedahkan oleh Daniel Dhakidae dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan (2003) dan Yudi Latif dalam buku Inteligensia Muslim dan Kuasa (2005). Dua studi itu dengan eksplisit mengisahkan peran universitas sebagai ruang publik produktif dan konstruktif. Mahasiswa hadir dalam ruang publik itu untuk menggembleng diri dan mengonstruksi diri sebagai motor atau lokomotif perubahan. Fakata historis itu mulai berubah karena mahasiswa sekarang kerap menempati posisi di gerbong-gerbong atas nama ekonomi kapitalistik atau birokrasi-kekuasaan. Mahasiswa terus kehilangan modal intelektual dan tunduk oleh modal kapital.
Populasi mahasiswa memang besar tapi tidak jadi jaminan secara kualitatif. Prosedur untuk jadi mahasiswa sekarang juga mulai diimbuhi oleh dalil-dalil modal uang ketimbang kapasitas keintelektualan. Prosedur ini melahirkan risiko kemunculan mahasiswa dalam jerat-jerat kepentingan pragmatisme. Kesadaran intelektual tergantikan dengan motif mendapatkan titel dan perebutan pekerjaan. Kondisi ini tragis tapi belum menjadi tema krusial oleh pihak-pihak pengampun kepentingan dalam dunia pendidikan. Universitas pun seperti pelayanan publik dengan kompensasi uang dan hasil. Universitas sebagai ruang publik mulai surut karena tidak ada model-model pendidikan emansipatif dan konstruktif.
Tragedi dalam dunia pendidikan dengan kasus universitas membuktikan keteledoran untuk mengurusi Indonesia mengacu pada basis pendidikan. Tragedi ini menyakitkan meski belum ada pengajuan solusi. Keprihatinan atas dunia pendidikan (universitas) secara eksplisit diwartakan oleh ST. Sunardi dalam Tahta Berkaki Tiga (2005). Risalah tipis dan reflektif ini jadi tanda seru untuk niat dan ikhtiar perubahan atas nasib pendidikan di Indonesia. Peran substantif universitas adalah mempersiapkan orang-orang untuk memiliki kepemimpinan intelektual dan moral. Peran ini mulai meredup karena ada kesengajaan dari pelbagai pihak untuk menjadikan universitas sebagai institusi dengan terapan industri dengan dalih-dalih laba atau pemenuhan mencetak tenaga kerja. Peran universitas pada hari ini patut mendapati pertanyaan dan gugatan dari siapa saja sebelum menjelma pabrik sarjana. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (18 Juli 2oo9)

Tragedi (Perempuan) Papua

Bandung Mawardi

Judul : Tanah Tabu
Penulis : Anindita S. Thayf
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetak : I, Mei 2009
Tebal : 240 Halaman

Papua tersuarakan dengan kata dan makna dalam novel Tanah Tabu anggitan Anindita S. Thayf yang memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008. Novel ini menjadi jalan imajinasi untuk ditempuhi pembaca dalam membaca dan menilai lakon Papua. Imajinasi Papua dibeberkan degan narasi-narasi apik dan impresif. Pengarang telah menunaikan hajat estetika dengan mengajukan novel Tanah Tabu sebagai risalah kaum perempuan menggugat diskriminasi, represi, depresi, dan agitasi.
Spirit pembebasan dan resistensi kultural-politik kentara jadi karakter substantif dalam 3 tokoh perempuan: Mabel, Mace, dan Leksi. Pembebasan dilakukan karena proses perubahan sosial, politik, dan kultural di Papua memaksa kaum perempuan dalam peran-peran pinggiran. Alienasi dan isolasi senagaj dilakukan oleh kaum lelaki terhadap perempuan sebagai tumbal dari perayaan superioritas maskulinitas dalam tegangan tradisi dan modernitas. Tanah Papua jadi ruang pergulatan intensif dengan pemunculan hero dan korban. Kaum lelaki ingin jadi hero sebagai taktik menutupi kelemahan atau kegagalan dalam melakoni hidup. Perempuan dijadikan korban dari arogansi kelelakian melalui laku politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Posisi pelemahan ini justru diresistensi kaum perempuan untuk menjadikan diri sebagai hero meski memberi taruhan harga diri dan nyawa.
* * *
Novel Tanah Tabu kental dengan refleksi atas diskriminasi kaum perempuan. Kondisi itu terjadi secara massif dan melahirkan bayang-bayang ketakutan dan kematian. Bapak sebagai representasi kuasa lelaki memberi gambaran horror pada si bocah perempuan Leksi. Tuturan Leksi ini jadi keluguan dan kelugasan gugatan terhadap dominasi lelaki: “Kubayangkan Bapak serupa sosok hantu yang pantang disebut, kecuali akan membuatmu celaka jika nekat. Bapakku mungkin saja seorang laki-laki yang mengerikan. Ataukah bukan manusia? Hii… Tak tahan, aku merinding sendiri.”
Kutipan getir ini merupakan bagian kecil dari perayaan gugatan Mabel dan Mace. Mabel ditinggalkan suami dengan alasan ketiadaan keseimbangan kompensasi harga diri heorisme lelaki di medan perang. Mace ditinggalkan suami karena risiko zaman atas nafsu hidup dalam duit tapi bukan spirit. Leksi lahir dan tumbuh dalam asuhan Mabel (nenek) dan Mace (ibu) dalam keterbatasan dan terobosan kemungkinan eksitensial secara ekonomi, sosial, politik, dan kultural. Nafas pemberontakan bertumbuh dalam diri tiga perempuan beda usia dan pengalaman.
Fakta perubahan di Papua memang berada dalam dilema. Kehadiran institusi birokrasi, pendidikan, partai politik, dan perusahaan dimaksudkan memberi kesadaran atau pencerahan meski kadang bertentangan dengan kearifan lokal di Papua. Operasionalisasi institusi-institusi itu justru menciptakan celah-celah kebangkrutan untuk kaum perempuan. Sektor pendidikan memang memiliki kemungkinan bagi kaum perempuan melek aksara dan harga diri. Sektor ekonomi industri pertambangan memang memberi godaan uang tapi salah ditafsirkan oleh kaum lelaki sebagai sebab untuk hidup konsumtif dan menindas kaum perempuan. Duit jadi janji kenikmatan dalam bentuk minuman keras dan seks. Risiko tragis lalu dialami oleh sektor pertanian karena mengalami kebangkrutan oleh kuasa dan limbah industri.
Kaum perempuan tak mendapati jaminan ekonomi dari perubahan represif melalui industri pertambangan. Mereka malah jadi korban mengenaskan dari ulah kaum lelaki. Hak untuk dapur terabaikan dan pola konsumsi kaum lelaki membuat perempuan jadi sasaran kekerasan dan pemiskinan. Keluarga-keluarga jadi retak dan pecah. Istri dan anak ditinggalkan tanpa ada kompensasi. Kondisi ini membuat kaum perempuan dalam jerat-jerat penderitaan, kemiskinan, dan kematian.
Model pengajaran spirit pembebasan dilakukan oleh Mace pada Leksi mengenai kasus pernikahan. Pernikahan adalah permainan yang berlangsung setiap hari dengan aturan-aturan diskriminatif. Mace memperingatkan agar Leksi tak terjerumus dalam fantasi pernikahan karena bakal ada risiko getir. Penjelasan dalam konteks permainan seperti jadi analogi sugestif untuk mengajarkan pemikiran kritis terhadap kaum lelaki. Leksi dengan angan bocah mengatakan: “Menikah itu ternyata susah. Lebih susah dari bersekolah. Tidak libur pada hari Minggu dan tanggal merah.”
Tindakan diskriminasi dan kekerasan oleh kaum lelaki dengan dalih ekonomi, seks, politik, atau kultural jadi wajah getir dalam novel Tanah Tabu. Kehidupan kaum perempuan terus dibayangi oleh ancaman dan tragedi. Perempuan jadi objek kekalahan menghadapi pelbagai perubahan. Papua sebagai tanah tabu mendapati godaan-godaan tanpa memiliki janji indah sebagai ruang hidup. Papua seperti perempuan yang diperkosa oleh para politikus dan pemilik modal. Janji-jani palsu membuat Papua bangkrut sebagai tanah emas. Kemiskinan dan derita justru disemaikan untuk membuat orang-orang Papua terpuruk karena kearifan lokal direcoki dengan kemajuan pembangunan tak humanis.
* * *
Kaum perempuan adalah korban mengenaskan. Eksistensi mereka seperti barang atau rongsokan. Kaum perempuan mesti menanggung aib dari tindak perkosaan terhadap Papua. Fakta ini jadi acuan untuk kritik dan satire dalam novel Tanah Tabu. Mabel memberi ajaran pada perempuan sebagai istri: “Kalau kau seorang yang ingin senantiasa menyenangkan suamimu, lebih baik tanggalkan dulu perasaanmu dalam lemari dapur. Kecuali kau ingin hatimu terus-menerus menangis karena perlakuannya yang seolah-olah lupa bahwa kau juga manusiaseperti dirinya.”
Takdir penderitaan seperti jadi milik Papua dan kaum perempuan Papua. Konflik kepentingan terus jadi lakon besar tanpa epilog. Papua jadi dalih untuk rebutan kekuasaan dan uang. Partai politik dan perusahaan-perusahaan besar merayu dengan tawa kecut. Papua menjadi komoditas untuk dikriminasi dengan menarik keuntungan di atas derita, tangis, kemiskinan, dan kebangkrutan. Kaum perempuan terus mendapati luka yang susah sembuh tapi tak gentar melakukan perlawanan meski rentan kalah oleh mesin politik, operasi militer, dan agitasi para pemilik modal. Luka juga diimbuhi oleh kaum lelaki karena salah tafsir dengan makna kemajuan atau pembangunan. Kehadiran kaum pendatang memberi efek-efek perubahan yang kerap harmonis dengan kultur Papua. Perbedaan dan konflik pun memberi luka di atas luka.
Novel Tanah Tabu mengingatkan pembaca terhadap derita kaum perempuan di Papua. Biografi Papua tak sepi dari perkosaan nilai-nilai kemanusiaan. Kaum perempuan dipaksa khusuk dengan tragedi tanpa hak-hak pembelaan. Papua telah jadi lahan subur untuk permainan politik dan ekonomi dengan mengorbankan keperawanan dan kearifan lokal. Kaum perempuan pun jadi objek dari tumpukkan kekerasan dan kemiskinan. Novel Tanah Tabu adalah tanda seru dan tanda tanya untuk semua pihak untuk memerkarakan Papua yang mesti bebas dari derita dan tragedi. Begitu.

Dimuat di Media Indonesia (18 Juli 2oo9)

Rumah Sejarah (Ndalem Padmasusastran)

Bandung Mawardi

Siapa peduli ketika melintasi Jalan Ranggawasita 153 Solo untuk menengok sebuah rumah sejarah di antara sesak deretan bangunan toko, rumah, dan warung makan? Di jalan dengan mengambil nama pujangga terkenal itu ada rumah pujangga besar di Jawa pada awal abad XX. Ada rumah sejarah yang sederhana dikenal dengan Ndalem Padmasusastran. Rumah kuno itu sudah tampak ringkih tapi menyimpan kisah-kisah penting dalam kehidupan sejarah, sastra, bahasa, dan kultural di Jawa.
Rumah itu menjadi saksi eksistensi dan laku krearif pujangga Ki Padmasusastra (1841-1926) yang menjadi juru bicara perubahan wacana kesusastraan Jawa pasca-Ranggawasita. Ki Padmasusastra pada masa muda berguru pada Ranggawarsita dalam olah sastra. Modal dari proses belajar direalisasikan dengan ketekunan membuat teks-teks sastra dengan bentuk gancaran (prosa). Bentuk ini merupakan gugatan terhadap dominasi pemakaian tembang atau puisi dalam kesusastraan (keraton) di Jawa. Gugatan tampak eksplisit dengan pemakaian julukan Ki Padmasusastra sebagai tiyang mardika kang mersudi kasusastran Jawi (orang merdeka yang mengurusi sastra Jawa tapi tidak masuk dalam patron keratio).
Rumah sejarah yang dulu merupakan pemberian dari Mangkunegara IV sekarang tampak sepi dan kehilangan aura atau spirit. Orang Solo sendiri mungkin jarang tahu bahwa rumah ringkih dengan halaman tanah dan pagar tanaman itu adalah situs sejarah dan kultural. Ketidaktahuan itu mungkin dipengaruhi oleh pengetahuan tentang sastra dan sejarah yang menganut pada kanonisasi teks sastra Jawa dan popularitas wacana Ranggawarsita sebagai pujangga akhir keraton. Nama Ki Padmasusastra pun menjadi kurang moncer karena masih sedikit peneliti memuplikasikan kajian secara ilmiah atau populer.
Ikhtiar mencari dan menghidupkan kembali spirit Ki Padmasusastra pernah dilakukan pada tahun 2000-an dengan dukungan dari pelbagai seniman. Sardono W. Kusumo menginginkan situs itu menjadi ruang ekspresi untuk pelbagai bentuk seni dari sastra sampai seni pertunjukkan dan dari seni tradisional sampai seni kontemporer. Ndalem Padmasusatran juga diorientasikan sebagai pusat kajian untuk sastra Jawa meski susah mendapati apresiasi. Ikhtiar itu terjadi dalam hitungan waktu pendek lalu hilang jejak tanpa ada komitmen dan konsistensi lanjutan.
Rintisan untuk menghidupkan kembali spirit Ki Padmasusastra mesti lekas dapat perhatian dari pelbagai pihak sebelum ada pelupaan kolektif yang ironis. Pemkot Solo dan dinas-dinas terkait perlu melakukan kebijakan penyelamatan dan perawatan bangunan yang sudah berusia di atas seratus tahun. Ikhtiar lanjutan adalah melakukan apresiasi kritis terhadap teks-teks Ki Padmasusastra untuk membaca kembali fragmen-fragmen historis Jawa dalam konteks bahasa dan sastra. Begitu.

Dimuat di Kompas Jateng (14 Juli 2oo9)

Jumat, 07 Agustus 2009

Sekali lagi, Geger Radya Pustaka

Heri Priyatmoko

Ronggowarsito. Sebuah nama yang menggetarkan dunia kesusastraan Jawa di abad XIX. Nama itu selalu dikenang sebagai pujangga besar yang karya-karyanya tetap abadi sepanjang masa. Dari pena pujangga ampuh Keraton Kasunanan tersebut mengalir beragam karya sastra kelas berat yang sarat nilai humaniora. Setumpuk bukunya mengulas falsafah, lakon wayang, sejarah, primbon, ilmu kebatinan, kisah raja, dongeng, syair, adat kesusilaan, dan lainnya. Daun kalender menunjuk angka 24 Desember 1873. Masyarakat Surakarta berkabung. Pujangga hebat ini tutup nyuswa. Untuk mengenang kiprahnya dalam dunia tulis-menulis, maka pada tanggal 11 November 1953, Presiden Soekarno mendirikan patung dada Ronggowarsito persis di halaman depan Museum Radya Pustaka Surakarta.
Di museum tertua nomor dua di Nusantara ini memiliki perpustakaan yang mengoleksi mahakarya Ronggowarsito dan pujangga lainnya. Keberadaan buku-buku kuno dalam almari kaca itu seolah memaksa pembaca menengok masa lalu sejenak. Bukan sekadar bernostalgia, melainkan membuka ruang kesadaran agar kita selalu belajar dari kearifan sejarah segala peristiwa di tempo dulu. Akhir-akhir ini, bila pecinta naskah kuno dan sejarah Jawa masuk ke perpustakaan Radya Pustaka, bukan kenikmatan yang justru diperoleh, melainkan keterkejutan atas kabar yang tak sedap. Yaitu, puluhan masterpiece buku kuno diketahui hilang dari tempat penyimpanannya! Artinya, jejak sejarah penting abad silam pun ikut terkuburkan.
Terkisah, Nancy Florida pada bulan Februari 2009, waktu kembali ke Indonesia, mengambil kesempatan itu untuk membaca di perpustakaan MRP guna mencocokkan dan memperbaiki catatan yang dibuatnya 25 tahun yang lalu. Pada saat itu baru diketahui bahwa 61 naskah kuno yang telah dia baca dulu sudah tidak dapat ditemukan lagi, entah ”ketelisut” atau hilang.
Sepulang ke Amerika dia mengirim daftar ke-61 naskah itu kepada petugas MRP, lengkap dengan catatan tentang judulnya, pengarangnya, tahun dibuatnya, ukurannya, dan nomor halamannya, dengan harapan bahwa daftar itu dapat membantu pelacakan naskah yang hilang itu. Ternyata di antara naskah yang hilang tersebut ada karya-karya agung yang tak terhingga nilainya, misalnya naskah tulisan tangan pujangga karaton R Ng Ranggawarsita; sebuah versi Kekawin Bratayuda yang dibuat tahun 1783 untuk Pakubuwana IV waktu beliau masih anak, dengan gambar-gambar dan iluminasi prada emas; Serat Yusup, yang dibuat pada tahun 1729 untuk Pakubuwana II di Kartasura atas perintah neneknya, Ratu Pakubuwana, yang juga penuh gambar-gambar, dan lain sebagainya (Kompas, 7 Juni 2009).
Beberapa tahun terakhir, museum yang didirikan Patih Sosrodiningrat IV ini menjadi sorotan nasional. Sebelum tahun 2006, museum yang kaya akan tinggalan sejarah berbagai periode (klasik, Islam, kolonial) walau letaknya di Kota Budaya, namun saban hari sepi pengunjung. Mereka datang sekadar kepingin diramal Mbah Hadi. Kemudian tahun 2007, masyarakat digemparkan atas hilangnya arca klasik. Para pelakunya justru orang dalam yang berkonspirasi dengan seorang pialang tenar yang malang-melintang sebagai agen barang antik. Baru saja, berita lenyapnya beberapa naskah kuno kian meyakinkan kita bahwa museum bukan lagi tempat yang paling aman untuk menyimpan koleksi warisan leluhur. Jika demikian, sebetulnya sejauh mana kita bersungguh-sungguh menghargai naskah kuno sebagai jejak peradaban?
Naskah Jawa merupakan suatu gejala global. Di seantero dunia terdapat koleksi naskah-naskah yang berasal dari Jawa, baik di perpustakaan universitas, museum, dan di perpustakaan nasional. Tentu saja koleksi naskah penting dilestarikan, baik di perpustakaan maupun menjadi koleksi pribadi, tetapi keberadaan koleksi naskah Jawa di luar negeri juga tidak kalah penting. Teringat pernyataan novelis Ceko Milan Kundera yaitu ”Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah”. Kalimat itu tidak berlebihan, dan sejarah telah banyak membuktikannya. Sebab itu, hasil kebudayaan tertulis suatu bangsa tidak boleh diremehkan.
Geger hilangnya buku-buku langka di Museum Radya Pustaka bukanlah kali pertama di Indonesia. Peristiwa serupa pernah terjadi juga di Museum Fatahillah. Bambang Budi Utomo (2008) mencatat, buku yang raib berjudul Oud en Niew Oost-Indien karangan Valentijn yang terbit tahun 1724-1726. Karya yang seluruhnya terdiri atas 8 jilid itu di seluruh dunia hanya ada beberapa kopi. Satu kopi dari buku tersebut menjadi koleksi Museum Fatahillah, tetapi kini raib entah ke mana. Ironisnya, hilangnya tidak sekaligus, tetapi buku demi buku, berlangsung sejak 2005 hingga ketahuan hilang tahun 2006. Tidak lama setelah diketahui hilang, seseorang menghadiahkan fotokopi buku-buku tersebut kepada Museum Fatahillah. Sayangnya, kasus tersebut tidak dilaporkan kepada pihak berwajib, apalagi terungkap oleh media massa.
Jaya Suprana dalam esainya yang menantang, Buku: Sebuah Kotemplasi yang dibukukan dalam Buku Membangun Kualitas Bangsa (Kanisius, 1997), menulis, kadang-kadang buku memang terlalu dikultuskan menjadi semacam berhala. Padahal pada dasarnya, buku sama sekali bukan suatu benda tujuan akhir, melainkan sekadar suatu media demi menunaikan fungsi yang lebih utama, yaitu menyampaikan informasi bagi para pembaca. Yang utama sebenarnya bukan bentuk apalagi nilai ekonomis sebuah buku, melainkan isi sang buku itu! Jaya Suprana juga menambahi, yang utama sebetulnya bukan membaca, melainkan mengerti makna isi sebuah buku kemudian didayagunakan untuk satu langkah karsa dan karya nyata produktif dan konstruktif.
Oleh karena itu, betapa besar kerugian kita lantaran setumpuk ingatan, kenangan, kreativitas dalam naskah itu tidak bisa dinikmati secara kolektif lagi. Masyarakat tiada dapat belajar ilmu pengetahuan lokal yang terkandung dalam naskah yang hilang dan mencomot kearifan lokal di dalamnya untuk bisa dijadikan pijakan bertindak di hari esok. Maka, pihak berwajib harus turun tangan melacak ”kitab-kitab pusaka” dimana kini berada. Ini merupakan bentuk pembuktian kesungguhan kita menghargai naskah kuno sebagai jejak peradaban. Kita mesti sadar, manusia tidak lepas dari lilitan epidemi amnesia atas kejayaan masa lalu. Dari buku-buku itulah manusia dapat selamat dari apa yang dikatakan Milan Kundera.

Jawapos, 12 Juli 2009

Di Solo, Penjahat Berpesta

Heri Priyatmoko

Mentari pagi menggerakkan sinar. Jagad Solo Raya lepas dari kegelapan. Dari genting dapur warung Simbok Kerto Kuat keluar kepulan asap. Sebagai tanda pemilik warung sudah melakukan aktivitas memasak untuk melayani para kuli di Pasar Legi.
Di atas meja, tergeletak koran Suara Merdeka tertanggal 2 Juli 2009. Terpampang dengan jelas berita di halaman Metro Solo bahwa maling sukses membobol Toko emas Dewi Sri di lantai dasar Matahari Singosaren. Emas seberat 600 gram digondol maling, dan kerugian ditaksir mencapai 120 juta.
”Penjahat di Kota Solo berpesta ria, mbok”, Tumi nyletuk begitu saja, menunduk, melihat tangan kanannya yang menggenggam kelapa, naik turun di atas parutan.
”Hus, omong opo kowe. Yen ngomong diatur nduk, ojo gaco nylemong. Buktimu endi?” Simbok Kerto Kuat yang baru goreng-goreng di dapur kontan ngomel mendengar celoteh anaknya itu.
Tetap sembari menekuni pekerjaannya, Tumi menjelaskan kepada simboknya. Dia menceritakan beberapa kasus kriminal yang baru-baru saja terjadi di Kota Bengawan. Dan, berbagai kasus ini masih menjadi pekerjaan rumah polisi. Antara lain perampokan di Jl Yosodipuro menggasak 190 juta (27 Maret 2008), perampok di Danukusuman menggondol 5,2 juta (15 April 2008), perampokan Jl Kapten Mulyadi kerugian puluhan juta (7 Mei 2008), penjambretan terhadap wisatawan asal Swedia di Jl Veteran kerugian jutaan rupiah (27 Juni 2008), dan perampokan di Jl Kapten Piere Tendean No 106, Nusukan dengan kerugian belasan juta rupiah (7 April 2009).
“Ini tidak hanya masalah duit ratusan juta yang melayang mbok, namun sudah menyangkut keamanan kota dan keselamatan warganya. Betul apa kata Tumi itu, para pelakunya mungkin sedang berpesta pora menikmati hasil kejahatannya,” kata Rido, kakak laki-laki Tumi, yang sibuk memilih karak gendar yang ditaruh dalam irig di sebelah simboknya.
Pada kenyataannya, tindak kejahatan di Solo tidak hanya terjadi di kampung atau jalanan saja, tetapi penjahat beraksi di ruang publik pula, yakni tempat perbelanjaan. Padahal, selama ini Solo menjadi tempat penting jujugan bakul-bakul dari luar kota yang hendak kulakan. Jadi sungguh ironis, mereka merasa ketakutan di kota yang terkenal ramah warganya dan adiluhung budayanya. Pendek kata, masyarakat luar maupun wisatawan yang hendak melancong bakal waswas manakala menginjakkan kaki di kota ini. Berbagai perampokan tersebut menimbulkan dampak yang saling berkaitan dengan rasa aman, ekonomi dan politik.
“Perampokan di Solo kok bisa semarak ini yo, le?” tanya Simbok Kerto Kuat polos.
”Entahlah Mbok, saya pun tidak tahu mengapa orang tak berpikir panjang dalam melakukan tindak kejahatan. Atau jangan-jangan sikap aparat penegak hukum yang apatis?” jawab Rido sekenanya.
”Tapi boleh juga ditarik kesimpulan lain, Kang. Yaitu, pelaku kejahatan terlanjur punya nyali terhadap penegak hukum, khususnya aparat kepolisian. Dengan melihat tingkat kualitas dan kuantitas kejahatan yang lumayan tinggi, kinerja kepolisian memang harus ditingkatkan untuk menegakkan wibawa dan menunjukkan kekuatannya sebagai penegak hukum yang jempolan. Hal ini sangat penting terutama guna menciptakan Kamtibmas di Solo agar selalu kondusif,” sahut Tumi seraya tangannya memeras-meras hasil parutan kelapa untuk bikin santan.
Jika polisi gagal tidak bisa mengamankan kota dari aksi kriminalitas, maka sungguh mungkin orang-orang tidak akan membiarkan terutama istri, anak gadis, familinya untuk pergi ke Solo sendirian. Hal ini selain membuat masyarakat setempat dan pendatang tidak nyaman dan tidak betah tinggal, juga kegiatan ekonomi akan terganggu.
Dalam hati kecil Simbok Kerto Kuat tersimpan sebuah harapan mulia: jangan sampai wajah Kota Solo kini berubah menjadi menyeramkan, dipenuhi pejahat-penjahat sadis siap menerkam warga kota.

Suara Merdeka, 11 Juli 2009

Folklor Jadi Jalan Hidup

Heri Priyatmoko


Masyarakat di lereng Gunung Lawu, khususnya di Desa Nglurah, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, dilihat dari demografis memiliki kekhasannya sendiri. Dari hasil observasi lapangan, penghuni Desa Nglurah bagian utara didominasi laki-laki jika dibandingkan dengan wanitanya. Demikian pula sifat wanitanya terkesan pemberani dan keras bak pria. Sebaliknya, di bagian selatan jumlah wanitanya lebih banyak daripada laki-laki, dan mempunyai sifat lemah lembut, sabar, tenang bagai wanita pada umumnya. Kendati demikian, mereka tetap menyatu dalam ritual yang disebutnya dengan dukutan dan sudah dilakukan secara turun-temurun.
Istilah dukutan itu sendiri berasal dari kata dukut yang berarti greget (semangat). Semangat kebersamaan di balik perbedaan karakter justru diyakini akan membawa kemakmuran warganya. Masyarakat di sana percaya bahwa desanya dilindungi dua kekuatan sakti yang berkonflik, yakni Kyai Menggung (Watu Gunung) dan Nyi Roso Putih (Dewi Sinta). Dua kekuatan itu pada akhirnya bersatu dalam ritual dukutan.
Sarana yang digunakan dalam pelaksanaan upacara dukutan, antara lain gedang setangkep, makanan jagung yang dibentuk (gandik), nasi jagung dalam bentuk tawonan gulo, iket bangun tulak, dan polo kependem. Sarana itu secara histori sebagi perlambang dari kehidupan harmoni yang dilakoni dua tokoh yang terus dipelihara dalam dongeng masyarakat Nglurah. Dan upaya merukunkan dua leluhur tersebut tersimbol pada puncak acara, yakni tawuran. Dalam prosesi ini, tiap-tiap warga yang berasal dari Desa Nglurah bagian selatan dan utara bertemu, dan saling melempar (tawur) perlengkapan yang mereka bawa. Setelah itu, ‘konflik’ Kyai Menggung dan Nyi Roso Putih dianggap selesai.
Dalam kebersamaan tersebut, Kyai Menggung dan Nyi Roso Putih meninggalkan pesan atau lebih tepatnya pantangan. Dalam pesan itu diungkapkan kemakmuran dan ketenteraman warga Desa Nglurah hanya bisa tercapai jika tidak membuka lahan untuk bercocok tanam padi. Sebaliknya, bila dilanggar warga bakal terkena kutukan atau musibah. Mereka dianjurkan menanam bunga dan jagung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam pemahaman warga Desa Nglurah, apabila dongeng ini dibedah, ditemukanlah sebuah kearifan lokal dalam mengelola alam beserta hasilnya untuk memenuhi hidup mereka. Secara geografis Desa Nglurah terapit oleh tiga anak gunung yang menyebabkan curah hujan relatif tinggi. Kalau ditanami padi akan rawan terjadi longsor. Juga seandainya ditanami sayuran, seperti di desa sekitarnya, mudah membusuk karena terlalu lembab. Maka, tidaklah heran bila di Desa Nglurah mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani bunga.
Dengan menanam bunga, lingkungan terjaga karena mengingat Desa Nglurah yang termasuk dalam lingkup kawasan Tawangmangu merupakan kawasan yang berpotensi terkena bencana longsor. Wejangan dua sesepuh tersebut pun pada akhirnya dijadikan pegangan hidup warga di sana. Secara ekonomis warga Desa Nglurah menuai sukses dengan berprofesi sebagai petani bunga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai sekolah anaknya, semua tercukupi dari hasil penjualan bunga atau tanaman hias seperti cemara, anggrek, supir, dahlia, anturium, dan sebagainya.
Jadi, dongeng Kyai Menggung dan Nyi Roso Putih bukan sekadar pengantar tidur. Cara penyampaiannya yang memang sederhana lewat ritual dukutan ternyata mudah dicerna dan bisa dilaksanakan masyarakat. Alhasil, penduduk Desa Nglurah bisa menerjemahkan dongeng ini sarat nilai pendidikan, pesan moral, dan norma yang musti dipatuhi secara kolektif. Yang menarik, makna rukun antara Kyai Menggung dan Nyi Roso Putih disimbolkan pada kebersamaan warga dalam menciptakan desa yang tata tentrem kerta raharja. Lewat dukutan itu pula warga tidak akan mudah lupa dengan pesan-pesan mulia leluhur.
Pasalnya, saban Selasa Kliwon pada wuku dukut mereka berdialog dengan leluhur lewat upacara dukutan. Seperti media untuk mengingatkan kembali bahwa masyarakat harus berusaha dan bersemangat dalam menghadapi hidup. Dengan begitu keharmonisan alam dan manusia terpelihara. Ironis memang kalau ada sebagian masyarakat yang menganggap pelaksanaan ritual budaya dan percaya terhadap folklor sebagai bentuk kebodohan dan ketinggalan zaman.

Media Indonesia 04 Juli 2009