Kamis, 24 September 2009

Membaca Puisi dan Kota Solo

Oleh Bandung Mawardi



Membaca puisi bisa menjadi jalan alternatif udan reflektif untuk membaca kota Solo. Sejarah dan perubahan Solo secara dokumentatif bisa diketahui dari catatan-catatan resmi pemerintah, artikel, berita, laporan penelitian, novel, dan tulisan-tulisan yang lain. Puisi sebagai genre sastra memiliki karakteristik yang memungkinkan penyair menceritakan sesuatu dengan kapasitas kebahasaan dan sistem pemaknaan yang kompleks dan sublim. Puisi-puisi yang menceritakan Solo sebagai suatu nostalgia kota atau dokumentasi sosial kultural pada proses penulisan dan pembacaan mengandung suatu perbedaan pesan, kesan, dan tafsir.

Rendra menulis sebuah puisi yang mengingatkan pembaca pada ruang publik yang terkenal di Solo, Sriwedari. Puisi berjudul “Pasarmalam Sriwedari, Solo” mendeskripisikan tentang suasana pasar malam Sriwedari pada tahun 1970-an dan cerita orang-orang yang ingin menemukan hiburan, rekreasi, petualangan, atau sekadar iseng hadir tanpa maksud yang jelas. Rendra menuliskan puisi itu sebagai bentuk pengalaman ketika lama mukim di Solo.

Rendra menulis: Di tengah lampu aneka warna,/ balon mainan bundar-bundar/ rok-rok pesta warna,/ dan wajah-wajah tanpa jiwa, kita jagal sendiri hati kita,/ setelah telinga jadi pekak/ dan mulut terlalu banyak tertawa/ dalam dusta yang murah/ dan bujukan yang hampa. Sriwedari sebagai ruang publik dan pusat hiburan-kesenian pada masa itu memiliki kekhasan dalam pandangan masyarakat Solo. Pasar malam adalah keramaian acara, hiburan, orang, dan suasana. Pelbagai hiburan dihadirkan dari tradisional sampai modern. Para pedagang menjajakan dagangan dari makanan-minuman sampai mainan bocah.

Pengamatan Rendra terhadap pasar malam Sriwedari terasa kritis ketika menyebutkan ada “wajah-wajah tanpa jiwa” yang mengesankan terjadinya krisis batin dalam diri para pengunjung. Alasan yang biasa diajukan ketika orang datang ke pusat hiburan adalah mencari hiburan, makanan, rekreasi, melepas lelah, atau memenuhi keinginan-keinginan yang lain. Pandangan kritis yang disampaikan Rendra itu mengandung persoalan besar tentang kondisi manusia-manusia kota yang hidup dalam suatu sistem dan tatanan kota yang keras.

Seseorang yang mengalami hidup di kota tentu mendapati pengaruh dari sistem politik, ekonomi, dunia kerja, hubungan sosial, kriminalitas, dan hal-hal lain yang berlaku di kota. Seseorang yang tidak mampu mengatasi kondisi represif kota atau terpengaruh dengan janji-janji atau mimpi-mimpi indah kota tentu akan mengalami kekosongan batiniah. Hidup dijalani dengan pura-pura (dusta) dan menampakkan diri sebagai sosok manusia yang kehilangan jiwa, spiritualitas, pikiran kritis, atau kesadaran..

Deskripsi tentang kota Solo diceritakan dengan pembahasaan yang berbeda oleh Andrik Purwasito dalam puisi berjudul “Fragmen Kota Solo” (1986). Andrik menceritakan suatu perjalanan yang dilakukan dari daerah Sriwedari menuju Jurug dengan menggunakan bus tingkat. Alat transportasi bus tingkat itu dulu terkenal pada tahun 1980-an dan menjadi suatu kendaraan umum yang menyenangkan untuk melakukan perjalanan keliling kota atau untuk keperluan sekolah dan kerja. Bus tingkat itu sekarang sudah tidak ditemukan lagi di jalan-jalan kota Solo. Bus tingkat tinggal jadi kenangan.

Membaca puisi Andrik mengantarkan pembaca pada suatu ingatan lama dan perbandingan suasana kota Solo. Perubahan-perubahan besar yang terjadi di kota Solo memang membuat kita mungkin tercengang dengan sesuatu yang baru dan kehilangan yang lama. Perubahan Solo niscaya mengandung risiko negatif dan optimisme pertumbuhan kota yang positif dan konstruktif. Andrik dalam puisinya mengungkapkan pandangan yang mengusung sejarah dan keinginan untuk terjadinya perubahan kota. Andrik menulis: Bulan berseri./ Kota yang tak kenal usai/ Siapa pun kau cintai, biar rumput-rumput memerah/ Meskipun sebuah kerajaan besar hampir musnah/ Tak lapukkan semangat juang rakyat ‘ntuk berbenah.

Deskripsi mengenai proses perubahan kota Solo terungkap dengan kritis dalam puisi-puisi Wiji Thukul. Penyair ini lahir pada tanggal 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen Solo. Wiji Thukul menulis puisi “Jalan Slamet Riyadi Solo” (1991) untuk mengenang perubahan besar yang terjadi di sepanjang jalan Slamet Riyadi. Kenangan itu: dulu kanan kiri jalan ini/ pohon-pohon asam besar melulu. Kondisi itu berubah pada tahun 1990-an. Pohon-pohon itu semakin jarang ditemukan dan yang ada adalah kesemrawutan jalan dan kondisi pinggir jalan yang sesak. Wiji Thukul menemukan banyak perubahan besar. Perubahan yang ada adalah di pinggiran jalan Slamet Riyadi terdapat diskotik, taksi, dan gedung-gedung tinggi-besar.

Wiji Thukul juga menulis puisi “Pasar Malam Sriwedari” (1986). Puisi ini menceritakan tentang suasana pasar malam yang kerap diadakan di Sriwedari. Deskripsi yang dituliskan Wiji Thukul mengandung kritik sosial dan mengarah pada penceritaan orang-orang dari kelas bawah. Inilah kondisi pasar malam Sriwedari pada tahun 1980-an: bel karcis di loket/ pengemis tua muda anak-anak/ mengulurkan tangan/ masuk arena corong-corong berteriak/ udara terang benderang tapi sesak/ di stand perusahaan rokok besar/ perempuan montok menawarkan dagangannya/ di stand jamu tradisionil/ kere-kere di depan video berjongkok/ nonton silat mandarin.

Wiji Thukul denga jeli memberi informasi tentang kondisi dan ruang dalam pasar malam Sriwedari. Ada subjek-subjek yang jadi pusat perhatian penyair: pengemis, perempuan yang berdagang, dan kaum kere. Kondisi kontras terasa ketika dibandingkan dengan hal-hal berikut: stand perusahaan rokok, stand jamu tradisionil, dan video. Perbedaan nasib terjadi dalam peristiwa apa pun dan dalam ruang publik tempat pertemuan banyak orang. Perbedaan nasib itu manandakan ada klasifikasi sosial dalam struktur-tatanan hidup di kota.

Deskripsi menarik yang dituliskan Wiji Thukul adalah nasib kesenian wayang orang Sriwedari. Perubahan kota Solo terus membawa banyak bentuk hiburan modern (mutakhir) yang gampang diterima dan dinikmati masyarakat. Kesenian sebagai bentuk hiburan estetika dan sosial perlahan ditinggalkan oleh masyarakat dengan banyak alasan. Wiji Thukul menceritakan: di dalam gedung wayang wong/ penonton lima belas orang. Cerita itu menunjukkan kebangkrutan yang dialami oleh seniman wayang wong Sriwedari yang pada zaman dulu terkenal dan disukai masyarakat penonton. Kondisi tragis dan jumlah penontong 15 itu tentu tidak sebanding dengan ruang pertunjukkan yang besar, jumlah kursi banyak, dan jumlah penyaji pertunjukkan (seniman) yang banyak, petugas gedung, dan pedagang.

Membaca puisi-puisi yang ditulis oleh Rendra, Andrik Purwasito, dan Wiji Thukul bisa mengajak pembaca untuk melakukan pengingatan (rekonstruksi) atas Kota Solo pada tahun 1970-an sampai 1980-an. Kondisi itu cepat mengalami perubahan pada saat ini. Perubahan-perubahan itu adalah keniscayaan dari keberadaan kota dan pertumbuhan modernitas di Kota Solo. Kesadaran kritis yang ditemukan dalam puisi-puisi tiga penyair itu adalah adanya perubahan yangh diinginkan membawa risiko yang tragis dan menimbulkan ketimpangan masalah-masalah sosial kultural. Kota Solo yang sekarang berbenah layak untuk dilihat dan dinilai. Puisi bisa menjadi sebuah medium yang reflektif dan dokumentatif untuk mencatat perubahan-perubahan Kota Solo. Membaca puisi tentang Solo mengingatkan pembaca pada nostalgia kota dan menjadi suatu refleksi untuk mengangankan kondisi kota yang terus berubah. Begitu.



Dimuat di Joglosemar (6 September 2oo9)

Tidak ada komentar: