Kamis, 24 September 2009

Kaligrafi dan Biografi

Bandung Mawardi



Kaligrafi mengusung fragmen-fragmen penting dalam biografi panjang peradaban Islam. Kaligrafi sebagai manifestasi estetika dan religius menjadi tanda dari ikhtiar manusia untuk mencari dan mencapai sublimitas nilai-nilai tauhid. Kaligrafi merupakan seni menulis indah dalam tegangan religiositas, estetika, dan politik. Kaligrafi mengacu pada Al Qur’an sebagai ruh dan realisasi karakter estetika religius. Ismail R. Al Faruqi (1986) menilai bahwa kaligrafi adalah manifestasi sublim dari ungkapan estetika religius (tauhid).

Kaligrafi lahir dan tumbuh dalam otoritas religius, legitimasi politis, dan olah estetika sejak Dinasti Ummayah (661-750) sampai pada masa seni kaligrafi kontemporer di negara-negara muslim. Kaligrafi pada masa lalu memiliki pusat-pusat pengaruh di Damascus, Baghdad, Mesir, Turki, dan Persia. Kaligrafi dalam masa mutakhir mulai menunjukkan karakteristik estetika sesuai dengan latar kultural dan pengaruh seni rupa modern. Karakter-karakter itu ada dalam seni kaligrafi di pelbagai penjuru pusat-pusat peradaban Islam mulai dari Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika, Eropa, dan Asia Tenggara.

Kaligrafi sebagai manifestasi estetika religius tak luput dari tegangan politik dan kultural. Kasus fenomenal dalam eksistensi dan pertumbuhan kaligrafi terjadi di Turki pada abad XX. Tegangan itu merupakan akumulasi dari benturan referensi dan orientasi peradaban. Turki merupakan titik temu dari Timur dan Barat dengan retakan dan rentan konflik. Keputusan politik untuk program sekulerisasi dalam spirit Barat membuat seni kaligrafi mengalami represi dan marginalisasi. Kaligrafi dalam konteks politik sekuler adalah juru bicara agama. Peran dan pengaruh kaligrafi pun mendapat tindakan pembungkaman dan pengalihan status sebagai representasi pandangan tradisional atau ortodoks dalam progresivitas pembentukan negara modern.

Jejak-jejak dalam fragmen fenomenal itu dikisahkan dengan apik dalam novel Seniman Kaligrafi Terakhir (La Nuit Les Calligraphes) anggitan Yasmine Ghata. Novel itu merupakan narasi liris dalam perspektif kritis. Kaligrafi dalam masa sekularisasi Turki merupakan korban dalam konteks estetika, religiositas, dan politik. Refleksi kritis mengenai tegangan kaligrafi dalam sekularisasi Turki tampak dalam narasi ini: “Tuhan tidak tertarik pada abjad Latin. Napas-Nya yang padat tidak dapat meluncur di atas huruf-huruf berbentuk pendektambun yang terpisah-pisah itu. ‘Ataturk telah mengusir Tuhan dari negeri ini,’ kata para seniman kaligrafi berulang-ulang.”

Kaligrafi yang pernah menjadi puncak estetika religius di Turki tiba-tiba sekarat oleh politik dan sekularisasi. Represi dan peminggiran seni kaligrafi pada rezim Ataturk membuat seniman kaligrafi terluka. Seni kaligrafi mengalami nasib apes karena untuk eksis harus ada di ruang-ruang sempit dan mendapati stigma sebagai momok modernitas.

Keputusan politik untuk menggantikan bahasa Arab dengan bahasa Latin di Republik Turki pada tahun 1928 menimbulkan benturan-benturan keras. Nasib seni dan seniman kaligrafi pun berada dalam batas tipis hidup dan mati. Tokoh Rikkat (nenek Yasmine Ghata) dalam novel itu menuturkan pertaruhan nasib dari seniman-seniman kaligrafi atas nama estetika religius dalam represi politik dan kultural. Rikkat mengisahkan bahwa politik Ataturk membuat tangan-tangan seniman kaligrafi gemetar. Gemetar itu representasi dari gairah untuk hidup dalam ketakutan dan kebencian. Harga diri menjadi taruhan untuk eksistensi seniman kaligrafi.

Tokoh Selim (guru Rikkat) menjadi juru bicara dari kaum seniman kaligrafi di Turki. Selim adalah seorang saleh, ulet, dan pendiam. Selim memberikan diri dalam seni kaligrafi. Ritual religius adalah basis untuk seni kaligrafi. Ritual dilakukan dengan menciumi Al Quran secara khidmat setiap hari. Salim percaya bahwa ketika menulis kaligrafi berada dalam pengawasan ketat Rasulullah. Seni kaligrafi menjelma sebagai manifestasi keselarasan sabda dan gerakan tangan dalam orientasi tauhid. Represi politik membuat Selim bunuh diri sebagai proteksi dan resistensi. Kematian Selim itu dalam pandangan Rikkat adalah kematian dengan darah dingin.

Kisah tragis Selim menimbulkan pesimisme pada diri Rikkat untuk tekun menjadi seniman kaligrafi atau mengundurkan diri sejak dini. Kondisi zaman itu memberi ragu bahwa seorang seniman kaligrafi bakal susah hidup makmur karena ekspansi mesin cetak dan kuasa huruf Latin. Pilihan untuk menjadi seniman kaligrafi adalah ilusi mengenaskan. Pesimisme itu mendapatkan jawaban mumpuni dari Rikkart. Dalil untuk menjadi seniman kaligrafi: (1) resistensi kreatif seorang perempuan dalam rumah tangga; (2) ekspresi estetika religius; (2) meneruskan jalan atau alur seniman-seniman kaligrafi di Turki; (3) resistensi politis atas sekulerisasi.

Rikkat membuat putusan eksistensialis untuk melunaskan diri sebagai perempuan dalam kompleksitas estetika, religiusitas, keluarga, politik, dan kultural. Peristiwa fenomenal terjadi pada tahun 1936 ketika Rikkat memenangi ujian kaligrafi di Akademi Kesenian (Istanbul). Peristiwa itu memberi hak pada Rikkat untuk menjadi pengajar dengan kompensasi dilematis: kontrol politik dan pamrih pewarisan seni kaligrafi. Rikkat menganggap pengajaran kaligrafi di institusi pendidikan formal mungkin untuk memiskinkan seni kaligrafi, tunduk terhadap otoritas politik, dan pesimisme puncak-puncak kaligrafi dalam sejarah Turki.

Kaligrafi dalam biografi tokoh Rikkat mencakup dalam pengetahuan esoteris dan eksoteris. Otoritas Selim dan seniman-seniman tua memberikan gairah untuk Rikkat khusuk meleburkan diri dalam laku estetika religius. Pengalaman rohani selalu menjadi referensi penting untuk mencecap pengetahuan kaligrafi. Laku dalam menulis kaligrafi menuntut keintiman dan interaksi dalam gairah. Imajinasi (gagasan), peralatan kerja, dan tubuh adalah komponen ketat dalam menulis kaligrafi. Rikkat percaya bahwa laku religius menjadi basis untuk eksistensi seniman kaligrafi. Laku menulis kaligrafi menjadi akumulasi dari puncak ekspresi estetika religius dalam tegangan politik dan kultural.

Biografi Rikkat dalam novel itu merepresentasikan sekian perkara pelik dalam seni kaligrafi. Rikkat sebagai perempuan menjadi fenomena minoritas dalam tradisi seni kaligrafi. Rikkat sadar diri dalam posisi sebagai perempuan tapi kompetensi dan kapasitas membuat diri sanggup menempati posisi puncak sebagai seniman kaligrafi kontemporer papan atas. Rikkat juga harus menghadapi tegangan dalam kehidupan keluarga. Ikhtiar menjadi seniman kaligrafi mungkin jadi alasan instrumental dari dua kegagalan kehidupan rumah tangga Rikkat. Sekularisasi menjadi godaan besar untuk Rikkat menentukan putusan menjadi seniman kaligrafi atau mengundurkan diri dengan naif. Kondisi politik dan kebudayaan pun memberi tegangan untuk menekuni seni kaligrafi dalam ekstase estetika religius.

Kaligrafi sebagai tanda besar dalam sejarah peradaban Islammenemukan godaan-godaan mutakhir dalam abad-abad modern. Kaligrafi di Turki menjadi representasi pertarungan dan tegangan estetika, religiositas, dan politik. Annemarie Schimmel (1992) mengungkapkan bahwa kaligrafi dalam sejarah awal Islam adalah puncak pemahaman atas berkah huruf-huruf suci dalam Al Quran. Tradisi estetika religius itu perlahan mengalami pergulatan-pergulatan dalam konteks politik dan kultural. Kaligrafi menjadi akumulasi dari kompleksitas referensi dan orientasi dari alur tradisionalitas sampai modernitas. Begitu.



Dimuat di Lampung Post 13 September (2oo9)

Tidak ada komentar: