Bandung Mawardi
Judul : Tanah Tabu
Penulis : Anindita S. Thayf
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetak : 2009
Tebal : 240 Halaman
Novel Tanah Tabu menyapa pembaca dengan naras-narasi kritis tentang perempuan, kapitalisme, patriarki, dan kekuasaan. Novel jadi juru bicara untuk membuka memori kolektif dan memaparkan pelbagai kebobrokan dan marginalisasi terhadap Papua. Biografi Indonesia masih sekadar menjadikan Papua sebagai catatan kaki. Kondisi membuat orang-orang Papua mengalami pengabaian secara sistematis dan ideologis. Papua justru jadi argumentasi politik dan ekonomi untuk menumbuhkan klaim tentang harga diri Indonesia di hadapan negara-negara lain.
Pengarang sengaja menghadirkan tokoh-tokoh kunci (Mabel, Mace, Leksi) untuk memerkarakan Papua dalam perspektif perlawanan dan kepasrahan dengan keterpaksaan. Mereka hadir dalam konstruksi peradaban tanpa akses dan hak karena negara dan pemilik modal telah melakukan dominasi. Papua jadi tubuh luka oleh perkosaan (eksploitasi) ekonomi, politik, identitas, dan kultural. Novel Tanah Tabu hadir untuk memberi narasi kritis dalam memerkarakan Papua.
Sastra Pinggiran
Novel ini memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008. Dewan juri (Kris Budiman, Linda Christanty, dan Seno Gumira Ajidarma) memilih novel ini dengan sekian argumentasi untuk mengesahkan Tanah Tabu sebagai representasi nasib masa depan novel Indonesia. Tanah Tabu cenderung jadi novel dengan suara-suara kritis memakai acuan lokalitas dalam wacana pinggiran kesusastraan Indonesia modern.
Pemakaian latar Papua menunjukkan kesanggupan pengarang untuk diposisikan sebagai pengarang pinggiran. Pilihan latar dan tumpukan masalah tentang Papua selama ini kerap digarap oleh kalangan aktivis politik atau LSM. Kesusastraan Indonesia justru lengah untuk memberi perhatian dan ruang mengenai lakon-lakon kultural dari ranah pinggiran. Pengarang sadar bahwa pilihan menulis novel Tanah Tabu menjadi resistensi terhadap dominasi novel Indonesia dengan latar kultural Jawa dan Sumatra.
Anindita dalam obrolan sastra di Taman Budaya Jawa Tengah (18 Juli 2009) dengan tema Masa Depan Novel Indonesia mengakui: “Saya menyebut Tanah Tabu sebagai sastra pinggiran. Tanah Tabu berkisah tentang manusia-manusia pinggiran dan sengaja dipinggirkan. Kisah tentang prang-orang biasa yang berusaha mengalirkan hidupnya secara wajar. Mereka bekerja, menangis, berkeringat, tertawa, putus asa, dan berusaha apa adanya.” Pengakuan ini jadi ideologi estetika dan dieksplisitkan melalui karakterisasi tokoh-tokoh perempuan sebagai korban tapi penantang.
Lakon Perempuan
Tanah Tabu mengisahkan lakon hidup tiga perempuan dalam fase (generasi) berbeda. Mabel jadi tukang kisah tentang proses peradaban di Papua melalui ketengangan kultural dari sisa-sisa kolonial, lokalitas, dan penetrasi kultur pendatang dari Jawa atau daerah-daerah lain. Mabel melakukan afirmasi terhadap model pendidikan dari keluarga asing secara konstruktif. Pengathuan dan praktik hidup dalam proses peradaban atas nama modernitas itu justru menjadi acuan kritis untuk menolak pelbagai norma-norma hidup di Papua dalam cengkraman patriarki..
Mabel terus melakukan resistensi dari model-model dominasi atas perempuan melalui mesin parta politik, ekonomi kapitalistik, militerisme, dan hegemoni kultural. Perlawanan Mabel kerap menemui “kekalahan” tapi memberi spirit bahwa kebermaknaan hidup perempuan tidak ditentukan secara absolut oleh desain kaum lelaki. Spirit emansipatif itu diwariskan pada Mace dan Leksi dengan perbedaan kadar dan bentuk ekspresi. Mace justru mengalami pelemahan karena mengalami represi dari perkosaan sampai jadi korban tindak kekerasan tanpa janji keselamatan. Leksi menjadi pewaris naif tapi sanggup merumuskan diri sebagai perempuan penantang meski masih bocah.
Mabel, Mace, dan Leksi terus menghadapi godaan dari pola kehidupan patriarki, kegenitan politik, intervensi eksploitatif dari negara, dan ekspansi ekonomi pertambangan asing. Papua dan tiga perempuan itu seperti menjadi tubuh terbuka untuk mengeruk uang dan kuasa. Perlawanan dan kepasrahan adalah risiko untuk tetap memiliki haraga diri sebagai perempuan. Rentetan tragedi terjadi tapi tiga perempuan Papua itu belum ingin mati atau berhenti tanpa arti. Resistensi ekonomi, politik, dan kultural membuat mereka jadi santapan dari kekerasan, militerisme, hinaan, diskriminasi, dan marginalisasi.
Resistensi
Ekspresi resistensi terasakan dalam ambisi untuk melakukan demonstrasi karena orang-orang Papua selalu jadi pihak merugi tanpa kompensasi seimbang. Mabel terlibat aktif dalam proses penyadaran terhadap orang-orang Papua. Pelbagai pertimbangan mengenai target dan risiko diajukan untuk realisasi demonstrasi. Seorang tokoh mengekspresikan resistensi dengan tendensi membongkar stereotip terhadap kaum pribumi Papua di mata para pendatang: “Mereka seharusnya takut sama kita karena mereka hanya pendatang. Orang asing. Mereka mencari uang dan hidup di tanah kita. Jadi kaya dan hidup senang karena mengambil emas kita. Sedangkan kita ... tidak dapat apa-apa kecuali kotoran mereka dan janji-janji palsu. Cuihh!”. Ekspresi ini menjadi bentuk kemarahan atas praktik kapitalisme di Papua tanpa ada janji dan jalan penyelamatan.
Resistensi patriarki menjadi tema penting dalam novel Tanah Tabu dalam bayang-bayang kuasa kapitalisme dan negara. Mabel tidak takut melawan meski taruhan nyawa. Ekspresi resistensi jadi penting untuk membuktikan bahwa orang-orang Papua tidak lemah dan merubah stereotipe orang-orang Papua tak beradab, bengis, atau liar. Mabel adalah juru bicara penyadaran karena memiliki perangkat pengetahuan kritis tanpa harus melakukan gerakan-gerakan kultural secara gegabah dan konyol.
Lakon perempuan dan resistensi terhadap pelbagai mesin dominasi atau hegemoni dirumuskan oleh pengarang dalam ungkapan reflektif: “Di ujung sasr ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Dan air mata hanyalah untuk yang lemah.” Pengarang telah memberikan novel Tanah Tabu ini untuk pembaca dengan pesan penyadaran dan tanggapan kritis. Pembaca memiliki hak untuk membaca dan menilai dalam pelbagai tendensi dan pamrih untuk memerkarakan Papua. Begitu.
Dimuat di Suara Merdeka (16 Agustus 2oo9)
Kamis, 24 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar