Bandung Mawardi
Niels Mulder merupakan tokoh penting dalam studi Jawa dengan tendensi pendekatan antropologi tapi inklusif untuk pendekatan multiperspektif. Ketekunan dan kerja keras untuk memerkarakan Jawa tampak dari sekian publikasi tulisan: Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (1973), Jawa-Thailand: Beberapa Perbandingan Sosial Budaya (1982), Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (1984), Pribadi dan Masyarakat di Jawa (1985), Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia (2001), Ruang Batin Masyarakat Indonesia (2001), dan Di Jawa: Petualangan Seorang Antropolog (2007). Publikasi penelitian-penelitian itu membuat Mulder mendapati pengakuan sebagai ahli Jawa dengan otoritas keilmuan dan pengalaman sosial-kultural secara intensif dan empati di Jawa.
Konklusi Mulder (2007) mengenai lakon Jawa menampakkan pandangan kritis dan patut disadari sebagai tanda seru atas perubahan sosial-kultural di Jawa. Mulder mewartakan gelisah dan satire atas Jawa pada tahun 1990-an dengan tarikan perbandingan pada tahun 1960-an akhir. Satire ini hadir mengacu pada studi intensif dan representasi pengalaman diri selama tinggal di Jawa. Mulder mengungkapkan bahwa proses perubahan masyarakat secara terbuka pada masa Orde Baru membuat identitas Jawa menjadi kabur untuk pengamat dan publik Jawa sendiri. Perubahan terbuka itu tampak dari afirmasi atas ideologi dan perilaku konsumsi masyarakat Jawa mulai dari materi sampai jagad nilai.
Satire atas identitas Jawa menjadi kabur tentu bukan celotehan murahan tapi akumulasi dari catatan panjang dari fragmen-fragmen Jawa pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Identitas Jawa tentu tak bisa bebas dari pengaruh kekuasaan sebagai sumber dan pemicu gerak perubahan. Ideologisasi dan operasionalisasi mesin politik menentukan mekanisme proteksi dan konstruksi etnisitas. Ikhtiar memiliki identitas kultural Jawa lalu berhadapan dengan kekuasaan untuk menerima atau melakukan resistensi tapi rentan mengalami nasib tragis. Kekuasaan membuat tegangan sosial-kultural mengandung konflik, deviasi, dan derivasi tanpa ada jaminan untuk keutuhan-kemutlakkan dalam substansi identitas.
Jawa dalam Orde Lama dan Orde Baru adalah lakon terbuka untuk mengalami perubahan dengan kontrol kekuasaan. Perubahan terjadi dengan penemuan dan kehilangan. Identitas Jawa menjadi pertaruhan untuk menemukan legitimasi secara politik atau kultural. Kerja politik selalu memberi tawaran menggoda untuk mengusung nasionalisme tapi tak bisa utuh dalam memberi janji dan orientasi. Kerja kebudayaan mungkin jadi pilihan tapi kerap gagal atau terhalangi oleh realisasi konstitusi dan kesadaran politis atas nama institusi dan revolusi atau pembangunan. Identitas rentan pecah dan kabur ketika mencapai pada titik kritis karena ketidaksanggupan memberi arti pada kekosongan kultural.
Satire dari Mulder mungkin menempuh jalan kecil untuk mengingatkan dan memberi kesadaran reflektif. Mulder mengungkapkan: “Pengaruh baru telah tiba di panggung kultural. Kebudayaan konsumer yang berorientasi ke segala sesuatu yang asing, kebudayaan yang mendevaluasi warisan lokalnya dan membuang masa lalu sedang menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berarti. Dalam cara demikianlah Yogyakarta kehilangan peranan sebagai pusat kebudayaan dalam pengertian memproduksi dan mereproduksi kejawaannya.”
Kutipan ini mengambil kasus Yogyakarta tapi mungkin juga terjadi di Solo dan pusat-pusat kebudayaan lain. Kepudaran pusat kejawaan memang menandakan ada pola sebaran dan keruntuhan dominasi. Pemaknaan atas kehilangan peran mungkin cenderung berlebihan tapi mengesankan ada fakta dan argumentasi kokoh untuk pengajuan perspektif. Yogyakarta memang kentara mengalami perubahan besar dalam pelbagai hal mengacu pada rentetan sejarah dan proses menjadi Jawa atau meninggalkan Jawa. Yogyakarta mengalami proses perubahan dengan tegangan acuan untuk politik pusat dan kebudayaan nasional atau tendensi untuk memihak kejawaan sebagai representasi etnisitas. Bentuk dan mekanisme perubahan itu diwartakan dengan apik dan kritis oleh Selo Soemardjan dalam buku Perubahan Sosial di Yogyakarta (1981). Buku Kota Yogyakarta 1880-1930: Sejarah Perkembangan Sosial (2000) garapan Abdurrachman Surjomihardjo juga patut jadi referensi membaca Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Refleksi substantif dari Mulder adalah model memproduksi dan mereproduksi kejawaan. Model ini mengingatkan pada publik Jawa tentang kerja dan laku aktif untuk kepemilikan identitas atau proteksi diri terhadap serbuan identitas global melalui ideologi konsumsi. Publik Jawa mungkin lupa terhadap keharusan memproduksi kejawaan ketika menginginkan diri hadir dengan biografi kultural. Kekuasaan dan kebijakan atas kebudayaan memang menggiring kesadaran etnisitas berdiri di pinggiran zaman. Tema besar untuk dituruti adalah ekonomi-politik global dengan pertumbuhan mentalitas konsumsi dan reduksi atas potensi memproduksi sebagai keniscayaan eksistensi kultural.
Kelengahan terhadap lakon globalisasi-kapitalisme membuat lakon Jawa mengalami kebangkrutan. Model mereproduksi kejawaan lalu menjadi pilihan untuk mekanisme menjadi Jawa. Model ini memang tak mutlak bicara otentisitas tapi proses perubahan tanpa memutus akar atau menafikkan biografi kultural. Ikhtiar mereproduksi juga terus mendapati bayang-bayang kekuasaan meski dalam kadar tak mutlak. Jalan seni dan kearifan lokal tentu menjadi pilihan atas nama identitas Jawa dengan pertaruhan kurang memiliki efek besar sebagai juru bicara. Pemilihan itu pun kerap dicurigai sebagai notalgia sentimentil atau revivalisme tanpa kritisisme.
Mereproduksi Jawa seperti ikhtiar membuat identitas Jawa berubah tapi masih memiliki legitimasi terhadap sumber asal. Model ini mungkin dilakoni karena takdir zaman menggerakkan kehidupan dalam anutan-anutan ideologi besar melalui mesin politik, ekonomi, pendidikan, seni, dan kebudayaan. Identitas Jawa dalam situasi ini menjadi bab kecil atau catatan kaki ketika kiblat hidup mesti memakai orientasi global. Pengakuan atas pengalaman dan konklusi dari Mulder mengandung kebenaran dalam pengertian identitas Jawa patut menjadi pertanyaan di antara kerumunan tema-tema besar kapitalisme dan globalisasi. Kesadaran atas identitas memungkinkan orang tidak tunduk absolut terhadap penciptaan masyarakat konsumsi.
Kesadaran atas mekanisme produksi dan mereroduksi kejawaan tentu jadi rentan dengan klaim dan aktualisasi diri. Model ini memberi kebebasan pada orang untuk menjadi Jawa dengan referensi masa lalu atau sadar dengan konteks kekinian dan kedisinian. Penilaian atas ikhtiar menjadi Jawa lalu cair tanpa harus kaku untuk menganut pola pembakuan dari stereotip masa lalu. Orang mungkin menjadi Jawa dengan perubahan eksplisit dari pilihan pakaian, bahasa, makanan, hobi, arsitektur, atau seni. Orang Jawa mutakhir bisa hadir dengan mereproduksi pelbagai sumber dengan ketentuan-ketentuan mekanistik tanpa harus menganut mutlak pada otentisitas atau orisionalitas. Identitas Jawa pun inklusif untuk mengalami perubahan tiada henti dalam zaman yang berlari.
Dimuat di Suara Merdeka (23 Agustus 2oo9)
Kamis, 24 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar