Bandung Mawardi
Mobil di negeri ini adalah diskursus terang dan gelap mengenai proses peradaban dan pemaknaan semiotis terhadap konstruksi identitas. Mobil telah memberi pengesahan secara artifisial terhadap laku ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan kultural. Biografi mobil telah melahirkan gagasan-gagasan besar atas nama perubahan alias kemajuan dalam jejak-jejak modernitas. Biografi identitas kultural manusia-manusia Indonesia dengan intim melekatkan diri dengan biografi mobil. Inilah lakon genit mobil dan manusia dalam tafsir ambiguitas.
Biografi Hindia Belanda mencatat bahwa pemakaian mobil di negeri jajahan ini sejak awal abad XX sudah terhitung banyak. Pada tahun 1938 telah terdapat 51.615 mobil di Hindia Belanda. Sejumlah 37.500 tersebar di kota kota di Jawa (Rudolf Mrazek, 2006: 25). Mobil di Jawa jadi simbol dari perayaan modernitas dengan sirkulasi modal dan pencapaian identitas kultural melalui ketegangan nilai-nilai Barat dan Timur.
Pemilik mobil di sebuah kota penting di Jawa adalah Paku Buwono X. Raja dari Solo ini memiliki mobil pada tahun 1907 dan mendahului kepemilikan mobil oleh Residen. Kepemilikan ini menandakan afirmasi keraton terhadap impian menjadi manusia modern. Mobil merupakan tanda besar selain makanan, pakaian, kereta, atau persenjataan. Raja memiliki mobil buatan Eropa berarti ada permainan simbolis untuk menguatkan kedudukan di mata kaum pribumi, Belanda, Eropa, dan Cina di Jawa. mobil sanggup mengisahkan kebesaran raja dan otoritas keraton dalam bayang-bayang kolonial dan modernitas. Mobil telah masuk dalam ranah klangenan.
Kuntowijoyo (2004: 31) mengungkapkan bahwa Paku Buwono X kerap bercengkrama (thedakan) ke berbagai pesanggrahan di luar kota. Prosesi ini mendapat pemberitaan di koran lokal sesuai perintah raja. Kepergian ke luar kota dengan memakai mobil tentu mengindikasikan ada perubahan makna terhadap identitas diri, jalan, perjalanan, dan konsep mobilitas diri.. Mobil tidak sekadar alat transportasi tapi menyuguhkan potensi-potensi imaji dan auratik untuk kepentingan raja. Mobil bisa mendefinisikan pemakai dan penonton sesuai dengan latar sosial dan kultural.
Imaji dan aura juga bisa ditafsirkan melalui foto Paku Buwono X di samping mobil jenis Daimler-Benz. Foto bersejarah ini termuat di buku Kratonkoetsen op Jawa. Foto itu memperlihatkan sosok raja dalam balutan pakaian kebesaran paduan Jawa-Eropa dengan pose gagah dan berwibawa. Mobil menjadi latar belakang dengan pose besar, tinggi, dan seksi. Foto ini mengesankan raja ingin mendapati makna lebih secara semiotis dari keberadaan mobil, pengawal, dan sopir. Definisi diri dengan logis bisa ditentukan dengan mobil. Raja telah merepresentasikan diri sebagai pemuka dari model konstruksi identitas kultural dalam percampuran Timur-Barat.
Mobil dalam konteks sosial dan kultural memang mengandung misteri dan impian. Kepemilikan mobil di Solo pun menyebar ke para pejabat kolonial, priyayi, pengusaha, dan tokoh-tokoh penting. Mobil-mobil bersliweran di jalanan dengan kegagahan dan keangkuhan di anatara para pejalan kaki, pengendara sepeda onthel, sepeda motor, kereta, atau kuda. Mobil menjadi argumentasi untuk mengukuhkan identitas dalam kalkulasi status sosial, ekonomi, politik, dan kultural. Mobil menjadi pembeda untuk permainan tanda dan makna dalam kepentingan identitas. Interaksi sosial secara simbolis terjadi dengan kemenangan dan kekalahan.
Satire terhadap perebutan makna identitas manusia dan mobil di jalanan diungkapkan dengan apik oleh Sulasno dalam lukisan kaca. Lukisan ini dijadikan ilustrasi sampul dalam buku John Pamberton dengan judul “Jawa” atau On the Subject of “Java” versi terjemahan Indonesia pada tahun 2003. Pembaca bisa mencermati bagaiman pola relasional antara dua tokoh pewayangan (lelaki dan perempuan) ketika mengendarai mobil jenis lawas berwarna merah dengan kap terbuka. Mobil itu tampak melaju dengan santai di atas jalan aspal mulus dan memukau. Lukisan itu telah mengatakan bahwa ada hubungan intim antara manusia dengan mobil untuk memaknai lakon zaman. Lukisan ini merupakan simbolisme dari pandangan kejawaan dan takdir modernitas untuk mengafirmasi atau menegasi.
Sejarah masa kolonial telah berlalu digantikan dengan perayaan modernitas dengan konsumsi mobil pelbagai merk dan pamor. Mobil melenggang di jalanan dengan tampilan sesuai pemilik dan model politik pencitraan. Pembedaan lekas terlihat dalam tanda-tanda tertentu kalau mobil itu milik presiden, menteri, pengusaha, polisi, artis, atau mahasiswa. Mobil dijadikan alat untuk membenarkan pamrih pemakai melalui merk, aksesoris, warna cat, kaca mobil, stiker, dan lain-lain. Mobil-mobil berdesakan di jalan membawa ego dan impian pemakai di antara keruwetan dan keramaian tanda di jalanan.
I.G.G. Maha Adi (Koran Tempo, 15 Agustus 2009) bahkan menyebutkan bahwa memiliki mobil telah memberikan dua hal penting: kebebasan dan kontrol. Frase “kecanduan mobil” diajukan Adi untuk l menandakan ada paradoks dan kontradiksi dalam mengelola kebebasan dan kontrol. Pelampauan batas fungsi mobil sebagai lata transportasi menyebabkan bias dalam pengukuran kesuksesan ekonomi-sosial dan pemujaan hedonisme. Fenomena banjir mobil dan kecanduan mobil diartikan Seno Gumira Ajidarma (2004: 6) sebagai fakta pembentukan “manusia mobil.” Manusia mobil mengalami kehidupan di tiga dunia: rumah, kantor, dan mobil. Inilah biografi manusia-manusia sukses di kota Jakarta sebagai sebab dan korban dari kapitalisme dan kemacetan jalan.
Mobil menjelma dunia tersendiri dengan tingkat konsumsi dan realisasi hasrat cinta buta. Identitas kultural dipertaruhkan dalam manipulasi dan jagat artifisial karena masuk dalam pasar tanda melalui kompensasi ekonomi-sosial. Mobil adalah diskursus besar untuk hari ini ketika manusia mulai kebingungan membangun relasi diri dengan mobil. Fenomena riil mengesankan bahwa manusia luluh dan kehilangan otoritas memaknai identitas diri. Ketergantungan atau kecanduan manusia terhadap mobil justru menunjukkan peran mobil mendefinisikan manusia. Begitu.
Dimuat di Koran Tempo (6 September 2oo9)
Kamis, 24 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar