Bandung Mawardi
Judul : Kolam
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Editum, Jakarta
Cetak : 2009
Tebal : 120 Halaman
Puisi belum mau redup.. Barangkali ini dalil yang diusung Sapardi Djoko Damono dalam penerbitan buku puisi Kolam yang menyuguhkan 51 puisi naratif dan liris. Puisi-puisi Sapardi masih ingin mengabarkan kisah-kisah hidup tanpa harus mengaburkan dengan kerumitan bahasa atau kecerewetan filsafat. Kata-kata dihadirkan untuk kabar hidup dan menyemaikan makna.
Sapardi masih tekun mencatat peristiwa-peristiwa kecil sebagai bab tak terlupakan dari lakon besar kehidupan manusia. Peristiwa dinikmati dengan olahan kata untuk pertaruhan imajinasi dalam tegangan kenaifan dan pembukaan tabir hidup antara fakta dan fiksi. Puisi bicara dengan kesanggupan membuat hidup tak selesai sebagai peristiwa. Permainan makna menjadi penentu kenikmatan merasai hidup dalam deretan panjang peristiwa.
Puisi “Sonet 12” adalah contoh kebersahajaan menanyakan kembali lakon hidup dalam permenungan kecil. Puisi jadi medium untuk mengajukan tanya dengan dalil dan dalih eksistensi tanpa absolutisme. Simaklah: Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca, / tak ada huruf kapital di awalnya. Kalimat awal ini ajakan untuk pembaca agar mafhum dengan kesadaran kritis melalui kata “ternyata”. Kehadiran kata ini seperti ingin mengingatkan kembali dengan aksentuasi yang membenarkan atau membuktikan.
Pola kalimat ini jadi ciri penyair yang menekuni puisi sebagai representasi dan realisasi bahasa. Kebersahajaan tapi mengejutkan adalah kelihaian dalam permainan bahasa. Pengingatan perjalanan hidup tanpa tanda baca dan ketiadaan huruf kapital menjadi kesadaran yang menantang kelaziman sebagai kodrat biasa. Sapardi mengingatkan ada hal tak biasa dari keimanan manusia tentang pelbagai hal sebagi kebiasaan karena intensitas dalam pengulangan. Konklusi kecil jadi penguatan “Sonet 12” sebagai puisi permenungan: Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada. Keraguan jadi lambaran untuk menanyakan hidup tanpa mesti tergesa mengajukan jawaban.
Puisi-puisi permenungan tampak menempati kedudukan penting dalam buku puisi Kolam dengan fakta ketelatenan laku estetis penyair dan pematangan usia sebagai seorang tua. Tendensi permenungan ingin mengental sebagai lanjutan dari jejak-jejak puisi masa lalu sejak DukaMu Abadi (1969). Puisi-puisi awal Sapardi dengan kuat menjadi percikan permenungan tanpa jatuh sebagai khotbah atau propaganda moral. Kebersahajaan justru membuat puisi memiliki kodrat kekal sebagai acuan membaca dan menilai hidup. Buku puisi Kolam mungkin penyempurnaan lanjut dari kekhusukkan Sapardi memerkarakan peristiwa dan mengekalkan makna. Peyempurnaan lanjut ini seperti bibliografi dari kelahiran buku-buku puisi pada masa lalu. Kolam bukan konklusi akhir tapi bibliografi terbuka.
Permenungan bersahaja kentara dalam puisi pembuka “Bayangkan Seandainya” yang mengingatkan pembaca pada tipikal pengucapan puitik dari Sapardi: Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini/bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit/berawan, yang menabur-naburkan angin di sela bulu-bulunya. Keakraban penyair tampak dari pola relasional antara manusia dan tanda-tanda alam. Kehadiran dan peran menentukan nasib yang niscaya berubah dengan kesadaran prediksi atau lepas sebagai ketundukkan atas kekuasaan dan kekuataan yang lebih besar.
Sapardi dengan puisi-puisi sahaja tidak memiliki tendensi untuk menciptakan fiksi bombastis. Pengalaman jadi acuan untuk mengabarkan dengan konstruksi kata dan narasi yang tak luput atau mrucut dari kelumrahan tapi dimungkinkan menjadi fiksi mengejutkan. Sapardi dalam proses kreatif kerap mengakui memiliki tradisi untuk sadar dengan pengalaman. Kesadaran itu tak tergesa untuk dituliskan pada saat teralami tapi menemukan pengolahan reflektif dalam jeda agar kabar tak jadi kabur.
Puisi dengan anutan pengalaman itu kentara dalam puisi “Laki-laki yang Pekerjaannya Mengorek Tempat Sampah”, “Hari Ulang Tahun Perkawinan”, “Waktu Ada Kecelakaan”, “Anak Kecil”, atau “Secangkir Kopi”. Pengalaman atas peristiwa-peristiwa kecil dan biasa itu menjelma puisi reflektif tanpa nasihat-nasihat murahan. Sapardi justru ingin mengesankan itu sebagai kabar lain dari pembedaan terhadap stereotipe pembahasaan peristiwa sebagai informasi biasa. Kabar dalam puisi-puisi Sapardi adalah ikhtiar mengekalkan tanpa mengabaikan informasi sebagai dalil untuk percaya atau tidak percaya.
Puisi “Secangkir Kopi” mungkin patut jadi pembuktian keinginan mengekalkan pengalaman atas peristiwa: Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu / kauminum itu tidak pernah mengusut kenapa kau bisa / membedakan aromanya dari asap yang setiap hari kauhirup / ketika berangkat dan pulang kerja di kota yang semakin tidak / bisa mengerti kenapa mesti ada secangkir kopi yang tersedia di / atas meja setiap pagi. Ini puisi keseharian tapi menjelma sebagai kesahihan kata dan makna untuk mengekalkan fragmen-fragmen hidup.
Usia tua tak membuat Sapardi redup dalam melakukan eksplorasi estetik dalam ranah lahirian dan batiniah. Puisi jadi pengucapan unik untuk menyemaikan tafsir atas benih-benih makna dari yang sepele sampai yang kompleks. Eksplorasi estetik jadi suguhan mengejutkan dalam pemberian judul. Sapardi tampak “cerewet kecil” dengan memberi judul panjang yang belum tentu menggamblangkan isi. Bacalah judul puisi itu dengan nafas panjang: Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul di Kompleks, yang Selalu Berjalan Menunduk dan hanya Sesekali Menawarkan Dagangannya dengan Suara yang Kadang Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya Berapa Harganya Dikatakannya, “Terserah Situ Saja ...” Judul panjang mengejutkan tapi jadi tak mengejutkan ketika pembaca membaca khusuk menikmati 12 fragmen yang diajukan mengenai lakon pisau. Sapardi memang ingin sedikit genit tapi tak pelit untuk mengabarkan lakon hidup dalam puisi yang prosaik. Begitu.
Dimuat di Lampung Post (30 Agustus 2oo9)
Kamis, 24 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar