Kamis, 24 September 2009

Wong Jawa: Membaca dan Menulis!

Bandung Mawardi



“Siapa saja yang ingin menjadi wong Jawa harus membaca dan menulis.” Kalimat dengan pesan imperatif ini disampaikan dengan kalem oleh Suparto Brata dalam diskusi Wong Jawa Ilang Jawane di Solo pada 14 Juni 2008. Laku membaca dan menulis diklaim Suparto Brata sebagai pengalaman jadi wong Jawa. Ungkapan relasional tentang wong Jawa dengan tradisi membaca dan menulis memang cukup mencengangkan pada hari ini ketika sekian orang sibuk mencari definisi, memerkarakan identitas hibrida, atau tafsir klise tentang takdir kekuasaan Jawa.

Apakah ciri substantif orang Jawa adalah membaca dan menulis? Pertanyaan ini muncul oleh pengakuan Suparto Brata sebagai pengarang mumpuni dengan puluhan buku sastra dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Afirmasi sebagai wong Jawa terselamatkan dan menjadi produkitf ketika orang mau menekuni tradisi membaca dan menulis.. Kebenaran memang terkandung dalam ungkapan kalem itu jika publik mau membuka kembali lembaran-lembaran kepustakaan Jawa dari zaman kakawin, babad, serat, kidung, sampai adopsi dan eksplorasi terhadap struktur tulisan modern dari peradaban Timur dan Barat.

* * *

Peran dan kerja keras P.J. Zoetmulder pantas dijadikan bukti kesuntukkan pujangga Jawa untuk mencatatkan konstruksi wong Jawa dalam arus zaman. Penulisan teks-teks sastra dan sejarah membuat pelacakan terhadap deskripsi dan analisis tentang wong Jawa memiliki jejak dan tanda. Laku para pujangga merepresentasikan nubuat untuk generasi lanjutan mengenai kodrat menemukan biografi historis dan kultural dalam konteks Jawa. pembacaan terhadap teks-teks lawas tentu jadi mekanisme menghidupkan memori kolektif dengan impresi dan implikasi.

Buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983) merupakan buku babon untuk penelusuran teks-teks Jawa dalam dialektika zaman. Zoetmulder telaten mengurusi naskah-naskah Jawa kuno untuk ikhtiar merekonstruksi jagad kultural dan estetika Jawa melalui bahasa tulisan. Naskah tertua diperkirakan muncul pada abad IX dalam bentuk kakawin tentang epos Ramayana. Naskah-naskah kuno menjadi “monumen bahasa” untuk dinikmati dengan laku membaca dan menulis. Monumen bahasa lalu terwariskan dalam tingkat keawetan yang mungkin melebihi candi, rumah, gapura, atau prasasti.

Zoetmulder menghadirkan pada pembaca daftar panjang tentang laku kreatif pujangga-pujangga Jawa untuk mengungkapkan ide-ide religiositas, estetika, etika, politik, dan kultural. Pilihan terhadap bahasa tulis membuktikan bahwa tradisi aksara sejak lama hidup dan disemaikan di Jawa sebagai bentuk konsekuensi menggerakkan peradaban. Pengekalan jejak historis dan nubuat dalam naskah adalah pertaruhan diri untuk menjadi manusia. Menulis merepresentasikan kesadaran dan strategi kultural untuk pengukuhan eksistensi dan pengajuan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan zaman.

Publik perlu membuka kembali khazanah Jawa dalam naskah Ramayana, Arjunawiwaha, Gatotkacasraya, Samardahana, Bhomantaka, Arjunawijaya, Sutasoma, Negarakretagama, Lubdhaka, dan lain-lain. Naskah-naskah kuno itu mengandung informasi fiksionalitas dan fakta mengenai lakon manusia dalam dialektika zaman. Kehadiran naskah tentu membuat ingatan atas sejarah atau identitas biografi kultural menemukan titik sambung pembayangan terhadap asal-usul dalam keterpengaruhan peradaban-peradaban besar di Tanah Jawa.

Pengaruh peradaban India tampak kentara dalam naskah-naskah Jawa kuno. Perjumpaan peradaban membuat konstruksi identitas tak permanen tapi inklusif untuk perubahan. Laku para pujangga membuktikan ada karakter elegan untuk menjalani lakon kultural dalam tegangan otentisitas dan akulturalisme. Jejak panjang pengaruh India terus terasakan sampai hari ini. Pembacaan atas naskah-naskah Jawa kuno tentu mengesankan ada kemungkinan kerepotan menguraikan ambiguitas wong Jawa dan kerumitan dalam pewarisan identitas kultural Jawa.

* * *

Orang Jawa hari ini justru dihadapkan pada pilihan tema-tema besar dan kuasa teks dari pelbagai sumber Timur dan Barat. Teks ikut menentukan kehadiran wong Jawa dan proses kehilangan kejawaan melalui negasi dan afirmasi dari progresivitas peradaban global. Pemahaman identitas lokal menjelma tema pinggiran dan lekas terhapuskan oleh konsensus tentang manusia kosmopolitan. Pengesahan kerepotan merumuskan identitas manusia hari ini kentara ditentukan oleh kuasa teks, permainan tafsir, dan operasionalisasi ideologi teks melalui ranah politik, ekonomi, teknologi, atau seni.

Perkara identitas orang Jawa pada hari ini mengandung dilema dan ambiguitas dalam batas tegangan tradisionalitas dan modernitas. Pengajuan jawab melalui jejak dan tanda tradisi kelisanan tentu tidak menjadi rumusan utuh. Kesadaran atas tradisi pustaka adalah penggenapan untuk membaca ulang dan merumuskan diri kembali sesuai dengan takdir zaman. Kesadaran pustaka justru melemah karena kelengahan dalam menghadapai mode zaman. Fase tulisan seperti diloncati dengan kultur audio-visual untuk penguatan tradisi kelisanan. Barangkali godaan besar ini menyebabkan wacana wong Jawa ilang jawane kehilangan jejak referensial melalui teks kultural.

Dokumentasi pustaka sebagai sumber pengetahuan menjadi keniscayaan untuk tak sekadar menerima kodrat normatif.. Suparto Brata mengistilahkan sebagai kodrat weruh lang krungu (melihat dan mendengar). Menulis adalah strategi ampuh untuk sadar pengetahuan. Kesadaran ini dibuktikan oleh kerja keras para pujangga Jawa meski dalam fragmen zaman ini kerap terlupakan atau sekadar dijadikan album nostalgia lama tanpa pesan kontekstual. Pesimisme atas peran kepustakaan dalam pewacanaan identitas kultural Jawa perlu diklarifikasi dengan kehadiran data dan tafsir mutakhir.

* * *

Ikhtiar menghidupkan kerja literer pujangga Jawa pernah dibuktikan oleh Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja dalam buku Kepustakaan Jawa (1952). Buku ini menghadirkan sinopsis atas teks-teks literer Jawa lama dan ulasan pendek. Peran buku ini signifikan untuk pengekalan dan pewacanaan atas tradisi aksara dalam peradaban Jawa. Ensiklopedia naskah Jawa membuktikan tingkat peradaban dan karakteristik orang Jawa terhadap eksplorasi lakon hidup dalam aksara. Tradisi itu mengalami tragedi ketika zaman berubah dalam kecepatan tinggi dan dijalankan dengan hukum dominasi. Kepustakaan Jawa lalu jadi bab kecil di antara bab-bab besar jagad teks kontemporer.

Ungkapan wong Jawa ilang jawane mungkin menemukan pembenaran ketika tradisi membaca dan menulis memang diabaikan dan hilang. Kesadaran aksara ini mengalami titik kritis ketika kebijakan politik kebudayaan dari negara tidak memberi akses dan merestui tradisi membaca-menulis. Pemanjaan kultural dalam ideologi konsumsi justru melemahkan kepemilikan identitas kultural Jawa. Menulis bisa jadi subversi untuk tak kalah atau terkooptasi oleh kuasa zaman. Barangkali untuk menjadi wong Jawa memerlukan syarat kunci dalam laku membaca dan menulis. Begitukah?



Dimuat di Jawa Pos (30 Agustus 2oo9)

Tidak ada komentar: