Kamis, 24 September 2009

Senjakala Sastra Jawa

Bandung Mawardi


Perayaan sastra Jawa dengan nostalgia dan impian dilakukan pada 4-5 Agustus 2009 di Nglaran, Cakul, Dongko, Trenggalek, Jawa Timur. Sastra Jawa diperkarakan di sebuah dusun di perbukitan jauh dari kota dan keriuhan wacana. Festival Sastra Jawa diselenggarakan dengan militansi untuk menyatakan bahwa sastra Jawa masih ada meski sekarat. Militansi menghidupi sastra Jawa ada dengan kontradiksi-kontradiksi tanpa janji untuk perubahan nasib.

Panitia (Organisasi Pengarang Jawa, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, dan Sanggar Triwida) dalam Festival Sastra Jawa itu mengajukan pesan: “Sastra Jawa adalah warga sastra Indonesia dan warga sastra dunia yang laik diberikan ruang hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai keinginan masyarakat pendukungnya.” Pesan ini mengesankan ada fakta inferiorisasi atau marginalisasi terhadap sastra Jawa. Hak hidup ada tapi nasib sastra masih apes. Seribu pertanyaan bisa diajukan meski susah menerima jawaban-jawaban tuntas.

Festival Sastra Jawa itu dihadiri segelintir orang dari pelbagai kota dengan acara-acara normatif: seminar, ngudarasa, pembacaan geguritan, transaki buku-buku sastra Jawa, dan kangen-kangenan. Tumpukan masalah lama diungkapkan kembali sebagai ratapan. Pengarang-pengarang tampak memiliki kesangsian terhadap nasib sastra Jawa tanpa bisa merumuskan agenda strategis untuk memperlambat kematian atau justru membuat sastra Jawa moncer. Mereka justru larut dalam nostalgia masa lalu ketika sastra Jawa tumbuh dengan subur. Fakta hari ini membuat mereka cemas karena sastra Jawa hampir tak jadi bab penting dalam dialektika kultural masyarakat Jawa. sastra Jawa terpencil oleh masyarakat Jawa sebagai penduduk terbesar di negeri ini. Ironis!

Sastra Jawa itu fosil! Tuduhan ini mungkin berlaku ketika memeriksa kelambanan atau kemunduran sastra Jawa modern dalam ekplorasi estetika dan pilihan tema. Publikasi cerita cekak (cerpen), geguritan (puisi), dan novel dalam sastra Jawa masih suntuk dengan dunia masa lalu, cinta (picisan), detektif, kriminalitas, dan alam lelembut. Kemiskinan tema membuat sastra Jawa modern kehilangan spirit untuk tumbuh sebagai perayaan atas kompleksitas persoalan hidup.

Kondisi ini mungkin kontras dengan fase awal kehadiran sastra Jawa modern ketika mau menerima pengaruh wacana sastra dari Barat pada awal abad XX. Padmasusastra (1843-1926) oleh Geroge Qunin dijuluki Bapak Sastra Jawa Modern karena melalui Serat Rangsang Tuban membuktikan keberterimaan format-format sastra Barat dalam acuan terhadap nilai-nilai sastra tradisional. Serat Rangsang Tuban menjadi proto novel dalam bahasa Jawa.

Ki Padmasusastra dengan sadar belajar pada sastra Barat untuk melakukan pembaharuan dalam sastra Jawa. Kerja estetis pun direalisasikan dengan piliha bentuk prosa (gancaran) sebagai tandingan atas dominasi sastra puisi (tembang) dengan ketokohan Ki Ranggawarsita. Sastra Jawa modern lahir dan tumbuh pada masa itu secara inklusif dan dinamis meski mengalami pertarungan dengan kehadiran sastra Indonesia modern. Balai Pustaka jadi institusi penting dalam sebaran sastra Jawa tapi juga menjadi sebab dari pembakuan dan pembekuan sastra Jawa. Penerbitan sastra Jawa pada masa awal Balai Pustakan termasuk terbesar ketimbang penerbitan sastra Indonesia dan sastra Sunda. Kondisi itu sekarang tanpa jejak dan malah sastra Jawa modern mulai kehilangan penerbit dan media.

Spirit dan progresivitas sastra Jawa modern seperti jadi sejarah pendek karena politik kebudayaan tak memberi restu dan melakukan penundukkan atas nama negara. Sastra Jawa dan sastra etinis lalu masuk dalam kurungan dan dipelihara oleh negara dengan pembatasan dan represi melalui dalil pemujaan nasionalisme. Sastra Jawa pun bangkrut secara sistematis karena kuasa negara dan godaan dari pasar.

Pengakuan bahasa Indonesia secara politik dan kultural membuat pengarang Jawa mengalami kebingungan. Artikulasi kultural dalam kuasa bahasa Indonesia menjadi gangguan karena ada pemihakan dan penentuan secara konstitusional dan institusional. Bahasa Indonesia hadir dalam komunikasi politik, pendidikan, ekonomi, seni dan kultural. Bahasa Jawa sebagai medium sastra Jawa dipinggirkan tanpa resistensi untuk menyelamatkan diri dari tuduhan primordialisme atau separatisme kultural.

Sastra Jawa modern sebagai sastra tulis mulai kehilangan fondasi dan mundur dalam nostalgia kebesaran sastra-sastra klasik lisan dan tulisan. Panitisastra, Centhini, Wedhatama, atau Wulangreh dijadikan acuan untuk masih merasa memiliki otoritas dalam kerja sastra Jawa. Tradisi-tradisi lisan juga dijadikan argumentasi mengenai kebutuhan masyarakat atas ekspresi estetika. Penyelamatan nostalgis itu tak dibarengi denga kesanggupan secara kritis memeriksa kembali pasang surut sastra Jawa modern sejak tahun 1930-an.

Sastra Jawa modern memang masih dihidupi oleh pengarang Jawa dengan jumlah pembaca semakin menurun. Sastra Jawa juga ditinggalkan oleh dunia penerbitan koran, majalah, jurnal, penerbitan, dan buku. Sastra Jawa modern tanpa janji keselamatan. Fakta kehilangan pembaca jarang dijadikan alasan untuk otokritik. Pembaca memang memiliki hak untuk merasa hidup dengan kuasa bahasa Indonesia dengan pertimbangan komunikatif dan massif. Bahasa Indonesia telah merasuki tubuh dan jagad pikir orang Jawa sejak bocah dengan televisi, sekolah, atau media massa. Realitas ini susah untuk ditandingi dengan sastra Jawa modern dengan konstruksi bahasa jauh dari wacana dan praktik-praktik modernitas.

Sastra Jawa modern mandek dan sekarat seperti kodrat. Penulisan cerkak, geguritan, dan novel memang terus ada melalui terbitan buku, koran daerah, atau majalah (Panyebar Semangat, Jaya Baya, dan Darma Kandha). Inikah senajala sastra Jawa? Kondisi ini pun ditentukan oleh ketiadaan kritikus dalam tradisi penulisan esai sastra Jawa. Suripan Sadi Hutomo dan Poer Adhi Prawoto telah almarhum dan meninggalkan warisan buku-buku kritik sastra Jawa modern. Hari ini tak ada kritikus dalam melakukan sorotan terhadap publikasi sastra Jawa. Progresivitas macet dalam nostalgia dan kemiskinan tawaran wacana. Sastra Jawa modern pun seperti kehilangan tema dan enggan menyapa kebutuhan-kebutuhan pembaca secara kontekstual dalam realitas modernitas.

Sastra Jawa sebagai sastra etnis memang belum tamat tapi sekian fakta telah jadi bukti nasib apes sastra-sastra (berbahasa) etnis di Indonesia. Sastra etnis seperti sengaja dibiarkan mati untuk kehadiran hegemoni negara dan globalisasi. Sastra etnis tak memiliki juru selamat dan terpaksa pasrah masuk ke liang kuburan. Begitukah?



Dimuat di Solopos (2o Agustus 2oo9)

Tidak ada komentar: