Kamis, 24 September 2009

Ironi Negeri Sinetron

Bandung Mawardi



Negeri ini negeri sinetron. Barangkali kebenaran ini susah terbantahkan. Populasi sinetron tak pernah habis meski mendapat protes atau teguran. Publik penonton menjadi “korban” dan “pecandu” meski ada kelompok kecil pemrotes. Hak publik dalam bentuk kritik nyaris tidak bisa jadi argumentasi untuk perubahan-perubahan signifikan. Televisi terus melenggang dengan suguhan sinteron-sinetron murahan dan picisan.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kerap mengajukan teguran terhadap pelbagai tayangan parah di televisi tapi kurang memiliki kekuatan hukum dan susah diperkarakan ke pengadilan. Sifat teguran lalu sekadar jadi suara lirih di antara keriuhan jagat hiburan di Indonesia. KPI memang telah melaksanakan mandat tapi tak memiliki senjata dan argumentasi ampuh untuk menjatuhkan atau mematikan program televisi tak bermutu alias destruktif. KPI berbekal UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3-SPS) memang memiliki hak untuk mengeluarkan sanksi mengacu pada tingkat pelanggaran. Sanksi itu kerap dikeluarkan tapi tak membuahkan hasill maksimal karena pengelola televisi cerdik untuk mengakali dengan pelbagai dalih dan cara.

Kegagalan meruntuhkan kuasa televisi sampai pada penjebolan sakralitas Ramadhan sebagai bulan suci. Daftar sinetron belum menunjukkan perubahan untuk meninggikan martabat dan kualitas dalam cerita dan pengemasan. Sinetron bahkan nekat menyerbu penonton pada jam-jam keluarga tanpa malu. Sinetron dijadikan program andalan untuk pamrih ekonomi. Fakta ini membuktikan bahwa komodifikasi Ramadhan melalui sinetron telah menjelma petaka.

Ramadhan tak mampu menjadi momentum peringatan pada televisi untuk mengurangi atau menghentikan tayangan sinetron. Kasus pada bulan-bulan lalu menyebutkan bahwa ada teguran keras terhadap sinetron Inayah, Muslimah, Sakina, Mualaf, Kasih dan Asmara, dan lain-lain. Bulan Ramadhan ini serbuan sinetron semakin kentara memakai permainan semiotik melalui judul, cerita artifisial, dan visualisasi. Penonton eksplisit diakali dengan labelitas sinetron islami untuk mengesankan ada kesesuaian dengan momentum Ramadhan.

Sinetron Manohara, Cinta Fitri, Isabela, Amira, dan lain-lain hadir dengan sentuhan-sentuhan agama (religi) tapi terkesan memperalat simbol-simbol agama demi pamrih komersialisasi. Model ini justru menjadi bukti penonton rentan dengan operasionalisasi pengibulan dan represi religi oleh sinteron. Publik bakal kelimpungan untuk mencari pihak atau lembaga kontrol terhadap kebobrokan kualitas sinetron di Indonesia. Peran KPI memang diaktualisasikan tapi tidak mampu melakukan kontrol penuh karena kekurangan dana dan tenaga. Lumrah saja jika sinetron-sinteron itu masuk rumah penonton selama Ramadhan dengan genit dan menabrak etika religius.

Kebobrokan sinteron ini malah jarang mendapat perhatian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga kontrol moraliltas. Berita-berita terakhir menyebutkan MUI sibuk mengurusi program The Master dan pengemis untuk diberikan fatwa haram. MUI memang tidak memiliki hak untuk menghabisi sinetron tapi memiliki otoritas untuk mengeluarkan himbauan pada umat tentang sihir sinetron. Ajakan untuk insaf dan kritis dalam menikmati sinetron mungkin patut jadi tema pengajian (dakwah) dengan kepentingan penyadaran.

Televisi itu candu. Sinetron itu candu. Ironi ini susah diakhiri karena ada hubungan-hubungan rumit dalam jagad pertelevisian dan tingkat kesadaran penonton sebagai konsumen pasif. Tema-tema besar dan relevan dalam televisi kerap tertutupi oleh candu sinetron. Publik terlena dengan cerita-cerita penuh konflik dan anti edukatif. Ekspresi kekerasan jadi menu primer dalam adegan memaki, menendang, menampar, menginjak, memukul, dan lain-lain. Bahasa dipoles dengan misi-misi destruktif dan represif. Sebaran pengaruh psikologis dan sosiologis dengan mudah menunjukkan efek negatif. Kesadaran terhadap etika religius pun dikibuli oleh jargon-jargon murahan dan manipulasi cerita kehidupan.

Bulan Ramadhan tahun ini di negeri besar ini masih dipenuhi dengan ritus-ritus televisi. Sakralitas mengalami reduksi oleh ritus menonton sinetron. Kekhusukan di depan televisi mungkin mengalahkan kekhusukan ibadah. Tanggapan kritis memang penting diajukan tapi perangkat hukum juga mesti bisa jadi pengharapan untuk memberi kelegaan pada pemrotes. Sanksi dalam bentuk keputusan hukum harus ada dengan kepentingan menyelamatkan jagad rasionalitas penonton agar tidak mengalami kejahiliahan karena sinetron.

Sinetron memiliki madu dan racun. Gairah penonton di Indonesia mungkin tanpa sadar cenderung memilih racun. Ironi ini tidak mungkin diakhiri karena sinetron memiliki publik besar. Hukum pasar berlaku dan agenda sinetron tidak kehilangan lahan untuk mengeruk uang dengan manipulasi jahiliah pada penonton. Negeri ini memang ganjil. Apakah presiden tahu masalah ini? Apakah parlemen juga mengurusi masalah sinetron? Barangkali mereka tak memiliki perhatian sebab pada momentum pemilu tak ada isu sinetron atau televisi dalam kampanye.

Sinetron apakah patut jadi musuh dalam proses negeri ini untuk memiliki martabat dan adab? Sinetron bukan musuh tapi modal untuk mengerti tentang tipologi bangsa dan mesti dikonstruksi dalam agenda progresif. Umat penonton sinetron adalah keluarga kita. Mereka menjadi kelompok penentu untuk membuat negeri ini bangkrut atau sehat dalam rasionalitas dan religiositas. Begitu.



Dimuat di Suara Merdeka (1 September 2oo9)

1 komentar:

infogue mengatakan...

Hai, salam kenal, artikel anda ada di

sini

ayo gabung bersama kami dan promosikan artikel anda ke semua pembaca. Terimakasih ^_^