Selasa, 01 Juli 2008

Taman Jurug, Ruang Publik yang Merana

Oleh: Heri Priyatmoko

Satu tahun terakhir Kota Solo berbenah. Ruang publik yang dulu mangkrak dipoles kembali. Taman Balekambang, arena olahraga Manahan dan Villapark Banjarsari tampak cantik dan asri. Tak pelak, warga kota nyaman dan betah berlama-lama menikmati pemandangan dan merdunya cicitan burung. Namun, di tepi Bengawan Solo ada Taman Satwa Taru Jurug atau TSTJ yang merana tak terpelihara dan terabaikan.

Kebun binatang tersebut resmi berdiri tahun 1983 tersebut bermula dari dipindahkannya beberapa koleksi satwa yang ada di Kebon Rojo (Sriwedari) karena keberadaannya tidak lagi memadai di tengah kota. Namun, jauh sebelum itu, Taman Jurug sudah ramai dipakai kawula dalem dan rakyat cilik bercengkerama. Mereka menggelar tikar menikmati semilirnya angin dan keteduhan rimbun pepohonan sehingga melahirkan ketentraman lahir dan batin. Bahkan, ruang publik itu bagi maestro keroncong Gesang yang kerab berkunjung adalah tempat mencari inspirasi menciptakan lagu.

Kini, kondisi Taman Jurug memprihatinkan dan sepi peminat, hanya berjubel saat acara larungan Joko Tingkir. Sesudahnya kembali lenggang. Ironis lagi, pengelolaan taman pun tersebut kisruh. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pembentukan PT Taman Jurug (PT TJ) yang diharapkan mampu menjadi pangkal kebangkitan TSTJ, justru menimbulkan kontroversi yang sampai sekarang belum terselesaikan. Ada pasal-pasal yang berbenturan dengan Undang-undang PT. DPRD menemukan perbedaan isi antara Perda Pembentukan PT TJ hasil penetapan Dewan dengan Perda yang telah diundangkan dalam lembaran daerah.

Dilansir dalam koran lokal, Wali Kota Joko Widodo berkali-kali menyebut dirinya dijomprongke beberapa pejabat pemkot yang membahas Perda RSTJ dengan Dewan. Dalam surat yang ditujukan kepada DPRD, Walikota menyetujui pencantuman Koperasi PDAM serta Asmindo selaku pendiri dan pemegang saham PT TJ.

Tafsir publik adalah mereka tidak sesuai mekanisme cek dan ricek. Apabila hal tersebut tidak terjadi, tak bakal muncul istilah asal tanda tangan. Maka, logis jika masyarakat secara tegas mempertanyakan kualitas eksekutif dan legeslatif dalam membuat regulasi. Pakar hukum UNS, Triyanto Pujowinarto menjelaskan, tanpa perlu direvisi atau mengganti, pasal-pasal dalam Perda No10/2007 itu bertentangan dengan UU di atasnya sehingga otomatis batal demi hukum.

Siapa pun pihak pengelolanya, seandainya aset pemkot yang bernilai miliaran rupiah ini dipegang secara profesional, akuntabel dan transparan sesuai prinsip-prinsip good corporate governance, bakal memberikan profit, mendongkrak PAD, meningkatkan kesejahteraan rakyat Kota Bengawan, dan menguatkan kapital sosial. Jangan biarkan salah satu harta Kota Solo ini merana dan disia-siakan.

(Dimuat di Kompas)

Tidak ada komentar: