Minggu, 20 Juli 2008

NEGARA DAN PERMINTAAN MAAF


Oleh Yunanto Sutyastomo

Tanggal 13 Februari 2008 mungkin tidak akan dilupakan oleh segenap warga Aborigin di Australia. Pada tanggal tersebut PM Kevin Rudd secara resmi meminta maaf atas perlakuan pemerintah Australia kepada warga Aborigin. Selama puluhan tahun penduduk asli Australia ini diperlakukan secara tidak manusiawi. Bahkan mereka direndahkan derajatnya sebagai manusia.

Kevin Rudd menyadari bahwa perjalanan sejarah negaranya penuh dengan tindakan tidak manusiawi. Kesadaran ini ditindaklanjuti dengan langkah-langkah menuju perbaikan masa depan negara. Langkah pertama adalah meminta maaf atas kebijakan masa lalu, disertai dengan langkah berikutnya yaitu program peningkatan kualitas hidup warga Aborigin.

Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Jepang terhadap penduduk aslinya yaitu Suku Ainu. Parlemen Jepang menyerukan langkah –langkah agar tidak terjadi diskriminasi dan kemiskinan pada Suku Ainu. Hal ini merupakan kebijakan lanjutan yang pernah dikeluarkan parlemen pada tahun 1997. Selama ini warga Ainu menderita akaibat modernisasi Jepang. Mereka menyerahkan tanah kepada warga Jepang yang kita kenal sekarang ini.

Yang dilakukan Australia dan Jepang bisa menjadi sebuah pelajaran berharga bagi Indonesia. Indonesia yang sudah sepuluh tahun lepas dari pemerintahan otoriter Orde Baru bisa meniru apa yang dilakukan Kevin Rudd. Kita memiliki pengalaman yang hampir sama dengan Australia dan Jepang. Pemerintahan Orde Baru yang berlangsung lebih kurang tiga puluh tahun meninggalkan jejak-jejak luka kemanusiaan yang begitu banyak. Banyak anggota warga masyarakat yang menjadi korban pemerintahan Orde Baru tanpa proses pengadilan sebagaimana mestinya. Hal ini yang kini disebut sebagai pelanggaran HAM, terjadi diberbagai tempat mulai dari Aceh, Lampung, Jakarta hingga Papua.

Kebijakan masa lalu ini tidak bisa hanya dianggap sebagai catatan semata. Harus ada langkah maju dari pemerintah agar permasalahan ini bisa menjadi pelajaran untuk masa depan. Yang pertama harus dilakukan oleh pemerintah adalah meminta maaf secara resmi kepada korban pelanggaran HAM dimasa lalu. Hal ini penting, mengingat mereka telah diberangus hak-haknya sebagai warga negara. Maka negara dalam hal ini pemerintah harus meminta maaf terhadap korban pelanggaran HAM. Terlepas dari tuduhan terhadap para korban itu terbukti benar atau salah, tetapi proses pelanggaran HAM telah terjadi.

Sering kali muncul pernyataan bahwa pemerintah tidak perlu meminta maaf, karena kejadian ini dilakukan oleh pemerintah masa lalu. Ini merupakan sebuah upaya untuk mengelak dari tanggung jawab. Yang diminta bertanggung jawab adalah pemerintah sebagai institusi, bukan pada pribadi yang berada dalam pemerintahan. Yang dilakukan oleh Kevin Rudd bukanlah permintaan maaf secara pribadi, tetapi mewakili pemerintahan Australia sejak negara itu berdiri. Bahkan Kevin Rudd sendiri mungkin tidak terlibat pada pelanggaran HAM pada warga Aborigin. Pelanggaran HAM bagaimanapun secara institusi dilakukan oleh negara, dan negara melalui pemerintah berkewajiban untuk minta maaf. Meminta maaf juga bisa menjadi awal untuk langkah-langkah berikutnya demi kehidupan masa depan negara.

Langkah kedua yang harus dilakukan adalah pentingnya kepastian hukum bagi para korban. Para korban selama puluhan tahun mengalami diskriminasi dan ketidakjelasan status hukum. Sebagian dari mereka menerima cap sebagai Tahanan Politik (Tapol) tanpa proses pengadilan sampai kemudian beberapa dari mereka dibebaskan setelah Reformasi 1998, sebagian lagi sebagai korban pelanggaran HAM juga tidak terpenuhi haknya karena tidak adanya pengadilan bagi para pelaku pelanggaran. Kita tahu bahwa betapa pentingnya sebuah pengadilan HAM bagi para korban. Selain sebagai bentuk kejelasan siapa pelaku dan penanggung jawab atas pelanggaran tersebut, hal ini juga terkait dengan rasa keadilan yang harus diterima oleh para korban. Sampai saat ini pengadilan HAM di Indonesia belum mengadili semua pelanggaran HAM.

Tantangan terberat justru datang dari institusi-institusi yang berkewajiban menjunjung tinggi penegakan hukum. Kita ingat saat Pansus DPR yang berkesimpulan kalau Kasus Trisakti, Semanggi I dan II tidak termasuk pelanggaran HAM berat. Demikian juga dengan para korban yang kesulitan memiliki kartu tanda penduduk tanpa tanda eks-tapol. Para korban HAM peristiwa 1965 pun juga mengalami hambatan yang sama. Mereka bertahun-tahun mengalami kesulitan bahkan untuk sekedar hidup. Stigma yang tertanam begitu kuat di masyarakat bahwa mereka golongan yang membahayakan negara seolah tidak pernah sirna sampai hari ini. Pemerintah dalam hal ini sebagai representasi negara harus segera memulihkan atau merehabilitasi nama mereka dan mengupayakan proses hukum yang adil bagi para korban HAM.

Hal berikutnya yang harus dilakukan oleh negara adalah pentingnya pelurusan sejarah. Selama ini sejarah telah termanipulasi oleh kekuasaan, banyak kepentingan yang bermain didalamnya. Memang tidak mudah bagi suatu bangsa untuk melakukan pelurusan sejarah. Banyak fakta dan saksi yang mungkin tidak ada lagi, apalagi sejarah bangsa ini sangat tergantung pada penguasa. Tapi upaya pelurusan sejarah harus dilakukan agar kebenaran tentang proses perjalanan bangsa terungkap dan menjadi pelajaran bagi generasi yang akan datang. Dengan sejarah yang benar, maka masyarakat akan tahu hal-hal yang mungkin bisa menjadi nilai-nilai kehidupan bernegara dan berbangsa kelak kemudian hari. Tapi sebaliknya dengan sejarah yang penuh manipulasi, maka masyarakat akan hidup dalam sebuah watak kebohongan.


Tidak ada komentar: