Senin, 14 Juli 2008

Acep Zamzam Noor: “Gairah Sunyi Mencari Arti Abadi”

Oleh: Bandung Mawardi


Penyair Amir Hamzah menjadi penyair awal yang fasih menuliskan sunyi dalam religiositas dan kisah cinta. Buku puisi Nyanyi Sunyi (1935) adalah babak penting dalam perpuisian Indonesia modern yang intens mengisahkan sunyi. Amir Hamzah menuliskan pengertian: Sunyi itu duka / Sunyi itu kudus / Sunyi itu lupa / Sunyi itu lampus. Sunyi adalah representasi dan realisasi eksistensi manusia dalam pelbagai peristiwa, kondisi, dan kisah. Sunyi mengantarkan manusia dalam religiositas dan kisah cinta manusia. Sunyi menjadi ciri penting puisi Indonesia modern yang terus diwarisi dan dituliskan oleh penyair-penyair mutakhir.
Puisi-puisi sunyi dari Amir Hamzah menjadi bukti pergulatan penyair dalam mangartikulasikan sunyi sebagai kondisi yang terkatakan atau terbunyikan. Amir Hamzah menjadikan puisi dari sunyi ke bunyi. Bunyi yang sunyi. Puisi “Padamu Jua” adalah puisi yang mengabarkan kisah manusia yang ingin intim dengan Tuhan. Kondisi batin direpresentasikan dengan kata-kata keras dan lembut yang memuncak dalam sunyi. Sunyi adalah kisah dan kasih dalam religiositas. Amir Hamzah dalam bait akhir menuliskan: Kasihmu sunyi / Menunggu seorang diri. Sunyi dalam puisi-puisi Amir Hamzah adalah kondisi dalam dan luar yang ingin menguji dan menantang eksistensi manusia.
Puisi-puisi sunyi pun dituliskan Sapardi Djoko Damono dalam buku puisi DukaMu Abadi (1969). Religiositas menjadi ruh dalam buku itu yang tuliskan Sapardi Djoko Damono dengan lirik-lirik sunyi. Sapardi Djoko Damono sebelum fase DukaMu Abadi sudah menuliskan sunyi dalam puisi “Pada Suatu Malam” (1964). Sunyi dalam puisi itu diartikan dengan acuan kondisi hidup yang menggelisahkan. Gelisah itu memuncak dalam pengertian: barangkali hidup adalah / doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras. Gelisah dan sunyi terus merebak dalam puisi-puisi dalam DukaMu Abadi. Sapardi Djoko Damono dalam puisi “Prologue” mengisahkan religiositas manusia yang ingin intim dengan Tuhan. Puisi itu mengacu pada kuasa Tuhan dan babak-babak sejarah penting kehidupan manusia yang direpresentasikan dalam kisah Qain dan bukit Golgota. Konklusi dari kisah itu adalah “sepi manusia”.
Puisi-puisi sunyi religius yang diawali Amir Hamzah lalu Sapardi Djoko Damono dilanjutkan oleh Acep Zamzam Noor dengan puisi-puisi sunyi dalam kisah cinta. Membaca buku puisi Menjadi Penyair Lagi (2007) Acep Zamzam Noor adalah membaca sunyi yang bertebaran. Buku itu mengabarkan bahwa puisi masih sanggup mencatat dan mengekalkan sunyi. Buku itu memuat puisi-puisi awal Acep Zamzam Noor yang berada dalam alur puisi-puisi sunyi yakni kumpulan puisi bagian pertama yang berjudul Ada yang Belum Kuucapkan.
Sunyi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) diartikan sebagai tidak ada bunyi atau suara apa pun; hening; senyap; kosong; tidak ada orang; lengang; sepi. Pengertian itu bisa menjadi instrumen untuk membaca dan menginterpretasikan puisi-puisi Acep Zamzam Noor. Sunyi terbaca dalam puisi “Tak Bisa Kulupakan” (1979) yang mengisahkan keinginan aku lirik untuk bisa melupakan pelbagai hal, kisah, suasana, dan peristiwa hidup. Keinginan itu sampai pada negasi-afirmasi bahwa ada ketidakmungkinan melupa terhadap “sepi yang sendu”.
Puisi “Kuhitung Detak Jam” (1981) yang dengan fasih mengisahkan sepi dalam pengalaman waktu. Sepi adalah pengalaman dalam waktu yang susah tertandai dalam hitungan waktu definitif. Sepi membuat manusia merasa lama atau sesaat yang cenderung teralami dalam waktu fenomenologis. Acep Zamzam Noor menulis: Kenapa sepi / Padaku seakan menagih janji. Sepi adalah kondisi dalam waktu yang mengandung tuntutan untuk menagih janji. Sepi dalam puisi itu adalah pengalaman diri dalam waktu yang tergesa.
Acep Zamzam Noor menuliskan sunyi yang eksistensialis dalam puisi “Kwatrin Sunyi” (1981). Kondisi alam dan kondisi diri berada dalam relasi manifestasi: Hutan sunyi dan senyap, hati pun rindu dendam. Sunyi dan senyap terpahamkan sebagai kondisi yang memungkinkan ada represi untuk perasaan-perasaan yang ingin lekas terealisasikan. Sunyi yang represif itu ingin disimpulkan dalam baris penutup: Sepi dalam hatimu: sepi pun menjadi rahasia. Sepi adalah rahasia yang teralami secara personal dan tertutup. Sepi dalam puisi itu berbeda dengan sepi dalam puisi “Sebuah Lagu” (1981) yang terkesan menjadi pengalaman personal. Penyair dengan simbolis menuliskan pengalaman sepi dalam hutan puisi. Sepi dalam hutan puisi menjadi puncak pengalaman yang eksistensialis karena hadir dalam rahasia-rahasia kata dan makna.
Sunyi sebagai puncak untuk kisah cinta dituliskan Acep Zamzam Noor dalam puisi “Sajak yang Lahir dari Senyuman Ria Soemarta” (1982). Penyair dengan definitif menjadikan sunyi sebagai konklusi peristiwa dalam kisah cinta. Acep Zamzam Noor menulis: Kuurai semua peristiwa / Adegan demi adegan di antara kita / Menjadi kepingan kata / Bernama sunyi. Sunyi adalah puncak dari peristiwa yang teralami dengan tubuh dan kata dalam ruang dan waktu.
Kisah cinta yang berakhir dengan sunyi kerap menjadi penerjemahan cinta yang memuncak dan sublim. Pemaknaan sunyi dilanjutkan Acep Zamzam Noor dalam puisi “Masih Buat Ria Soemarta” (1982). Puisi ini justru mengabarkan bahwa sunyi adalah puncak dari pencerahan cinta. Kesadaran waktu atas sepi dari cinta mengantarkan aku lirik dalam sembilu atau kesedihan mendalam. Kesedihan itu semakin membuktikan bahwa cinta adalah perubahan dan cinta bakal memupuskan sepi yang sia-sia. Acep Zamzam Noor menuliskan bahwa dengan cinta: Hidup akan berubah karenanya, jadi lebih bicara / Dari sekedar sepi yang sia-sia.
Sunyi yang liris dan romantis terbaca dalam puisi “Gamelan Jiwa” dan “Pada Gamelan Jiwa” (1982). Dua puisi itu kisah cinta yang memuncak pada sunyi sebagai pemaknaan dari kinanti dan asmarandana. Kinanti adalah tembang untuk cerita-cerita percintaan dan asmarandana adalah tembang yang mengungkapkan kesedihan, keprihatinan, dan rasa cinta. Tembang dengan kisah-kisah cinta itu mungkin menjadi sunyi yang memberi hidup karena cinta atau justru menjadi “sepi yang menikam kalbu” (puisi “Lindap”, 1982). Kisah cinta pun terkadang memaksa manusia dalam “kesepian yang menikam” (puisi “Sendiri”, 1982).
Puisi-puisi awal Acep Zamzam Noor eksplisit menunjukkan pergulatan tematik atas kisah cinta dan sunyi. Pergulatan itu terbahasakan dengan liris dan romantis. Acep Zamzam Noor dengan kesadaran estetika membuktikan diri atas “gairah sunyi mencari arti abadi” (puisi “Tangis Darah, 1982). Acep Zamzam Noor intensif bergulat dengan kesunyian yang “ingin sampai pada sunyi yang abadi” (puisi “Desember”, 1982). Babak awal perpuisian Acep Zamzam Noor tak mungkin melepaskan diri dari sunyi sebab “sunyi ini terus menyeru” (puisi “Lagu Murni”, 1982).
Acep Zamzam Noor adalah penyair sunyi yang terus menulis dan mengekalkan sunyi dalam puisi. Sunyi dalam puisi-puisi Acep Zamzam Noor adalah pengalaman-pengalaman manusia yang eksistensialis. Sunyi sanggup dibahasakan dan dikisahkan Acep Zamzam Noor dalam puisi yang liris dan romantis. Acep Zamzam Noor adalah penyair yang ada dengan “gairah sunyi mencari arti abadi”. Begitu.

Dimuat di Lampung Post (13 Juli 2oo8)

Tidak ada komentar: