Kamis, 19 Juni 2008

Sastra dan Ilmu Sosial (2)

Oleh: Bandung Mawardi


Kehadiran sosiologi sastra menjadi bukti besar dari persinggungan atau pertemuan sastra dan ilmu social yang mendapatkan banyak reaksi (pro-kontra) dan penerapan. Sosiologi sastra yang tumbuh definitif pada abad XX membuktikan dan membuka kemungkinan simbisosme positif-konstruktif antara sastra dan ilmu sosial (sosiologi). Kritik sastra dengan pendekatan sosiologi sastra menjadi pusat perhatian yang menjelaskan hubungan sastra, pegarang, teks, pembaca, dan yang lain. Pelbagai teori-teori sosial kerap dipakai sebagai basis dan acuan dalam analisis sosiologi sastra: teori Karl Marx, Georg Lukacs, Lucien Goldman, Terry Eaglaton, Mikhail Bakhtin, Louis Althusser, Frederick Jameson, Antonio Gramsci, dan lain-lain.

Pengenalan sosiologi sastra dalam kesusastraan Indonesia modern mulai menguat sejak penerbitan buku Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978) yang disusun Sapardi Djoko Damono dan tim dari Universitas Indonesia. Sapardi Djoko Damono dalam buku itu menyebutkan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sastra adalah berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Batasan-batasan itu dipertemukan dalam konklusi sederhana bahwa sosiologi dan sastra memilki persamaan fokus: manusia dan masyarakat. Kehadiran buku itu diikuti dengan penerbitan buku-buku lain (teori dan kritik sastra) yang ikut memberi penjelasan wacana teori dan praktik sosiologi sastra: Faruk HT Pengantar Sosiologi Sastra (1993) dan Nyoman Kutha Ratna Paradigma Sosiologi Sastra (2003).

Wacana menarik yang muncul dari pertanyaan besar relasi sastra dan ilmu sosial adalah kehadiran “satra interdisipliner”. Pembicaraan dan perdebatan mengenai sastra dan ilmu sosial menemukan kemungkinan jawaban dalam sastra interdisipliner yang mempersoalkan persinggungan dan pertemuan antara sastra dan ilmu sosial. Sastra memilki relasi dengan ilmu sosiologi, antropologi, sosiologi, sejarah, komunikasi, dan yang lain. Penerapan kritik sastra mutakhir mulai menunjukkan intensitas dalam praktik sastra interdisipliner. Teks-teks sastra dibaca dan dianalisis dengan memakai teori-teori yang berasal dari ilmu-ilmu sosial.

Sastra dan ilmu sosial dalam wacana dan praktik menemukan suatu kemungkinan jawaban untuk suatu persinggungan dan pertemuan. Kehadiran sastra interdisipliner membuka interaksi dan komunikasi antara sastra dan ilmu sosial. Relasi dan simbiosisme yang ada adalah bentuk dari pertumbuhan ilmu sastra dan ilmu sosial yang melakukan pembaruan dan dekonstruksi. Teks sastra layak menjadi suatu acuan mengenai persoalan-persoalan dalam ilmu sosial tanpa harus tersisihkan atau dipertentangkan dengan kajian ilmu sosial. Kehadiran teks sastra bukan dominasi dari kepentingan ilmu sastra tapi menjadi suatu keterbukaan wacana pengetahuan antropologi, sosiologi, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial yang lain.

Muh. Arif Rokhman (2003) menyebutkan bahwa penerapan perspektif sastra interdisipliner memungkinkan suatu suatu keuntungan: (1) studi sastra tidak mengasingkan dirinya dari studi-studi sosial dan kemanusiaan yang parktis; (2) sastra sejajar dengan penelitian antropologi, sosiologi, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial yang lain; (3) teks sastra menjadi potret kehidupan karena bisa dilihat dari sisi-sisi lain mengacu pada pendekatan dari disiplin ilmu sosial; (4) sastra interdispliner menjadi pengayaan untuk ahli ilmu sosial dalam memahami manusia dan kemanusiaan; dan (5) studi sastra dimungkinkan bisa dilakukan oleh ahli sastra dan ahli dari ilmu-ilmu sosial. Sekian kemungkinan dan keuntungan itu tentu memerlukan suatu implementasi yang elaboratif dan kritis.

Studi sastra yang merepresentasikan suatu ikhtiar untuk mempertemukan pengetahuan sastra dan ilmu sosial dengan kadar tertentu bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan Jakob Sumardjo Masyarakat dan Sastra Indonesia (1979), Faruk HT Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra, Politik, Dekonstruksi (1995), Sapardi Djoko Damono Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), Goenawan Mohamad Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas (2000), Heddy Shri Ahimsa-Putra Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra (2001), Ignas Kleden Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (2004), dan lain-lain.

Buku-buku itu dengan pelbagai teknik membicarakan sekian perkara dengan pertimbangan pengetahuan sastra dan ilmu sosial. Membaca sastra bukan dipahami sebagai membaca dunia sendiri atau dunia tertutup. Membaca sastra adalah membaca dengan keterbukaan dan kemungkinan. Pengetahuan sastra dan ilmu sosial justru memberi kesanggupan interpretasi untuk membuka kemungkinan mayor dan minor yang mencerahkan.

Studi sosial yang merepresentasikan relasi sastra dan ilmu sosial bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan Bennedict Anderson, Niels Mulder, dan Rudolf Mrazek. Bennedict Anderson dalam memerkarakan sosial dan politik Jawa (Indonesia) menunjukkan sensitivitas membaca dan menganalisis dengan acuan teks sastra untuk penguatan narasi dan imajinasi sosial. Studi atas Jawa dan Indonesia menjadi sesuatu yang lain karena Bennedict Anderson melakukan tamasya teks sastra dam sosial dengan gairah dan lincah. Teknik membaca yang dilakukan Bennedict Anderson merupakan pilihan sadar dan kreatif untuk bisa menerapkan pengetahuan sastra dan ilmu sosial dalam suatu konstruksi yang harmonis.

Niels Mulder juga memiliki kegairahan dan kelincahan untuk melakukan studi sosial (antropologi) dengan memakai acuan pengetahuan sastra dan ilmu sosial. Niels Mulder memakai sekian teks sastra untuk mengetahui dan menganalisis perubahan sosial dan kebudayaan di Indonesia. Teks sastra sebagai acuan memungkinkan suatu pembacaan imajinatif yang membuat teori-teori sosial tidak kering dan kaku. Pengetahuan sastra dan sosial dalam studi Niels Mulder menjadi kisah mesra dalam membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menghindari dominasi dan kooptasi antara sastra dan ilmu sosial.

Rudolf Mrazek melakukan studi yang menarik mengenai teknologi dan nasionalisme di Indonesia yang mempertemukan ilmu sosal dan sastra. Teks-teks sastra menjadi referensi penting yang memungkinkan deskrispi dan analisis mengenai situasi zaman dan tanggapan terhadap perubahan sosial dan kebudayaan. Sekian teks sastra menjadi hidup dengan interpretasi dari Rudolf Mrazek yang membuat perangkat-perangkat dalam studi sosial menjadi lentur dan inklusif. Studi dari Rudolf Mrazek menjadi representasi bahwa dalam mengungkap dan menarasikan sejarah Indonesia memerlukan pengetahuan terhadap teks sastra sebagai referensi dan interepretasi terhadap perubahan zaman.

Bennedict Anderson, Niels Mulder, dan Rudolf Mrazek dengan sadar memahami teks sastra dalam sistem interpretatif tertentu yang memberi klaim atas kepentingan membaca dan menilai teks sastra untuk studi sosial. Paul Ricoeur dalam wacana hermeneutika mengajukan pemahaman bahwa teks sastra mengandung kekuatan untuk merekonstruksi realitas dan memungkinkan membuka suatu pengajuan atas sebuah dunia dalam transformasi makna dan realitas. Tulisan-tulisan Bennedict Anderson, Niles Mulder, dan Rudolf Mrazek eksplisit merepresentasikan kemungkinan untuk pembacaan dan pemaknaan yang signifikan atas realitas tanpa harus mengaburkan atau menguburkan peran antara sastra dan ilmu sosial.

Sastra dan ilmu sosial di Indonesia tanpa sadar sejak lama berada dalam hubungan kurang romantis karena alasan grogi, gengsi, atau spesialisasi. Hubungan kurang romantis itu melahirkan akibat ada “musim kemarau” atau krisis dalam kritik sastra dan perbincangan ilmu sosial. Kehadiran wacana sastra interdispliner menjadi provokasi yang patut diladeni oleh kalangan sastra dan ilmu sosial. Praktik sastra interdisipliner bisa menjadi kisah romantis dalam nostalgia dan utopia. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (15 Juni 2oo8)

Tidak ada komentar: