Senin, 28 Juli 2008

Membaca 1950-an


Oleh: Bandung Mawardi

Frans M. Parera dalam esai “Visi dan Misi Seniman Indonesia Pascarevolusi” (1994) mengabarkan bahwa masyarakat Indonesia pada tahun 1950-an baru saja menyelesaikan revolusi dan “melepaskan diri dari situasi abnormal dengan segala kekerasan dan duka-derita serta romantika persatuan dan kesatuan”. Zaman itu adalah zaman untuk normalisasi. Sebutan-sebutan lain untuk kondisi zaman itu adalah zaman krisis, lesu, impasse, dan kegelapan. Zaman 1950-an adalah zaman demokrasi yang memberikan kebebasan dan kemungkinan gerak untuk politik dan pers yang ditandai dengan sistem multipartai dan pertumbuhan lembaga pers. Demokrasi liberal itu sejak awal mengandung risiko besar yang bebarengan muncul dan menyebabkan hukum progresivitas susah berjalan dengan sempurna. Risiko besar itu pun dialami oleh seniman yang bergerak antara humanisme universal, nasionalisme, dan lokalitas. Seniman hidup dengan pandangan seni, intelektual, dan kebudayaan yang berhadapan dengan proses politik, sosial, dan ekonomi. Seniman memilih, merumuskan, dan merealisasikan atau malah mengalami kekalahan dengan sekian faktor dan alasan.

Pada tahun 1950-an kota menjadi ruang untuk produksi, reproduksi, dan ikhtiar penyelesaian masalah-masalah kehidupan. Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Solo, dan kota-kota lain adalah ruang yang menyimpan kisah-kisah penting untuk keberadaan tanda-tanda zaman, tafsiran, dan realisasi politik, ekonomi, agama, kesenian, pendidikan, pers, dan kebudayaan. Frans M. Parera mengabarkan bahwa pada zaman itu mulai ramai penerbitan majalah seni-kebudayaan, aktivitas seni pertunjukan, dan penerbitan karya sastra. Deskripsi mengenai zaman itu: “Situasi kesenian masyarakat Indonesia ditandai dengan keterpecahbelahan fungsi dan peranannya berhadapan dan berinteraksi dengan pelbagai lembaga sosial lainnya di sektor publik”.

* * *

Soedjatmoko memberi kabar lain mengenai kondisi 1950-an. Soedjatmoko dalam tulisan pengantar “Mengapa Konfrontasi” untuk edisi perdana majalah Konfrontasi (No. 1 Tahun I, Juli-Agustus 1954). Soedjatmoko dalam tulisan itu membuka persoalan dan pertanyaan dengan bahasan sastra Indonesia yang menjadi refleksi zaman dari revolusi sampai pertengahan tahun 1950-an. Penilaian Soedjatmoko yang kontroversial dan jadi pemicu polemik: ada krisis dalam kesusastraan dan kebudayaan di Indonesia.

Zaman krisis! Itulah ungkapan dan fakta yang keluar dari pemikiran Soedjatmoko. Konklusi yang mengejutkan: “Krisis yang kita alami ini, adalah suatu yang lebih pokok sifatnya, yang telah meresap ke dalam masyarakat kita di dalam segala pernyataan dan tindakan jiwa manusia.” Pernyataan-pernyataan kebudayaan diakui Soedjatmoko tidak bisa memecahkan krisis besar itu. Kesusastraan sebagai pemikiran dan praksis kebudayaan yang “berbicara” atau yang “bungkam” adalah cermin dari kondisi masyarakat Indonesia yang tawar, dangkal, dan dalam memahami dan merealisasikan kebangkitan kembali Indonesia.

Fakta masyarakat Indonesia pada tahun 1950-an adalah lenyapnya semangat revolusionernya dan hilangnya pertaruhan total pribadi dan kolektivitas. Kondisi itu membuat masyarakat hidup dengan “gerak-gerik setengah-setengah” dan “sinisme yang lahir dari ketidakpercayaan dan tindak tanduk dari jiwa-jiwa yang kecil.” Soedjatmoko mengusulkan dan hendak melakukan konfrontasi. Konfrontasi! Barangkali itulah jawaban lantang dan urgen atas krisis yang dihadapi. Konfrontasi dalam pengertian Soedjatmoko adalah “dengan arti dan makna revolusi”. Revolusi adalah suatu pencapaian atau jangkauan untuk menentukan nasib sendiri. Konfrontasi harus diadakan untuk diri sendiri dan dunia sekitar. Konfrontasi untuk krisis kesusastraan, kebudayaan, politik, sosial, dan krisis manusia Indonesia.

Uraian Soedjatmoko itu adalah pembacaan terhadap kesusastraan Indonesia modern yang menjadi fase lanjutan kesusastraan revolusi (1940-an). Kabar dari Soedjatmoko itu sejak awal menjadi isu besar yang melibatkan juru bicara penting dan otoritatif sastra pada tahun 1940-an dan 1950-an: H.B. Jassin yang terlanjur mencetuskan kelahiran dan keberadaan Angkatan 45. H.B. Jassin menengarai bahwa kesustraan Indonesia modern pada tahun 1950-an mengalami kemunduran dengan bandingan kondisi-kondisi sebelumnya. Penilaian itu kemungkinan dipengaruhi oleh kepentingan H.B. Jassin untuk menguatkan keberadaan Angkatan 45 dan Chairil Anwar sebagai bukti kesusastraan Indonesia modern. Persoalan krisis atau kemunduran kesusastraan Indonesia modern menjadi perhatian besar ketika ada orientasi besar untuk mengonstruksi kebudayaan Indonesia dengan pelbagai kiblat, paham, jalan, dan ideologi.

H.B. Jassin memerlukan diri untuk menuliskan teks panjang “Kesusastraan Indonesia Tidak Ada Krisis” (1954) yang disajikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. H.B. Jassin menyebutkan bahwa perbincangan mengenai krisis kesusastraan itu mulai jadi bahan perdebatan dari pendapat Sutan Takdir Alisjahbana pada 1951 dengan sebutan impasse dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia. H.B. Jassin melakukan sanggahan terhadap tuduhan impasse atau krisis dalam kesusastraan Indonesia dengan argumentasi ada kegairahan penerbitan buku-buku sastra dan kemunculan pengarang-pengarang baru. Argumentasi itu masih berkutat dalam persoalan sastra dan belum menjadi pembicaraan komprehensif dalam konteks sosial, politik, dan kebudayaan. Sanggahan H.B. Jassin tanpa sadar justru memberi suatu pembenaran terhadap polemik panjang mengenai krisis kesusastraan Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer masuk dalam persoalan besar itu dengan sikap kritis. Esai “Mencari Sebab-sebab Kemunduran Kesusastraan Indonesia Modern Dewasa Ini” dan “Offensif Kesusastraan – 1953” memberi informasi dan analisis terkait dengan perhatian kritikus sastra H.B. Jassin dan acara simposium kesusatraan Indonesia modern di Amsterdam yang menghadirkan Wertheim, Jan Romein, A. Teeuw, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Asrul Sani. Pramoedya Ananta Toer cenderung kurang percaya dengan penilaian-penilaian dari H.B. Jassin dan intelektual atau kritikus sastra terkait dengan kondisi kesusastraan Indonesia modern. Konklusi mengenai masalah kemunduran kesusastraan Indonesia modern adalah “sia-sia dan terlampau terburu-buru”. Kritik Pramoedya itu menuding bahwa H.B. Jassin sebagai faktor penting untuk masalah itu yang menyebabkan “sekelompok pemikir salon” antusias (percaya?) untuk menganggap isu atau masalah itu mendesak untuk dibicarakan. Faktor dan otoritas H.B. Jassin yang mengeluarkan penilaian itu dikatakan Pramoedya Ananta Toer terlanjur “jatuh di bumi yang subur”.

Krisis, kemunduran, kelesuan, atau pesismisme yang ada dalam kesusastraan Indonesia modern dikatakan Nugroho Notosusanto sebagai mitos yang tidak merepresentasikan atau mengungkapkan fakta-kondisi tahun 1950-an awal. Nugroho Notosusanto dalam esai “Situasi 1954” menelusuri dan mencari sebab kelahiran mitos itu. Inilah kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan mitos itu lahir: (1) Pesimisme orang-orang tentang zaman sesudah Pemulihan Kedaulatan; (2) Golongan “old cracks” di kalangan sastrawan yang pada periode 1945 mengalami zaman keemasan tapi pada periode 1950 mengalami kemunduran. Sastrawan-sastrawan itu kemudian menganggap zaman yang lalu adalah zaman gemilang dan menjelek-jelekkan zaman 1950-an yang telah memunculkan tokoh-tokoh baru; (3) Sastra Indonesia modern sejak awal memang sangat berorientasi pada sastra Belanda dengan orientasi universal yang terbatas pada sastra Belanda dan bukan pada sastra dunia.

* * *

Penilaian dari Frans M. Parera, Soedjatmoko, H. B. Jassin, Pramoedya Ananta Toer, dan Nugroho Notosusanto dalam tulisan ini hendak dipertemukan dengan cerpen-cerpen Misbach Yusa Biran. Kondisi tahun 1950-an bisa dibaca dan ditafsirkan melalui cerpen-cerpen Misbach Yusa Biran yang memusatkan perhatian pada seniman dan dunia kesenian-kebudayaan di Pasar Senen (Jakarta). Seniman dan “seniman” adalah perkara yang mengandung sekian pertanyaan dan curiga. Seniman adalah sosok yang hadir dalam cerita-cerita Misbach Yusa Biran. Seniman dan Pasar Senen menjadi catatan penting mengenai kondisi kesenian dan tanda-tanda zaman yang mengabarkan pesimisme. Misbach mengisahkan itu dalam buku kumpulan cerpen Keajaiban Pasar Senen (1971).

Cerpen Misbach Yusa Biran yang berjudul “Robby Alias Saad dan Nandi, Pengabdi Seni” merupakan kisah seniman, kondisi seni sandiwara, dan kondisi sosial-ekonomi. Misbach mengisahkan:

Sudah enam bulan tidak ada pertunjukan sandiwara. Barangkali masa ini bisa disamakan dengan zaman malese di tahun 1932. Tak ada seorang kaya pun yang tertarik hatinya untuk diakui menghargai seni dan sedia memberikan empat-lima ribu rupiah uangnya untuk bikin sandiwara dalam tempo enam bulan ini.

Deskripsi itu menjadi representasi nasib seni sandiwara yang apes. Seniman-seniman teater hidup dengan idealisme seni tanpa memiliki basis ekonomi yang kuat dan perhatian dari pemerintah atau masyarakat kelas menengah-atas. Kreativitas seni seakan memiliki ketergantungan besar dengan partisipasi bersama dalam kondisi zaman yang bimbang dan mencari bentuk. Kisah seniman sandiwara itu adalah bagian dari kisah kesenian yang pesimis menghadapi zaman. Misbach mencatat: “Banyak sangat istilah seni yang lahir untuk menamai masa itu: masa mandul, kering, tandus, musim kemarau, dan lain-lain.” Masa krisis! Krisis yang susah dihadapi dan diselesaikan. Istilah-istilah yang dicatatkan Misbach itu semakin memberi gambaran suram dan pesimisme kesenian- kebudayaan Indonesia tahun 1950-an.

Pesimisme dan seni sandiwara (teater modern) adalah kondisi yang tidak kondusif dan kerap menimbulkan frustasi atau depresi kaum seniman. Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa pesimisme zaman itu disebabkan oleh ketololan masyarakat Indonesia. Bentuk pesimisme yang berbeda dengan dunia Barat. Pesimisme yang menulari teater modern Indonesia terbaca dalam karangan dan proses kreatif Utuy T. Sontani. Pramoedya dalam esai “Berkenalan dengan Utuy T. Sontani” (1953) menuliskan: “Puncak pesimisme di kalangan pengarang Indonesia ada dalam jiwa Utuy T. Sontani. Pesimisme yang disebabkan karena ketololan keliling inilah yang membekukan kegiatan seni dan semangat kerjanya … ” Pesimisme Utuy T. Sontani itu adalah risiko yang mesti diterima dari kondisi zaman, mentalitas masyarakat Indonesia, proses-kerja kreatif seniman, dan pemikiran kaum intelektual-budayawan.

Kondisi krisis atau pesimis itu dihadapi seniman-seniman Pasar Senen yang mayoritas miskin dengan pembayangan dan taruhan besar. Ibnu Saad hadir sebagai tokoh yang ingin menyelesaikan krisis itu dengan kompensasi yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan untuk menjawab tuntutan ekonomi dan eskpresi seni. Ibnu Saad sebagai “seniman oportunis” mengatakan pada seniman-seniman Pasar Senen yang bimbang dan bingung: “Kawan-kawan, kita adalah seniman drama. Maka kita harus memperlihatkan hasil kita dalam lapangan ini. Tetapi kalian tidak punya uang.” Ketiadaan uang adalah masalah untuk niat dan kehendak mengekspresikan diri dalam seni sandiwara. Masalah itu butuh penyelesaian. Nasihat yang keluar dari mulut Ibnu Saad: “Boleh cinta seni, tetapi jangan membabi buta”. Nasihat untuk menggiring seniman mencari penyelesaian dengan manajemen yang curang untuk uang. Nasihat yang lain: “Kita bisa mengabdi seni, tapi jangan kita jadi melarat karenanya.”

Deskripsi mengenai pandangan estetika dan hubungan sosial seni sandiwara pada zaman itu bisa terbaca dalam tuturan Ibnu Saad yang memakai dalih kritik dalam menilai genre seni sandiwara di Indonesia: “Jangan seni, seni, seniii saja, tidak peduli orang mau mengerti atau tidak, ya siapa yang mau nonton? Rugi. Lebih rugi lagi kalau belakangan ketahuan pula bahwa kita sendiri pun tidak paham akan apa yang kita pentaskan.”

Usulan penyelesaian untuk masalah itu mendapatkan tanggapan pro dan kontra. Ibnu Saad menginginkan pertunjukan sandiwara bisa diadakan dengan dalih amal untuk anak yatim piatu. Strategi yang mesti dijalankan adalah membuat stempel untuk meloloskan kepentingan. Keberadaan stempel itu untuk mensiasati penjualan undangan agar mudah-meyakinkan dan ada keringanan pemotongan pajak. Siasat yang oportunis untuk ekpsresi seni dan uang. Hasil bersih dari pertunjukan yang mungkin kecil bakal diberikan pada rumah yatim piatu sesudah dipotong untuk biaya produksi dan yang masuk kantong seniman. Inilah jurus seniman yang pedagang atau pedagang yang seniman melalui tokoh Ibnu Saad. Kisah itu memunculkan dilema seni dan moral.

Keberadaan lembaga dan manajemen seni sandiwara dalam cerpen itu menjadi reprsentasi kondisi 1950-an. Frans M. Parera mengabarkan bahwa proses identifikasi diri dan otonomisasi lembaga kesenian pada zaman itu susah direalisasikan dan niscaya kalah dengan pengaruh besar atau kooptasi lembaga politik dan lembaga ekonomi. Seniman, manajemen seni, dan lembaga seni adalah kekuatan kecil yang ingin memberi konstribusi dalam pembentukan masyarakat modern Indonesia tapi kerap gagal, kalah, atau salah karena kondisi politik-ekonomi yang hegemonik dalam sistem demokrasi versi Indonesia. Inilah kontradiksi yang sejak lama muncul dalam konstruksi kebudayaan Indonesia modern.

Tokoh Nandi menjadi sosok yang melawan dan bertahan dengan ideologi seni yang tidak ingin mencari keuntungan dengan mengabaikan moral dan nilai-nilai kesenian. Nandi menjadi oposisi yang keras terhadap Ibnu Saad. Usulan penyelesaian yang oportunis itu digugat dan diprotes Nandi dengan suara lantang: “Ini adalah pengkhianatan! Pengkhianatan terhadap seni bagiku adalah sama dengan pengkhianatan terhadap negara, bahkan lebih besar. Karena seni …” Pernyataan yang kritis dan idealis. Seni menjadi perkara besar dan menentukan. Seni adalah ekspresi, keindahan, moral, dan nasionalisme. Begitu?

Peran oposisi Nandi itu lenyap karena pelbagai fakta dan argumentasi. Nandi justru menjadi bagian dari “seni oportunis” Ibnu Saad dan konco-konconya. Ibnu Saad berhasil mengadakan pertunjukan dengan pencapaian penonton yang banyak dan tentu laba yang menggiurkan. Nandi memainkan peran sebagai juru bicara dalam pidato awal pertunjukan yang memikat dan meyakinkan. Pidato yang berisikan kebohongan-kebohongan. Pidato itu berisikan niat bahwa seratus persen uang yang diperoleh untuk amal. Bagian pidato yang penting untuk mengetahui kondisi kesenian dan kebudayaan 1950-an:

Dan atas nama sekalian seniman drama, sekali lagi saya sampaikan hormat dan salam hangat atas perhatian yang telah diberikan kepada kami, para pencinta seni drama yang dengan sesuci hati menyerahkan seluruh apa yang ada pada kami demi kemajuan seni drama pada khususnya dan kebudayaan nasional pada umumnya.

Jargon yang lazim muncul pada zaman itu “seni untuk seni”, “seni untuk rakyat”, “seni untuk revolusi”, dan lain-lain. Kebudayaan nasional yang dikabarkan tokoh Nandi adalah rumusan yang masih menyimpan sekian persoalan. Wacana itu pada tahun 1950-an mungkin menjadi representasi keinginan untuk mengonstruksi kebudayaan nasional yang ditentukan oleh paham politik atau ancangan nasionalisme yang hendak direalisasikan. Kebudayaan nasional pada zaman itu adalah definisi konstitutif yang mengakumulasikan puncak-puncak kebudayaan daerah dan tafsir kebudayaan modern untuk kepentingan identitas nasional. Sastra atau seni sandiwara modern yang mengacu pada Barat hendak dipahami dan diolah dengan jurus-jurus atau sistem tertentu sehingga layak untuk diakui sebagai kebudayaan nasional Indonesia.

Perspektif kebudayaan itu layak untuk dikaitkan dengan keberadaan Surat Kepercayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” Indonesia. Surat yang dirumuskan oleh seniman-budayawan (Chairil Anwar, Asrul Sani, Mochtar Apin, dan lain-lain) sejak tahun 1946 dan dipublikasikan pada awal tahun 1950 yang cenderung menengok ke Barat menjadi ciri yang memengaruhi wacana dan praktik kebudayaan tahun 1950. Isi penting dari Surat Kepercayaan Gelanggang: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Pengakuan dan ikhitar besar untuk konstruksi kebudayaan yang tidak sekadar Indonesia. Pandangan kebudayaan versi Surat Kepercayaan Gelanggang: “Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri.”

Deskripsi mengenai rumusan kebudayaan pada tahun 1950-an juga bisa dibaca dalam cerpen Misbac Yusa Biran “Nasihat untuk Para Seniman”. Nasihat diberikan oleh tokoh Bapak Kebudayaan (pejabat di kantor pemerintah) pada tokoh saya dan tokoh Rusli yang niatnya untuk mencari pekerjaan di kantor itu. Tokoh Rusli merupakan seniman yang susah mencukupi kebutuhan hidup dari karangan saja. Tokoh Rusli butuh pekerjaan dan gaji tetap. Niat itu menghasilkan nasihat yang menyindir tapi tidak menyelesaikan masalah. Nasihat Bapak Kebudayaan itu mungkin bisa menjadi representasi penting mengenai kondisi kebijakan kebudayan pejabat dan lembaga pemerintah pada masa itu. Inilah perpektif kebudayaan Indonesia dari tokoh Bapak Kebudayaan:

Saya telah diserahi kerja untuk meneruskan kerja orang yang terdahulu, dan ternyata rencana serta konsep mereka tentang kebudayaan hanya membuat saya terpingkal-pingkal saja. Saya rombak semua, apa boleh buat harus peras keringat karena untuk kebudayaan kita tidak bisa main-main. Kebudayaan adalah jiwa, warna, dan segala-galanya dari suatu bangsa. Bagaimana mungkin hal besar ini hanya diserahkan kepada orang-orang yang hanya biasa kerja rutin, yang kerja untuk menunggu pensiun saja? Omong kosong! Orang dengan kapasitas begitu tak mungkin bisa mencintai kebudayaan, menghargai hasil seni, menghargai seniman, serta bisa ikut mengembangkan kesenian Indonesia yang tengah mencari coraknya ini! Bagaimana mereka bisa menghargai, bahkan untuk hanya sekadar bisa mengerti penghidupan seniman?

Kehidupan seni sandiwara pada 1950-an dikisahkan Misbach Yusa Biran dalam cerpen “….. Dunia Bobrok”. Cerpen yang mengisahkan tokoh Arman sebagai seniman sandiwara di Pasar Senen dan perihal naskah sandiwara. Tokoh Arman adalah sosok yang memiliki hasrat besar menjadi seniman (penulis daram). Hasrat itu kerap dikatakan pada komplotannya di Pasar Senen sehabis menonton pertunjukan sandiwara. Hasrat itu kurang bisa dibuktikan oleh Arman yang membuat komplotannya ragu. Bukti itu baru bisa diajukan sekian waktu lamanya. Suatu hari tokoh Arman membawa seberkas kertas (cerita sandiwara) di Pasar Senen untuk dipamerkan sebagai bukti dari hasrat menjadi penulis naskah drama. Naskah itu berjudul “Dunia Bobrok”. Tokoh Arman memberi penjelasan: “… sandiwara itu absurd: sandiwara aneh, unik, atau yang bukan-bukan; yang kabarnya sedang amat populer di Eropa sekarang. ‘Dunia Bobrok’ hanya dimainkan oleh satu pelaku dan dekornya tumpukan sampah.”

Sandiwara absurd atau teater absurd menjadi suatu persoalan yang penting dalam zaman 1950-an. Naskah “Dunia Bobrok” mengabarkan bahwa ada pengaruh besar aliran dan trend teater Eropa dalam teater modern Indonesia. Ada tulisan menarik dari Iwan Simatupang mengenai teater absurd dan teater modern Indonesia tahun 1950-an dalam esai “Teater Absurd (1)” (1958). Iwan Simatupang menengarai ada kegagapan penilaian terhadap naskah-naskah Utuy T. Sontany (Awal dan Mira, Di Muka Kaca, dan Selamat Jalan Anak Kufur). Penilaian Iwan Simatupang adalah perkara pelabelan naskah Utuy T. Sontany sebagai naskah eksistensialisme. Naskah-naskah Utuy T. Sontany pada masa itu memang memberi kontribusi besar dan ikut menentukan nasib-arah teater modern Indonesia. Persoalan eksistensialisme adalah persoalan lain. Iwan Simatupang kurang percaya dan susah membuktikan bahwa naskah-naskah Utuy T. Sontany mengandung representasi pemikiran filsafat eksistensialisme dan faktor dari teater absurd. Penilaian itu berdasarkan pada amatan dan referensi (Sartre). Iwan Simatupang dalam esai “Teater Absurd (2)” (1958) memberikan informasi, deskripsi, dan analisis keberadaan naskah dan teater absurd di Eropa dengan acuan Ionesco. Esai itu kentara menyarankan ada wacana teater absurd yang mempengaruhi seniman-seniman teater modern di Indonesia seperti yang diakui tokoh Arman.

* * *

Bagaimana ikhtiar seniman mengurusi diri sendiri untuk seni dan hidup. Tokoh Q.R.S. Tanjung menjadi contoh yang diajukan Misbach Yusa Biran dalam cerpen “13 Kopi Kecil dan Asap Rokok”. Tokoh Tanjung mengklaim diri dengan identitas seniman drama. Seniman Tanjung adalah sosok yang merasa tidak betah diam di rumah. Kopi dan rokok adalah syarat mutlak untuk melamun (mencari inspirasi) dan menguatkan identitas diri di hadapan orang lain. Pandangan hidup Tanjung tidak menggubris atau tidak memiliki nafsu untuk berpikir uang melulu seperti yang ada dalam diri pedagang-pedangan di kompleks Pasar Senen. Inilah pernyataan keras seniman Tanjung mengenai kehdiupan seni dan masyarakat Indonesia: “Saya benci orang Indonesia, mereka belum bisa menghargai seni.”

Pernyataan itu hadir dalam proses normalisasi zaman 1950-an yang cenderung mementingkan konstruksi kolektif untuk politik. Individu hidup dengan pengaruh-pengaruh dan kondisi yang belum menentu. Seni menjadi urusan yang masih terpahamkan sebagai rekreasi atau hiburan untuk kelas sosial menengah-atas di kota. Pernyataan seniman Tanjung itu adalah persoalan-persoalan yang dihadapi seniman dalam memosisikan dan memerankan diri. Persoalan internal dalam diri seniman dan dunia seni tentu menjadi penyebab besar selain fakta yang ada dalam masyarakat.

Pernyataan yang sama disampaikan tokoh Rebin dalam cerpen “Lukisan Abstrak dan Batu Cincin”. Tokoh Rebin adalah pelukis abstrak. Inilah pernyataan keras untuk masyarakat dunia seni rupa dan masyarakat Indonesia: “Sangat sulit menjadi pelukis abstrak di Indonesia. Orang-orang negeri ini belum bisa menghargai seni yang tinggi.” Pernyataan itu adalah kemarahan Rebin atas obsesi yang susah dibuktikan untuk menjadi pelukis abstrak dan bisa menjual lukisan dengan harga mahal. Pandangan estetika tokoh Rebin cenderung pragmatis dan komersial. Tokoh Rebin mengesahkan diri sebagai pelukis yang menganut paham Rebinisme. Pengesahan itu dilakukan karena para pelukis menganggap lukisan Rebin tidak menunjukkan anutan paham impresionisme, ekspresionisme, atau kubisme. Paham-paham seni rupa itu adalah persoalan besar yang membuat seniman ingin hadir dengan paham-paham tertentu yang mengacu pada fenomena seni rupa modern Barat. Persoalan paham itu pun dihadapi dalam teater dan kesusastraan Indonesia modern. Pemahaman Rebin mengenai lukisan abstrak dan uang terkesan konyol dan ambisius: “Kalau sudah berhasil sekali, selanjutnya mudah. Enak! Kerjanya mudah. Corat-coret saja sembarangan dan itu bisa dijual mahal-mahal. Malah tambah sembarangan tambah mahal lagi harganya.”

S.M. Ardan dalam pengantar Keajaiban Pasar Senen (1971) menyebutkan cerpen-cerpen Misbach Yusa Biran adalah teks yang mayoritas mengisahkan “seniman pura-pura”. Siapa itu seniman pura-pura? S.M. Ardan memberi definisi: “Mereka adalah orang yang mengaku diri seniman untuk menutupi ke-‘gelandangan’-nya, penganggur-penganggur malas yang di atas kedekilannya memasang etiket mentereng: seniman.” Definisi itu mengandung kritik keras dan menggemaskan. Bagaimana seniman-seniman pada tahun 1950-an merumuskan dan mengonstruksi identitas diri sebagai seniman? Jawaban untuk pertanyaan itu tentu dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan di Indonesia pascarevolusi (1950-an). Kondisi zaman yang membuat orang memilih dan menerima risiko.

Misbach Yusa Biran dalam cerpen “Keajaiban Pasar Senen” mengisahkan sosok seniman dalam deskripsi yang khas. Identitas seniman dituturkan oleh tokoh saya terhadap tokoh Asmar. Kisah itu bermula dari pertemuan tokoh saya dengan tokoh Asmar di Pasar Senen. Tokoh saya melihat Tokoh Asmar yang merenung. Tokoh saya menduga tokoh Asmar mendapatkan dan memikirkan ilham. Tokoh saya ragu untuk memulai percakapan karena takut menganggu dengan alasan: “Mengganggu yang sedang dapat ilham merupakan kesalahan yang sulit dimaafkan oleh seniman.” Tokoh saya lantas membuat deskripsi dan kesimpulan bahwa tokoh Asmar memang “dilahirkan ke dunia untuk jadi seniman.” Kesimpulan itu dikuatkan berdasarkan ciri-ciri tokoh Asmar: badan yang lampai, mata cekung, rambut tipis yang dibiarkan menjalar, dan berjenggot. Inilah gambaran seniman Pasar Senen dari amatan dan kesimpulan tokoh saya:

Barangkali Asmar ini jugalah satu-satunya seniman di wilayah Pasar Senen yang paling seniman tulen: 100 %, 24 karat. Dialah seniman yang paling bohemian, hidup melarat tak peduli baju dan kebersihan badan. Dan lebih dari itu tak mau bekerja apa-apa, kecuali berpikir untuk seni. Tidak mau cari uang, karena katanya ia benci uang. Ada yang bilang bahwa ia mengatakan dirinya sebagai penganut faham optimisme. Artinya ia punya keyakinan bahwa setiap yang masih bernyawa, tentu masih ada rezekinya. Dan memang, sampai hari itu masih hidup, sedang termenung.

Tokoh Asmar dalam cerpen itu ternyata memiliki masalah besar dengan uang. Kemalasan dan ketidaksanggupan mencari rezeki ditutupi dengan identitas seniman. Fakta yang ada adalah tokoh Asmar dalam pemenuhan kebutuhan hidup tergantung dengan kebaikan keluarga dan tokoh saya. Pencitraan diri sebagai seniman diyakini tokoh Asmar bisa jadi jalan yang menyelamatkan hidup.

Ikhtiar menggagalkan niat seseorang menjadi seniman dilakukan oleh tokoh saya dalam cerpen “Andaikan Jumpa Pacar Saya, Tolonglah ….!” Tokoh saya membujuk agar tokoh Burhan (tukang cukur) membatalkan diri untuk jadi seniman. Tokoh Burhan merasa bahwa dengan memelihara jenggot maka layak untuk menjadi seniman. Keyakinan itu diperoleh tokoh Burhan dari pergaulannya dengan seniman-seniman Pasar Senen. Tokoh saya memperingatkan tokoh Burhan: “… orang bukan jadi seniman karena jenggotnya tumbuh. Jenggot tidak mempengaruhi bakat seseorang.” Peringatan itu tidak digubris karena tokoh Burhan yang memiliki hasrat lekas jadi seniman. Tokoh Burhan pun terus terbujuk menjalani hidup sebagai seniman dengan bukti ikut main sandiwara dengan peran sebagai Si Kepala Botak Sebelah. Peran itu dijalani denga kerelaan memotong rambut hanya sebelah. Proses dan pembuktian sebagai seniman dilakukan tokoh Burhan: malam hari datang paling awal dan pulang paling akhir di Pasar Senen, tidak tidur di rumah sendiri tapi di rumah seniman, betah ngobrol dari malam sampai pagi. Risiko dari laku seniman itu adalah kedai cukur tutup terus karena siang hari tokoh Burhan tidur. Tokoh Burhan telah jadi seniman?

* * *

Pengenalan seseorang sebagai seniman-pengarang dikisahkan Misbach Yusa Biran dalam cerpen “Kalau Bung Seniman, Jangan Tinggal di Kampung”. Tokoh saya bertemu dengan seseorang di Pasar Senen. Tokoh saya merasa yakin bahwa dengan melihat cara duduk seseorang itu yang semaunya berarti seniman. Tokoh saya pun merasa bahwa dengan berpakaian lecek sesorang itu pasti mengira dirinya seniman. Pengenalan yang naif. Pertemuan dengan ciri-ciri itu menjadi pengesahan untuk obrolan khas seniman pada malam hari di Pasar Senen. Tokoh saya menanyakan: “Saudara seniman, ya?” Seseorang itu menjawab: “Pengarang.” Pembukaan obrolan yang menentukan posisi dan identitas. Tokoh aku masuk pada pertanyaan yang rawan: “O, pengarang. Mengarang apa? Barangkali saya pernah baca tulisan Saudara di majalah.” Seseorang yang mengaku pengarang itu tak memberi jawaban. Reaksi yang membuat tokoh saya jadi kikuk dan merasa bersalah. Pertanyaan itu biasa tapi menjadi tidak biasa dalam cerpen Misbach Yusa Biran. Tokoh saya sadar dan merumuskan pertanyaan revisi dan penjelasan dengan pemikiran naif. Pertanyaan “yang mana karangan Saudara” pada masa itu (1950-an) dan di tempat itu (Pasar Senen) adalah pertanyaan yang paling tabu diajukan untuk seniman-seniman muda. Tabu itu mengacu pada alasan bawah kemungkin besar seniman tersebut telah jadi seniman sebelum menulis satu karangan pun. Pemikiran tokoh saya adalah representatif mengenai identitas dan definisi seniman.

Perdebatan masalah seni dan cinta dituliskan Misbach Yusa Biran dalam cerpen “Enak Kawin, Mas?” “Bolehlah”. Tokoh Yanto adalah seorang penyair romantis atau penyair cinta-pemuja perempuan. Tokoh Yanto memiliki sikap tenang dalam pergaulan seniman Pasar Senen. Perdebatan terjadi dengan tuduhan dan pembelaan terhadap kemurnian seni (puisi) dan perasaan cinta (pemujaan) terhadap perempuan. Perdebatan yang mempersoalakan pandangan estetika seniman dan keindahan (puisi atau perempuan). Inilah fragmen perdebatan (pengadilan?) seniman-seniman Pasar Senen.

“Aku hanya menghargai keindahan, keindahan dari apa yang kucintai.”

“Dan kau memujanya setinggi langit?”

“Karena ia memang kucintai, dengan cinta dari lubuk hati yang sedalam-dalamnya,” jawab Mas Yanto sambil tersenyum nikmat sekali.

“Dan kau mengkhianati kemurnian seni?”

“Kenapa?”

“Kau memohon belas-kasihannya supaya dicintai dengan jalan memuja-muja melalui seni, melalui sajak. Kau pengemis cinta dan pengkhianat!” kata seorang seniman dengan gaya Pak Jaksa yang melontarkan tuduhannya.

Perdebatan itu merepresentasikan dunia pikir dan perhatian seniman-seniman Pasar Senen terhadap pelbagai tema, isu, persoalan privat atau publik. Perdebatan yang alot dan keras. Perdebatan itu layak mendapatkan perhatian dalam kondisi zaman 1950-an yang ramai dengan perdebatan (polemik) besar politik, ekonomi, dan kebudayaan. Polemik yang ada ketika itu antara lain polemik (sastra dan kebudayaan) antara Soedjatmoko versus Boejoeng Saleh dan Iwan Simatupang versus H.S.

Tokoh Mas Yanto dalam cerpen itu mengajukan sebuah puisi cinta. Puisi yang menjadi alasan untuk perdebatan estetika dan kisah percintaan. Inilah dua bait puisi penyair Yanto: Senyummu penaka citra / Sejuk mengusap hatiku yang kelam / Sejuk meresap antero alam / Kerlip matamu penaka bintang // Surga di tangan kananku … / Seluruh dunia di tangan kiriku / Kalau kau balas saja / senyumku, sayang … Puisi itu layak menjadi contoh kondisi perpuisian 1950-an yang berbeda dengan masa Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin (Angkatan 45). Puisi-puisi tahun 1950-an mengidap kelesuan atau krisis dalam pemikiran Soedjatmoko. Penilaian itu mendapatkan penjelasan kritis dari Iwan Simatupang yang melakukan pembacaan dan pengamatan puisi-puisi 1950-an pasca-Chairil Anwar. Iwan Simatupang menilai puisi pada masa itu dengan konteks kesusastraan, politik, dan kebudayaan yang lesu. Dugaan yang muncul: “… setidak-tidaknya penyair-penyair kita ada mengalami kepayahan dalam pergulatan melepaskan diri dari pitingan kelesuan dan keisengan kini.” Pada masa itu terjadi publikasi besar-besaran puisi di majalah kebudayaan dan sastra. Jumlah itu tidak diimbangi dengan kualitas estetika dan semangat zaman. Puisi-puisi yang ada adalah puisi sampah, iseng, bombastis, dan verbalistis sebagai representasi impase dan kecengengan penyair. Iwan Simatupang menginginkan harus ada ikhtiar untuk melepaskan diri dari impasse, kelesuan, krisis, dan verstarring dengan “menempuh jalan baru”. Hipotesa Iwan Simatupang terhadap kondisi perpuisian masa itu adalah normalisasi (mengusahakan adanya kesederhanaan dan kelangsungan).

* * *

Membaca 1950-an adalah membaca kisah Indonesia yang memproduksi dan mereproduksi wacana untuk konstruksi Indonesia pascarevolusi. Konstruksi Indonesia yang melibatkan pelbagai ide, kritik, polemik, paham, dan perseteruan. Membaca 1950-an adalah membaca Indonesia yang belum menjadi dan belum selesai. Begitu.

Dimuat di Littera Edisi 4 Tahun 1 (Juli – Agustus 2oo8)

1 komentar:

pak muliadi mengatakan...

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل