Kamis, 10 Juli 2008

Teknologi, Ideologi, Risiko


Oleh Bandung Mawardi

Teknologi menjadi perkara yang melahirkan pembebasan dan risiko terhadap kebebasan. Keberadaan teknologi niscaya menjadi dalil untuk kisah-kisah manusia dengan pelbagai penemuan dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi ada karena manusia dan manusia bisa menjadi tidak ada atau kehilangan makna karena teknologi.

Teknologi dalam arus modernitas hadir bersama ideologi. Teknologi menjadi representasi dari pencapaian-pencapaian manusia dalam menghadapi atau mendahului zaman. Ideologi dalam teknologi adalah realisasi untuk kemungkinan dan utopia. Jurgen Habermas dalam pemikiran kritis mengenai teknologi dan ideologi mengatakan bahwa teknologi ada dalam pertumbuhan masyarakat industri dan kapitalisme yang melahirkan suatu sistem kekuasaan untuk menentukan tatanan sosial dan rasionalitas atas perubahan. Sistem kekuasaan itu adalah ideologi yang menjadi acuan dan pencapaian dengan ririko kebebasan atau perbudakan.

Pemikiran Jurgen Habermas itu kentara mendeskripsikan dan menganalisis kondisi sosiologis masyarakat Eropa dalam perspektif modernitas. Pemikiran Jurgen Habermas mengenai teknologi sebagai ideologi merupakan sanggahan kritis atas tesis Herbert Marcuse yang menyakini bahwa kekuatan pembebas dari teknologi berubah menjadi belenggu kebebasan. Belenggu itu justru memperalat manusia. Teknologi membuat manusia mengalami nasib tragis karena lengah dan gagal mengoperasikan ideologi yang lepas dari kekuasaan manusia.

Pertumbuhan teknologi adalah klaim terhadap kisah-kisah manusia untuk ada dalam dunia dan abad yang berlari. Kekuatan dan risiko dari teknologi membuat perubahan-perubahan susah diramalkan atau dipahami dengan nalar awam. Jacques Ellul dengan reflektif melakukan suatu analisis terhadap peran teknologi dalam pemahaman bahwa ada kekuasaan yang menggerakkan manusia untuk membutuhkan dan tergantung pada teknologi. Kebutuhan itu menjadi sistem tanpa jaminan dan prediksi terhadap pembebasan dan kebebasan manusia. Jacques Ellul dengan lugas mengartikan bahwa masyarakat modern adalah masyarakat teknologis. Masyarakat teknologis adalah masyarakat yang ada karena karena kesesuaian atau resistensi terhadap teknologi dalam jejaring ekonomi, industri, politik, dan sosiologi. Kegagapan dan kegagalan dalam mengoperasikan teknologi bisa menjadi alasan untuk klaim zaman kecemasan.

Pemikiran-pemikiran kritis terhadap teknologi terus ada tapi tidak lekas menemukan solusi implementatif untuk menilai dan menemukan kembali otonomi manusia dan otentisitas nilai-nilai kemanusiaan. Abad XX sebagai abad teknologi mulai melahirkan godaan dan risiko-risiko berat. Teknologi memainkan kekuasaan yang mengantarkan manusia dalam perkara kompleks mengenai ekologi, politik, globalisasi, pasar, teologi, pendidikan, dan lain-lain.

Kecemasan dan utopia ada karena teknologi memungkinkan manusia berada dalam hukum perubahan tanpa kendali. Pilihan untuk afirmatif, defensif, atau resisten mengandung risiko dan utopia berbeda. Kisah besar teknologi semakin memberi janji dan kutukan yang susah diterima atau ditolak. Kisah besar manusia dan teknologi diistilahkan John Naisbitt (1999) sebagai “zona mabuk teknologi”.

John Nasbitt menilai bahwa masyarakat Amerika yang memiliki teknologi tinggi dan maju merupakan contoh dari kompleksitas hubungan manusia dengan teknologi berdasarkan dalil dan konsekuensi. John Naisbitt mengartikan “zona mabuk teknologi” sebagai hubungan rumit dan bertentangan antara teknologi dan pencarian manusia atas makna. Gejala “zona mabuk teknologi” antara lain: (1) menyukai penyelesaian masalah secara kilat dalam masalah agama sampai gizi; (2) takut sekaligus memuja teknologi; (3) mengaburkan perbedaan antara yang nyata dengan yang semu; (4) menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar; (5) mencintai teknologi dalam wujud mainan; dan (6) menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.

Gejala-gejala itu mulai menyebar dan terasakan di Indonesia dengan pelbagai fakta bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi teknologi dengan kelengahan dan kesalahan. Teknologi dalam bentuk televisi, kendaraan bermotor, telepon genggam, dan lain-lain menjadi perkara yang mengantarkan masyarakat Indonesia dalam gejala “zona mabuk teknologi”. Televisi, kendaraan bermotor, komputer, dan telepon genggam merupakan representasi teknologi yang memiliki kekuatan untuk menjadi acuan perubahan besar. Perubahan itu melahirkan risiko psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, religiusitas, dan lain-lain.

Penilaian kritis terhadap teknologi memang kurang memberi efek signifikan karena masyarakat berada dalam posisi memuja dan mencintai teknologi untuk sesuatu yang pragmatis. Risiko-risiko yang ada dalam teknologi dan kelengahan mengoperasikan teknologi kerap terlupakan dan kurang sahih sebagai alasan masyarakat untuk sadar dan kritis terhadap teknologi. Risiko-risiko itu ada dan susah dihindari karena niscaya. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (7 Juli 2oo8)

Tidak ada komentar: