Senin, 28 Juli 2008

Kisah Kapal Rajamala

Oleh: Heri Priyatmoko

Kesamaan koleksi apa kita bisa temukan manakala menginjakkan kaki di Museum Radya Pustaka dan Museum Keraton Kasunanan Surakarta? Jawabannya ialah kepala perahu Rajamala. Benda yang dianggap keramat oleh pegawai museum ini memang bikin pengunjung merinding. Logis bila banyak anak kecil yang datang takut mendekat karena itu berwujud kepala raksasa dengan mata terbelalak dan berwarna merah darah serta ditambah aroma sesaji kembang setaman yang ditaruh di sampingnya.

Kepala kapal Rajamala menyimpan sejuta kisah sejarah. Dengan mengawali kajian dari kepala kapal Rajamala, sebenarnya kita bisa merangkai kepingan sejarah Bengawan Solo, sejarah masyarakat Solo hingga sejarah Pesanggarahan Langenharja yang terletak di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Studi tentang kesejarahan sungai legendaris Bengawan Solo ada beberapa pihak yang telah melakukannya. Misalnya, TS Raffles (1817:17-18), PH van der Kemp (1894:128-129), JJ de Hollander (1895:263), FH van Naerssen (1943:623), M.T Arifin (2005) dan terakhir laporan Ekspedisi Bengawan Solo Kompas (2007). Namun, telaah mereka tersebut tidak banyak mengupas kesinambungan sejarah antara Rajamala, Bengawan Solo dengan keberadaan Pesanggarahan Langenharja.

Pada abad XVIII, dari Bandar Beton, Nusupan, Semanggi dan Mojo saban tahun pada musim penghujan 24 perahu besar milik keraton mengarungi Bengawan Solo menuju Gresik untuk mengangkut garam. Di antara perahu milik keraton, terdapat satu perahu khusus keraton bernama Kiai Rajamala yang dibuat pada masa Paku Buwono (PB) IV. Nama ”Rajamala” sendiri diadopsi dalam folklore mengenai Kerajaan Kicakapura. Rajamala adalah nama dari telur kura-kura jelmaan Dewi Watari, seorang putri cantik yang menjadi pengawal Resi Indradewa. Secara khusus, perahu Rajamala digunakan untuk sarana jalan-jalan penguasa Keraton Kasunanan dan hajatan penting saja. PB IV (1788-1820) menggunakan Rajamala hilir mudik ke Gresik menjemput putri Pamekasan, Madura, untuk dilamar sebagai permaisuri. Perjalanan terakhir Rajamala ke tanah seberang dilakukan PB VII (1830-1858) saat menjemput putri dari Bangkalan, Madura, putri Sultan Tjakraningrat.

Kota Solo di awal abad XX kerab dilanda banjir, karena belum dibangun tanggul dan turbin air oleh penguasa tradisional (Mangkunegara dan Paku Buwono) yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Banjir digunakan PB IX (1861-1939) bersama kerabat keraton untuk berpesta lumban (bermain air) dengan menggunakan Rajamala. Di atas kapal, raja membagi-bagikan makanan kepada orang-orang yang tertimpa bencana banjir. Istilah pembagian barang ini disebut udik-udik. Fenomena unik sewaktu banjir akibat luapan air sungai yaitu terciptanya keramaian pesta air. Masyarakat Kota Solo tidak takut. Pasalnya, pihak keraton telah antisipasi untuk menolong korban banjir dengan membentuk badan yang mengurusi. Ada juru silem, juru mudi, dan juru pembelah.

Bengawan Solo sering kali untuk ajang pesta besar seperti adanya orang nikah (temanten) yang diarak dengan kapal secara beriring-iringan. Kapal tersebut dihias dengan lengkung-lengkung janur kuning, bendera dan plisir gula kelapa mengombak air. Tidak lupa pula alunan gamelan yang ditabuh di atas kapal sungguh menambah semaraknya suasana. Masyarakat pun yang tinggal di tepi sungai sangat gembira melihat arak-arakan yang tidak mesti mereka jumpai setiap saat. Tempat biasa mangkal Rajamala di Bandar Nusupan dan Langenharja.

Kata ”Langenharja” diambil dari nama sebuah desa di salah satu Kecamatan Grogol, Sukoharjo. Desa itu berjarak tujuh kilometer dari Keraton Surakarta. Pembangunan pesanggrahan dimulai sejak PB IX berkuasa. Tepatnya pada hari Rabu Kliwon tanggal 16, bulan Pasa, Wuku Wugu, Rabiulakhir tahun 1800 Jawa dengan candra sengkala, “sirna ilang murtining rat. Darsiti Soeratman (1989) menjelaskan, dahulunya kawasan pesanggrahan tersebut merupakan tanah pangrembe yaitu tanah milik raja yang dipersiapkan untuk memberikan hasil tertentu misalnya padi, rumput dan lainnya.

Bangunan Pesanggrahan Langenharja berarsitektur Jawa, model joglo dan limasan. Posisi pesanggrahan menghadap ke arah timur, persis seperti bangunan Keraton Surakarta. Dalam kosmologi Jawa, arah timur adalah tempat terbitnya matahari yang dipercayai sebagai lambang dari segala sumber kegiatan manusia di dunia. Adapun susunan bangunan pesanggrahan tersebut, meliputi plataran luar yang dihiasi dengan pohon beringin berjajar dua yang dilingkari dengan semacam bingkai; probosono digunakan untuk menerima tamu-tamu kehormatan raja; bangsal keprajuritan untuk istirahat prajurit keraton; dalem agung sebagai tempat kegiatan bersifat kenegaraan; ruang kaputren khusus ditempati permaisuri, selir dan putri raja; sanggar pemujaan, ruangan semedi keluarga raja; dan masjid untuk sarana beribadah abdi dalem.

PB IX menuju ke pesanggrahan, selain naik kereta dan menunggang kuda sendiri, beliau naik Rajamala menyusuri pinggiran Bengawan Solo dengan kawalan beberapa abdi dalem, abdi hourderas, dan panewu juru silem. Kala itu, Pesanggrahan Langenharja difungsikan sebagai tempat rekreasi aristokrat kerajaan dengan mengadakan pertunjukan Dombo Sawala (perkelahian antar sesama binatang). Binatang yang sering diadu ialah harimau melawan domba (berok) dan anjing melawan babi. Untuk dihadapkan pada harimau, kambing diberi taji dan kalung buntal, yaitu rangkaian daun-daun yang warna-warni.

Kemudian pada malam hari, raja menghibur diri memanggil abdi dalem Jogo Swara. Tugas abdi dalem ini, membaca buku dengan dilagukan (nembang). Biasanya, abdi dalem Jogo Swara posisi nembang di depan raja yang menikmati sambil tiduran. Konon, cara itu bisa menyembuhkan rasa capek raja.

Dewasa ini, tampaknya Pemerintah Kabupaten Sukoharjo belum berambisi mengangkat atau mempromosikan Pesanggarahan Langenharja untuk kegiatan riset dan sebagai tujuan wisata. Pernah nama Pesanggarahan Langenharja sesekali disorot oleh media cetak maupun elektronik saat digunakan untuk salah satu lokasi pembuatan Sinetron Saur Sepuh dan Wiro Sableng: Kapak Naga Geni 212 yang moncer di era 1990-an.

Pesanggarahan yang dikategorikan sebagai benda cagar budaya ini tidak banyak diketahui masyarakat luas. Sudah saatnya pemangku kepentingan memanfaatkan dan mengembangkan Pesanggarahan Langenharja untuk obyek penelitian dan pariwisata. Tidak hanya kalangan sejarawan saja yang dapat berkecimpung asyik di sini, melainkan para arkeolog dan arsitek perlu berbaur memanfaatkan Pesanggarahan Langenharja demi tercapainya kelestarian bangunan itu sendiri.

Dimuat Kompas 14 Juli 2008

Tidak ada komentar: